Opini :
Akhmad Faishal
Pengelola Perpustakaan SMAN 15 Surabaya dan Pengajar Freelance Sosio-Sejarah di PT. Kreasi Edulab Indonesia
Apa yang kurang dan belum diberikan atau ditawarkan oleh perpustakaan, baik tingkat nasional, daerah dan sekolah agar literasi Indonesia meningkat?
Apakah itu kekurangan aksesbilitas ke sumber literasi atau koleksi? Apa itu dikarenakan kualitas pendidikan yang masih rendah? Ataukah karena belum terbentuk budaya atau kebiasaan membaca sejak dini? Ataukah yang lainnya? Seberapa penting peningkatan literasi untuk pembangunan dan kualitas diri manusia sebagai aset pembangunan? Bagaimana sesungguhnya tingkat kegemaran dan literasi masyarakat Indonesia?
UNESCO pernah mencatat pada tahun 2016 yang lalu, yani hanya 1 orang yang rajin membaca dari 1.000 orang. Sedangkan, PISA dengan data yang dikeluarkan pada tahun 2022 lalu menempatkan Indonesia di posisi 11 terbawah dari 81 negara yang didata. Dengan catatan, telah ada peningkatan 5 posisi. Hal yang mengejutkan ialah bahwa terdapat fakta, kalau infrastruktur penunjang kegiatan baca-membaca sesungguhnya Indonesia tidaklah kalah dengan infrastuktur di negara-negara maju. Namun, sangat disayangkan kelebihan dalam bidang infrastruktur ternyata sangat berbanding terbalik dengan budaya baca yang masih rendah.
Hampir sebagian besar tempat baca, terutama perpustakaan-dengan mengesampingkan rumah atau tempat baca umum-telah memberikan fasilitas yang sangat nyaman, terutama AC, kursi dan sudut baca. Namun, kehadiran masyarakat di perpustakaan masih tergolong minim. Apalagi, di perpustakaan sekolah yang wujudnya benar-benar ada, tetapi masih minim kehadiran mereka datang ke sana untuk membaca dan meminjam buku. Bahkan, sekedar hadir untuk istirahat atau tidur pun tidak.
Dalam suatu obrolan dengan pustakawan sekolah lain, kehadiran mereka ke perpustakaan pun harus didorong dengan paksa. Bukankah, ini artinya keberadaan perpustakaan sekolah masih belum mendapat perhatian seutuhnya?
Dalam sebuah berita pada April 2025 yang lalu dimana 400 siswa-siswi SMP yang belum dan bahkan tidak dapat membaca mencuat ke permukaan.
Dalam laporan yang dikemukakan oleh ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, angka 400 itu memang akumulasi total dengan rincian yang terbilang rendah untuk tiap-tiap sekolah. Namun, tidakkah ini mengejutkan juga, kalau dari 400 siswa-siswi itu saja tidak pernah berkunjung ke perpustakaan sekolah, lantas bagaimana dengan yang lainnya? Bahkan, boleh jadi diluar angka tersebut siswa-siswi yang sudah bica membaca juga tidak berkunjung ke perpustakaan. Lebih dari itu, ada pernyataan mengejutkan dari ketua DPR, Puan Maharani, kalau meski mereka kesulitan atau belum lancar membaca, tetapi mereka justru dapat mengoperasikan media sosial. Bukankah, ini anomali literasi?
Secara umum konsep literasi, yakni merujuk pada kemampuan untuk mengolah dan memahami informasi, baik melalui teks atau media lain. Hal ini mencakup pada kemampuan mereka dalam hal membaca, menulis, berbicara, mendengarkan dan melihat agar dapat memahami dan mengolah informasi secara efektif dan efisien. Apalagi dengan kondisi sekarang, di era digital, informasi mengalir deras bagai air terjun dan cepat seperti orang berlari.
