Oleh:
Mirza Muttaqien
Direktur Utama PT Jatim Grha Utama
Suara azan maghrib bergema dari menara masjid yang setengah hancur. Di tenda pengungsian yang sesak, Ummu Khalid membagi tiga butir kurma untuk lima anggota keluarganya. Tak jauh dari sana, Dr. Firas melakukan operasi darurat dengan senter ponsel sebagai lampu. Inilah wajah Ramadhan di Gaza – di mana setiap tarikan napas adalah perjuangan, namun setiap detik mengajarkan makna hidup yang sesungguhnya.
Sahur di Tengah Reruntuhan
Pukul 3 dini hari, Gaza bangun dengan dentuman bukan azan. Ummu Mahmoud membangunkan anak-anaknya untuk sahur dengan segelas susu formula kadaluarsa dan sepotong roti kering. “Ini persediaan terakhir kami,” bisiknya sambil menatap anak bungsunya yang masih mengantuk. Di tenda sebelah, seorang kakek berusia 80 tahun membagi jatah makannya untuk cucu-cucu yatim.
Di rumah sakit Al-Awda yang gelap gulita, perawat Rana mencatat kondisi pasien dengan cahaya lilin. “Kami berpuasa dari tidur yang cukup,” ujarnya sambil memeriksa infus. Di ruang operasi, Dr. Tareq bekerja tanpa alat steril yang memadai. “Ini puasa terberat dalam hidup saya,” akunya, “tapi setiap nyawa yang terselamatkan adalah berkah tak terhingga.”
Idul Fitri dalam Dekapan Duka
Ketika bulan suci berlalu, Gaza merayakan Idul Fitri dengan cara yang memilukan sekaligus menginspirasi. Tak ada baju baru – hanya pakaian bekas sumbangan yang dicuci bersih. Tak ada hidangan mewah – hanya sekaleng kacang yang dibagi untuk sepuluh orang. Tapi yang ada adalah pelukan hangat antar tetangga yang sama-sama kehilangan.
Di taman bermain yang setengah hancur, anak-anak tertawa riang dengan mainan dari kaleng bekas. “Ini hadiah Lebaran terbaik,” kata Ahmed, 9 tahun, sambil memamerkan mobil-mobilan buatannya. Sementara di dapur umum, para relawan menyiapkan makanan untuk 200 yatim piatu. “Kami merayakannya dengan berbagi,” kata seorang relawan sambil membungkus nasi.
Di sudut lain, seorang janda muda memeluk foto suaminya yang gugur seminggu lalu. “Aku memaafkan, tapi tak akan melupakan,” bisiknya lirih. Di rumah sakit, para tenaga medis saling bermaafan sambil terus bekerja. “Bagi kami, memaafkan bukan akhir, tapi awal perjuangan baru,” ujar Dr. Samira.
Gaza mengajarkan kita bahwa puasa sejati adalah tentang ketahanan jiwa, bukan sekadar menahan lapar. Bahwa Idul Fitri yang hakiki terletak pada kemurnian hati, bukan kemewahan materi. Di tengah puing-puing kehancuran, mereka membangun istana ketabahan yang tak tergoyahkan.
Mungkin inilah pelajaran terbesar: bahwa cahaya iman akan bersinar paling terang justru di kegelapan yang paling pekat. Dan bahwa kemenangan sejati diukur dari seberapa besar kita bisa memberi ketika diri sendiri kekurangan. [*]
Selamat Idul Fitri 1446 H. Mohon maaf lahir dan batin.