Oleh :
Siti Aminah
FISIP -Universitas Airlangga
Ruang perkotaan sejak abad ke-21 berubah banyak secara spasial. Hal ini untuk memperbaiki kondisi tempat, meningkatkan kemakmuran, dan memperluas ekspektasi modernisasi di banyak kota sampai pada munculya fenomena Rojali dan Rohana (akronim dari rombongan jarang beli dan rombongan hanya nanya).
Ini adalah gejala sosial budaya yang tak pernah dibayangkan sebelumnya oleh siapapun. Mal ada sebagai pusat perbelanjaan model Barat yang terglobalisasi. Di mal ini melekat konsep ruang publik yang dikelola swasta untuk mempromosikan diri mereka sebagai alun-alun kota baru atau ruang publik untuk berkumpul bersama teman dan komunitas. Rojali dan Rohana menjadi penunjuk bagi kita bahwa ternyata dalam lingkungan perkotaan ad keterbatasan infrastruktur sosial. Hal ini yang menyebabkan, mal menjadi ruang representasi dan representasi ruang dalam kehidupan manusia kontemporer.
Mall: Konsep Sosial dan ruang kuasi-publik
Penampilan mall tanpa jendela, penuh dnegan lampu-lampu sebagai penerangan menjadi bagian dari strategi pemasaran untuk membuat betah para pengunjung. Pintu masuk dan keluar yang terbatas, langsung menunjukkan adanya keterbatasan akses ke gedung. Selain itu, dengan fasad yang menyerupai penjara, mal ini akan tampak mengintimidasi.
Desain-desain mal demikian merupakan desain yang umum dan sebenarnya bukan untuk membatasi akses, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan desain struktural mal untuk “konsumsi dan pergerakan” (Voyce, 2006). Meskipun mal ini mungkin tidak dirancang untuk membatasi akses, mal ini melakukannya dengan menciptakan struktur yang dirancang untuk berbelanja, yang menunjukkan bahwa hanya mereka yang ingin berbelanja yang dipersilakan dan sebaliknya, hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial untuk berbelanja yang dipersilakan.
Kehadiran Rojali dan Rohana dengan demikian menegaskan tentang keberadaan mal ini tidak benar-benar publik. Mal dibangun di pusat kota terutama untuk alasan komersial, seperti memaksimalkan lalu lintas pejalan kaki dan akses ke basis pelanggan yang besar, daripada secara khusus memenuhi kebutuhan ruang publik. Meskipun mereka dapat menawarkan ruang untuk interaksi sosial dan pertemuan komunitas, fungsi utamanya adalah aktivitas ritel dan ekonomi.
Mall yang kita lihat sekarang menunjukkan bahwa mall sudah menjadi ruang kuasi-publik pusat perbelanjaan memengaruhi kebiasaan nongkrong di mal dengan mendorong sikap dan perilaku konsumerisme, sekaligus membatasi akses bagi kelompok individu tertentu, sehingga menghambat hubungan sosial antarmanusia. Don Mitchell (1995) menegaskan bahwa mal tetap sebagai ruang publik. Definisi ini menenpatkan mal sebagai tempat rekreasi dan hiburan, yang penggunaannya dapat dilakukan oleh publik yang tepat dan berperilaku baik. pusat perbelanjaan membatasi siapa yang dapat masuk dan apa yang dapat dilakukan di dalam nal..
Rojali dan Rohana: Ruang Representasi dan Representasi Ruang
Setiap pengunjung mal itu menjalankan praktik spasial. Artinya ada yang dirasakan saat masuk ke ruang mal. Pengunjung datang dari mana saja, berbagai lokasi dan tempat yang jauh untuk mengetahui apa yang ada di dalam mal sehingga setiap orang tentyu memiiki pengalaman yang berbdeda dala ruang mal itu. Sehingga mal menjadi ruang representasi karena yang secara bersamaan diproduksi dan ditegakkan melalui pengalaman, ekspresi, kontestasi, kontemplasi, sensasi, imajinasi, dan reproduksi sosiokultural.