Masyarakat dituntut cepat beradaptasi dan harus mampu berpikir mengenai apa yang terjadi. Sedangkan, kemampuan masyarakat untuk itu mengolah informasi berbeda-beda. Kalau rajin membaca buku, ia tidak akan terjebak atau terjerumus dalam informasi yang menyesatkan. Sedangkan, sebaliknya, apabila ia tidak rajin membaca, maka ia akan memakan informasi itu bulat-bulat.
Hal yang dapat merugikan baik dirinya maupun orang lain. Ia telah memakan hoax.
Penulis berpendapat bahwa hox dimulai dari segala prasangka atau dugaan. Media sosial dibanjiri oleh berita yang belum sempurna. Isu dan dugaan. Dua hal tersebut menggiring para pembaca dan pendengar agar berdiri lalu melangkah ke jalur ‘shiratal mustaqim’. Ia akan selamat, apabila mengabaikannya. Namun, akan celaka bila terlalu jauh mengikuti berita yang tidak sempurna itu.
Ada baiknya, para pembaca dan pendengar menunggu informasi lebih lanjut agar tidak salah dalam bersikap. Bukankah, banyak hal buruk terjadi hanya akibat salah bersikap atau miss komunikasi? Juga, tidakkah seperti data yang dikeluarkan bahwa IPLM masyarakat Indonesia telah meningkat?
Sejujurnya, penulis masih belum dapat mempercayai hasil penelitian yang menyatakan, kalau Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat Indonesia itu meningkat. Sejauh yang dipahami, Perpusnas sebagi pihak yang mengeluarkan data tersebut didapat setelah melibatkan 174.226 usia 10-69 tahun.
Padahal, secara jumlah penduduk berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS berjumlah 281,6 juta jiwa. Adapun, kalau diperkecil dengan jumlah penduduk angkatan kerja 152,11 juta jiwa (BPS,2024). Alhasil, kalau dipersentasekan menjadi 0,11 persen saja. Dalam norma yang berlaku dalam penelitian kuantitatif pun, proses pengambilan atau keterlibatan responden ini belum sesuai. Jadi, masih belum akurat.
Kalau memang IPLM masyarakat Indonesia meningkat, banyak penduduk di Indonesia yang ada di terminal, bandara, stasiun, halte, warung kopi, dan semacamnya sembari menunggu, mereka membaca buku. Baik dalam bentuk konvensional maupun digital. Namun, dari pengamatan secara mata telanjang, hal tersebut belum terlihat sama sekali. Artinya, ada anomali dalam hasil tersebut. Hasilnya tinggi dan menyakinkan, tetapi belum terlihat di area publik.
Satu contoh buruk sebagai bukti literasi rendah dan minim membaca buku di ruang publik. Yakni, pembakaran rumah lurah di lampung (17/5). Latar belakang kejadian itu, yakni dugaan penyelewengan masalah bantuan sosial : beras. “Dugaan” menjadi kata penting. Belum ada pembuktian sudah ada tindakan. Korban, mungkin, tidak mampu membuktikan dan “dugaan” menjadi “tuduhan” yang tidak dapat diterima oleh pelaku. Maka, tercipta pembunuhan dan pembakaran.
Hal yang semacam itulah yang harus ditanggapi serius oleh pemerintah dan pihak terkait, dalam hal ini juga peran pendidikan dengan keterlibatan perpustakaan. Andai saja, keduanya memiliki literasi yang tinggi, pasti akan ada penelitian terlebih dahulu oleh korban sebelum menyampaikan informasi sehingga “dugaan” akan menjadi “pembuktian” dan “pembelaan”. Mungkin, data UNESCO terbilang kuno, karena, dikeluarkan pada tahun 2016, tetapi sepertinya data tersebut tetap akurat untuk menjadi dasar analisa masa kini (tahun 2025).
Selama, belum ada perubahan dalam pergerakan pendidikan yang melibatkan perpustakaan, selama itu literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Dan, yang lebih menyedihkan, banyak tanggapan dan komentar, yang meskipun dikeluarkan oleh pihak berpendidikan tinggi, kualitasnya juga rendah. Karena, kurang literasi.
———- *** ————–+


