Oleh :
Ahmad Fizal Fakhri
Founder The Indonesian Foresight Research Institute, Assistant Director of Graduate Studies, UINSA
Banjir bandang dan longsor besar-besaran yang melanda berbagai wilayah di Indonesia terutama di Sumatra tidak semata-mata disebabkan hujan deras atau cuaca ekstrem. Kejadian ini harus dibaca sebagai alarm bahwa kerusakan ekosistem di hulu sungai dan area hutan telah membentuk kondisi yang sangat rentan: ketika “tameng alam” hilang, hujan deras berubah menjadi aliran berbahaya yang membawa lumpur, kayu, dan material berat, menghancurkan pemukiman di hilir. Laporan terkini menyebut bahwa jumlah korban tewas akibat banjir dan longsor pada bencana terbaru telah melewati ratusan bahkan di atas 700 dalam satu peristiwa besar.
Skala Kerusakan Hutan di Indonesia
Untuk memahami urgensi, kita harus melihat data: menurut rilis Global Forest Watch (GFW), periode 2001-2024 menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 32 juta hektar tutupan pohon dibanding kondisi di tahun 2000.
Meski di tahun 2024 pemerintah melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencatat luas lahan berhutan nasional masih 95,5 juta hektar atau sekitar 51,1% dari total daratan namun angka deforestasi netto tetap menunjukkan kehilangan: pada 2024 tercatat 175,4 ribu hektar hutan hilang netto (bersih dari reforestasi).
Artinya, meskipun hutan masih ada, kehilangan tutupan pohon terus berlangsung yang menunjukkan bahwa fungsi ekologis (resapan air, pengikat tanah, penahan erosi) semakin tergerus.
Jika kita tarik lebih jauh: dari 2001 hingga 2023 menurut GFW Indonesia telah kehilangan sekitar 30,8 juta hektar tutupan pohon. Sebagian besar dari hilangnya tutupan ini terjadi karena deforestasi baik pembukaan lahan untuk perkebunan, tambang, maupun konversi hutan komersial. Dengan skala kehilangan yang demikian besar, tidak mengherankan bila banyak wilayah kehilangan kemampuan alami untuk mengelola air hujan terutama di hulu sungai dan pegunungan.
Hubungan Antara Hilangnya Hutan dan Risiko Banjir Bandang
Kerusakan hutan berarti hilangnya fungsi ekologis yang selama ini “menahan” air: akar pohon yang menyerap air, tanah yang mampu mengikat kelembapan dan menahan erosi, serta sistem vegetasi yang memperlambat aliran permukaan. Ketika fungsi-fungsi ini hilang, hujan deras dengan cepat berubah menjadi aliran deras yang membawa lumpur, kayu, dan material berat ke hilir menciptakan banjir bandang dan longsor.
Beberapa laporan dan analisis lingkungan menegaskan bahwa deforestasi dan alih fungsi lahan di hulu termasuk untuk tambang dan perkebunan memang memperparah dampak bencana.Di peristiwa banjir-longsor terbaru, sejumlah saksi melaporkan kayu dan batang pohon besar terbawa arus bukti nyata bahwa tutupan hutan sebelumnya telah musnah, dan massal kayu sisa tebangan memperparah kerusakan
Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri: deforestasi (termasuk ilegal logging dan alih fungsi hutan) adalah faktor struktural yang memperbesar risiko banjir bandang bukan sekadar penyebab tambahan.
Kegagalan Tata Kelola dan Perizinan
Data dan fakta deforestasi mengungkap kegagalan sistemik dalam pengelolaan hutan. Pemerintah melalui Kemenhut telah mencatat deforestasi netto tahunan (seperti 175,4 ribu hektar pada 2024), yang menunjukkan bahwa setiap tahun ada area signifikan yang hilang.