Otoritas kota juga mengambil peran dengan lebih menekankan versi baru pembangunan kota untuk berkualitas tinggi dan untuk menghasilkan dan menyebarluaskan citra promosi secara global yang akhirnya setiap kota membangun mal dan ini membuat kota semakin kompetitif. Mal besar dan mewah sebagai ikon kota supramodern dengan target pengunjung yang berbeda. Akibatnya, semua mal ditempatkan sebagai bentuk ruang publik yang mengalami kebangkitan, menjadi elemen kunci dari skema pembangunan perkotaan di mana pun. Mal menjadi wajah kota dan wajah populasi kota. Hal ini pada gilirannya telah memperkaya kualitas ruang publik dan menarik banyak pengguna baru.
Di sektor ritel, pembangunan telah difokuskan pada permintaan untuk ruang berskala yang menempatkan manusia sebagai bagian integral dari pertumbuhan ekonomi, sehingga mendorong ‘budaya kafe’. Karena mal, dengan karakteristik pengunjung yang heterogen menjadi hal yang unik saat ini. Namun ini tidak terlepas dari posisi mal sebagai representasi ruang karena mal itu kebutuhan masyarakat yang dikonseptualisasikan oleh para perencana, teknokrat, politisi, dan mereka yang memegang kekuasaan dan otoritas kreatif. Banuak pusat perbelanjaan/mal memiliki daya tarik, pengunjung lokal akan segera bosan dengan hal-hal tersebut. Selain itu, area tertentu di mal terkadang disisihkan untuk keperluan lain (misalnya arena seluncur es, pameran motor), padahal tujuan utama ruang tersebut tetaplah konsumsi. Bahkan tempat duduk di seluruh mal, tidak dirancang untuk kenyamanan, melainkan untuk mengistirahatkan kaki selama beberapa menit lalu melanjutkan berbelanja.
Rojali dan Rohana menegaskan bahwa mal dikunjungi untuk tujuan selain komersial dan motivasi non-belanja untuk menggunakan mal bersifat sosial. Yang penting adalah mal dan pusat perbelanjaan berperan sebagai arena pertemuan spontan dan interaksi sosial yang lebih terencana dan pusat perbelanjaan terbukti berperan penting dalam menangkal kesepian, terutama di kalangan lansia (Mawer & Kiddle, 2020). Dengan mempertimbangkan manfaat sosial ini, pusat perbelanjaan telah disarankan sebagai tempat yang berkontribusi dalam membangun kohesi sosial dan modal sosial di komunitas lokal (Pettersen dkk., 2023).
Pentingnya pusat perbelanjaan sebagai tempat yang lain dalam populasi masih relatif terbatas.Ini disebabkan terbatasnya infrastruktur sosial di perkotaan (dari jaringan ruang, berbagai fasilitas), dan kelompok orang yang bersama-sama menciptakan affordance (kemungkinan dan batasan yang dirasakan untuk tindakan dan aktivitas yang ditawarkan oleh lingkungan kita. Kita dengan mudah menemukan ‘affordance’ didalam interaksi antara manusia dan lingkungannya untuk koneksi sosial. Orang buat janji dan bertemu dengan rekan bisnis, teman lama, atau sekadar berinteraksi ringan dengan kerabat, saudara.
Ada hubungan antara mal dan kota, kini mal sebagai pusat perbelanjaan telah bertransformasi dari komponen kota menjadi prasyarat urbanitas. Mal tidak hanya berfungsi sebagai pusat kota yang ikonis, tetapi juga menyediakan ruang fisik untuk aktivitas sosial, sehingga pusat perbelanjaan telah menggantikan setiap aspek kehidupan perkotaan. Mal berperan sebagai arena pertemuan spontan, serta interaksi sosial yang lebih terencana dll. Karena itu, fenomena Rojali dan Rohana menjadi penegas dari ketetbatasan ketersediaan infrastruktur sosial yang tidak merata di masyarakat. Karena itu meskipun mal/pusat perbelanjaan bersifat eksklusif dan hampir beroperasi selama ini sebagai komunitas berpagar bagi orang-orang dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Namun kini mal sebagai ruang publik telah kemballi menjadi ruang publik dan publik telah berhasil mengubah citra mal sebagai infrstruktur sosial untuk keberlanjutan sosial. Sehingga mal lebih manusiawi menjadi arena untuk membangun kohesi sosial dan modal sosial di masyarakat lokal kota.
———– *** —————



[…] ini tayang di Harian Bhirawa pada 6 Agustus […]