Oleh:
Sugeng Winarno
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang
Pseudo demokrasi dapat diartikan sebagai demokrasi semu. Demokrasi seakan-akan berlangsung demokratis, namun sejatinya penuh rekayasa. Pemerintahan yang idealnya dari, oleh, dan untuk rakyat tak terwujud. Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya, alih-alih sebagai perwujudan demokrasi, yang terjadi justru pseudo demokrasi. Masih terus berulang praktik gelap demokrasi Pilkada seperti permainan politik uang, jual beli suara, manipulasi informasi, dan intimidasi.
Munculnya calon tunggal di banyak tempat dalam Pilkada serentak tahun ini juga bisa menjadi fakta bahwa jalannya demokrasi Pilkada berlangsung semu. Partai politik (parpol) seperti tak menyiapkan kader terbaiknya untuk mengisi kandidat dalam kontestasi. Atau antar parpol bukan lagi bersaing satu sama lain, namun diantara mereka lebih suka membangun koalisi. Koalisi dipilih demi kepentingan kolektif dan upaya agar tetap punya akses pada kekuasaan.
Kalau sudah begini, jadilah Pilkada banyak diisi calon tunggal. Kalau toh ada lawan calon, tetapi tak semua menjadi lawan yang nyata. Tak sedikit lawan politik yang muncul itu lawan jadi-jadian yang dihadirkan hanya untuk meramaikan suasana. Kalau toh sang lawan benar-benar serius ikut berkontestasi dan akhirnya kalah, pada kenyataanya juga akan dirayu dan diajak gabung dengan pemenang kontestasi.
Tak banyak parpol yang betah berseberangan dengan kekuasaan. Dalam politik negeri ini sulit mencari kelompok oposisi. Padahal dalam demokrasi yang sesungguhnya, kehadiran oposisi muntlak diperlukan sebagai penyeimbang dan pengontrol jalannya kekuasaan. Ketika demokrasi tanpa oposisi bisa berarti demokrasi semu (pseudo democracy). Inilah yang berbahaya jika terjadi dalam ajang Pilkada saat ini.
Politik Kartel
Dalam politik tanah air telah terjadi politik kartel. Gejala ini terlihat dari kenyataan bahwa banyak partai yang cenderung berkolusi satu sama lain demi melindungi kepentingan penguasa dan mengharap kebagian kekuasaan. Dalam konteks Pilkada, gejala politik kartel muncul sebagai akibat dari minusnya kepercayaan diri parpol untuk memajukan kader-kadernya ke arena konstestasi karena adanya kekuatan politik hegemonik di beberapa daerah yang sukar dilawan.
Dalam politik kartel parpol bekerja sama secara informal atau formal untuk mempertahankan kekuasaan dan mengurangi persaingan politik. Hal ini serupa dengan konsep kartel dalam dunia ekonomi, di mana beberapa perusahaan berkolusi untuk mengendalikan pasar. Dalam politik, antar parpol saling berbagi sumber daya, kekuasaan, dan pengaruh guna melindungi kepentingan mereka sendiri, alih-alih bersaing secara terbuka.
Ada juga kenyataan bahwa parpol tertentu telah menggunakan kekuasaanya untuk menekan partai lain untuk mengikuti kemauannya. Politik kartel secara efektif membatasi ruang bagi parpol baru atau oposisi yang kuat untuk masuk dan bersaing. Mereka mungkin menciptakan aturan pemilu, regulasi, atau kebijakan yang membuat sulit bagi kelompok baru untuk menantang partai-partai yang ada.
Salah satu prinsip demokrasi adalah terjadinya kompetisi yang sehat antar parpol. Antar parpol bersaing untuk mendapatkan dukungan publik dengan program dan visi yang berbeda. Dengan politik kartel akan mengurangi atau bahkan menghapuskan kompetisi karena partai-partai besar saling bersekongkol untuk mempertahankan kekuasaan bersama. Ini membuat partai baru atau kecil sulit berkembang, dan suara masyarakat yang ingin perubahan tidak diakomodasi secara memadai.
Demokrasi bertujuan untuk mewakili berbagai kepentingan dan pandangan masyarakat. Namun dalam politik kartel, partai-partai besar lebih cenderung memperjuangkan kepentingan elit dan kelompok mereka sendiri bukan kepentingan rakyat secara umum. Hal ini dapat menciptakan ketimpangan keterwakilan, di mana hanya kelompok tertentu yang memiliki akses ke kekuasaan dan pengaruh, sementara banyak segmen masyarakat yang diabaikan.
Kontestasi Tanpa Lawan
Fenomena calon tunggal dalam kontestasi Pilkada, di mana hanya ada satu kandidat yang bertarung tanpa lawan menimbulkan berbagai implikasi bagi demokrasi. Kontestasi politik seperti tanpa lawan dan hal ini buruk bagi demokrasi karena mengurangi elemen kompetisi, keterwakilan, dan akuntabilitas yang menjadi pilar penting dalam sistem demokratis. Kontestasi Pilkada menjadi perwujudan demokrasi yang semu karena tak semua elemen demokrasi terpenuhi.
Demokrasi yang sehat membutuhkan kompetisi yang nyata antara kandidat atau partai politik, di mana berbagai ide dan program dapat diperdebatkan untuk memberikan pilihan yang beragam kepada pemilih. Ketika hanya ada satu calon dalam Pilkada, esensi dari kompetisi tersebut hilang. Pemilih tidak diberikan pilihan nyata untuk membandingkan visi, misi, dan program kerja dari beberapa kandidat. Tanpa kompetisi, tidak ada dorongan bagi calon tunggal untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik atau menawarkan solusi yang inovatif.
Politik kartel bisa menyebabkan menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Ketika masyarakat merasa bahwa mereka tak lagi memiliki pilihan yang nyata atau bahwa partai-partai besar hanya bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, tingkat ketidakpercayaan pada sistem politik menurun. Hal ini dapat memicu apatisme politik, di mana warga negara merasa tak ada gunanya berpartisipasi dalam proses politik.
Pseudo demokrasi bisa terjadi dalam ajang Pilkada saat sistem politik yang secara formal memiliki elemen-elemen demokrasi seperti pemilu, partai politik, dan kebebasan politik, tetapi dalam praktiknya elemen-elemen tersebut tak berfungsi secara penuh atau hanya formalitas. Pilkada bisa kehilangan fungsinya sebagai mekanisme partisipatif dan kompetitif, dan masyarakat tak memiliki pilihan nyata dalam menentukan pemimpin. Hal ini dapat merusak fondasi demokrasi dan memperkuat kekuasaan elit dan kelompok dominan yang sudah ada.
Sejatinya politik kartel dapat mengakibatkan erosi demokrasi karena dapat mengurangi pilihan dan kompetisi politik yang seharusnya menjadi bagian inti dari sistem demokrasi yang sehat. Alhasil, konsestasi politik seperti dalam Pilkada sangat mungkin berlangsung jauh dari harapan menjadi ajang kontestasi yang demokratis. Yang ada justru demokrasi semu (pseudo democracy) karena yang sesungguhnya terjadi dalam Pilkada sarat permaian politik semu dan tipu-tipu.
———– *** ————-