Sementara kerangka pengawasan, perizinan, dan penegakan hukum sering kali kalah cepat dibandingkan tekanan ekonomi industri perkebunan, tambang, pulp & kertas memanfaatkan celah regulasi untuk membuka hutan, seringkali tanpa mitigasi lingkungan memadai. Laporan investigasi menunjukkan bahwa di banyak kawasan hulu, pembalakan ilegal dan konversi hutan terus berlangsung, bahkan di lahan sensitif, Ketika korban banjir dan longsor jatuh puluhan, ratusan rumah hancur, sawah rusak, infrastruktur putus tanggung jawab bukan hanya “alam” atau “cuaca”, tetapi kebijakan dan tata kelola yang gagal menjamin keberlanjutan lingkungan serta keselamatan warga.
Urgensi Mengembalikan Ekosistem
Dengan data kehilangan jutaan hektar hutan dan banjir bandang yang makin sering serta berdampak besar, restorasi ekosistem hulu bukan lagi opsi moral belaka melainkan kebutuhan dasar negara untuk menjaga keselamatan warga dan keberlanjutan lingkungan. Berikut alasannya:
Mengembalikan kapasitas resapan dan penyangga air reforestasi dan rehabilitasi hutan di hulu akan membantu tanah menyerap air hujan, mengurangi limpasan cepat dan menahan puncak aliran saat hujan ekstrem, Mengurangi erosi dan sedimentasi ketika vegetasi dan akar pohon tumbuh kembali, tanah menjadi lebih stabil dan mencegah longsor; sungai lebih mampu menampung aliran tanpa meluap, Memulihkan keanekaragaman hayati dan ekosistem alami hilangnya hutan tidak hanya soal air dan tanah, tapi juga satwa, tanaman, dan layanan ekologis lainnya; restorasi menjaga keberlanjutan ekologi jangka panjang, Menjaga hak masyarakat terhadap lingkungan sehat dan aman korban bencana sering kali adalah masyarakat miskin atau rentan, yang hidup di hilir; restorasi adalah bagian dari keadilan ekologis.
Dengan data bahwa Indonesia telah kehilangan puluhan juta hektar tutupan pohon dalam dua dekade terakhir, dan bahwa deforestasi terus berlangsung sampai hari ini, restorasi jelas bukan sekadar proyek lingkungan melainkan langkah kritis menyelamatkan rakyat.
Implikasi Nyata: Data Banjir + Deforestasi = Krisis Lingkungan dan Sosial
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di akhir 2025 memberikan gambaran pahit: ketika hutan hilang, korban jatuh bukan di perusahaan atau korporasi melainkan warga, masyarakat lokal, desa, kampung, infrastruktur publik, dan masa depan generasi. Laporan terbaru menyebut korban tewas dalam satu peristiwa bisa mencapai ratusan (700+), dengan ratusan ribu atau jutaan orang terdampak dan harus dievakuasi.
Kehilangan hutan 32 juta hektar sejak 2000, deforestasi netto tahunan yang terus berlangsung, serta kebijakan yang memungkinkan pembukaan hutan tanpa mitigasi semua itu menciptakan kondisi rentan yang menunggu waktu untuk meledak dalam bencana besar. Ketika bencana itu datang, kita tak bisa lagi bilang: “ini musibah alam”. Ini adalah musibah kemanusiaan konsekuensi dari keputusan manusia.
Restorasi Ekosistem sebagai Tanggung Jawab Kolektif dan Nasional
Data jelas menunjukkan: hilangnya hutan di Indonesia bukan hanya angka statistik ia adalah luka ekologis dan struktural. Banjir bandang bukan sekadar efek cuaca; ia adalah efek akumulasi deforestasi, degradasi lingkungan, dan kegagalan kebijakan.
Mengembalikan ekosistem melalui reforestasi, rehabilitasi hulu sungai, penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, dan kebijakan tata ruang yang menghormati alam bukan lagi opsi idealis, melainkan kewajiban moral dan praktis bagi pemerintah dan seluruh warga.
Jika negara gagal menegakkan itu, maka bencana akan terus berulang, dan generasi mendatang akan mewarisi bumi yang rapuh tanpa “tameng alam”, tanpa ruang aman.Dengan data hilangnya 32 juta hektar tutupan pohon sejak 2000, deforestasi netto tahunan, dan korban banjir bandang yang terkini mencapai ratusan bahkan ribuan tidak ada lagi ruang untuk ambivalensi. Restorasi ekosistem harus menjadi prioritas nasional.
————– *** —————-


