31 C
Sidoarjo
Friday, November 22, 2024
spot_img

Prophetic intelligence untuk Pemimpin Indonesia

Oleh :
Jusrihamulyono A.HM
Trainer PUSDIKLAT Pengembangan SDM Universitas Muhammadiyah Malang

Indonesia dihadapkan tantangan minim pemimpin yang secara kebijakan serta programnya diterima oleh masyarakat. Dampak kepada keadaan ini menyebar pasca pemilihan presiden dan terus berefek pada pemilihan tingkat daerah. Tidak mengherankan, beberapa hari kemarin muncul reaksi dari berbagai kalangan masyarakat dengan segala profesi yang turun tangan atas aksi yang dipandang tidak etis yang dilakukan para pihak DPR RI sebagai pemangku kebijakan dalam membuat regulasi.

Fenomena ini mengindikasikan adanya permainan dalam kepemimpinan yang tidak mengenal istilah Profetik intelegensi (Prophetic intelligence). Istilah yang pas untuk diberikan kepada darurat kepemimpinan. Jika hari ini menjadi keadaan darurat atas hilangnya integritas pemimpin, lantas bagaimana harapan generasi emas yang akan datang?.

Tugas besar hari ini dapat dikatakan berat dalam mencari pemimpin versi Prophetic intelligence, agar tidak menjadi ancaman bagi generasi yang terus berharap pada ketidakpastian akibat regulasi yang diterbitkan tidak bernilai Profetik. Patut dipahami bahwa istilah Profetik merupakan Konsep kecerdasan profetik diperkenalkan oleh ?amdani Bakran adz-Dzakiey, dengan karyanya “Prophetic Intelligence, Kecerdasan Kenabian: Menumbuhkan Potensi Hakiki Insani Melalui Pengembangan Kesehatan Rohani”.

Menurutnya, kecerdasan pemimpin dilandasi dengan mengedepankan hati nurani dengan pondasi nilai ketakwaan (?amdani Bakran,2025). Kepintaran seorang pemimpin lahir dari cahaya hati dan inilah yang telah dilakukan para nabi di saat pemimpin umatnya. Artinya, kepintaran tidak semata-mata membuat kecurangan atau membodohi masyarakat lemah. Apabila dikerucutkan pemimpin ialah orang yang segala tindakannya sejalan dengan nilai kemanusiaan atas rasa takut kepada sang penciptanya.

Berita Terkait :  Perbedaan PR Tradisional dan PR Digital

Sosok demikian menjadi harapan Indonesia di saat masyarakat mengalami tingkat kepercayaan yang menurun terhadap kepemimpinan baik tingkat pusat maupun daerah. Tidak diragukan lagi bila berbicara kuantitas oranag pintar yang ada di negara kita, namun yang masih dalam realita adalah mereka merusak fitrahnya dengan tindakan yang kesewenang-wenangan.

Sindikat korupsi yang menyasar pemimpin dari tingkat daerah hingga tingkat pusat serta lembaga kenegaraan menjadi gejala moralitas kepemimpinan buruk di mata rakyat. Belum lagi, masa sekarang adalah masa pemilu serentak untuk tingkat gubernur hingga bupati yang sebagian masyarakat lebih memilih golput. Pilihan golput yang dipandang lebih realistis daripada harus memilih dan pada akhirnya berkhianat.

Gaya Kecerdasan Profetik
Sebuah hasil kesimpulan penelitian oleh Abdul Aziem dalam karyanya “Kecerdasan Profetik Berbasis Doa Para Nabi dalam Al Qur’an”. Beliau menyimpulkan akan adanya delapan model kecerdasan Profetik seperti kecerdasan verbal-linguistik, inovatif, naturalistik, interpersonal, manajerial, fisik, intelektual dan holistik (Abdul Aziem, 2021). Novelty yang sangat pas dengan peradaban modern untuk dipelajari oleh calon pemimpin.

Ironisnya, pemimpin modern kini hanya sebatas modal viewer medsos dan parahnya para calon cukup syarat administrasi meskipun kadang dapat dimanipulasi. Pentingnya pemimpin yang punya kecerdasan dalam mengelola sumber daya manusia meskipun alam yang ada secara amanah agar kesejahteraan merata. Percontohan prinsip kepemimpinan ala kenabian dicontohkan secara lugas dalam penelitian tersebut yang dianggap sangat pas untuk diungkapkan pada penulisan opini kali ini.

Berita Terkait :  Karut-Marut Industri Susu Sapi Perah

Dengan jiwa pemimpin yang mengedepankan nasib umat manusia tentu nasib kehidupan keseharian sudah hal yang tidak ditakutkan lagi. Kepercayaan elemen masyarakat pun dapat menjadi energi dalam semangat membangun bangsa. Namun, bila melihat kejadian di kehidupan sehari-hari kita, rasa-rasanya segala lini kehidupan menuju dalam ambang kehancuran secara aspek integritas hati nurani rakyat.

Setidaknya tiga pondasi negara menjadi tolak ukur yang harus diperhatikan dalam kebangkitan sebuah bangsa yaitu pertempuran ekonomi yang kini dinilai semakin terpuruk akibat hutang yang ditanggung negara atas tindakan korupsi. Kedua, sistem politik yang kesuciannya hilang akibat delegasi masyarakat yang membuat regulasi berbenturan dengan konstitusi. Ketiga, pendidikan yang marwahnya hilang akibat falsafah “Tut Wuri Handayani” berubah menjadi “Guru dituntut untuk administrasi”.

Demikianlah yang terjadi, olehnya itu dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengubah tiga pilar keadaan yang lebih baik lagi dengan organisme kejiwaan pribadi Profetik. Kecerdasan seorang pemimpin layak diutamakan tanpa menghiraukan yang namanya jiwa kenabian. Artinya, percontohan yang dirangkum dalam kisah-kisah secara maudhiyyah dalam Al-Quran dalam memimpin umatnya patut di slogankan di masa krisis integritas yang ternodai. Peralihan kepemimpinan melalui demokrasi secara kawalan masyarakat patut diapresiasi dengan nilai jujur secara prosesnya.

Nilai Gaya Prososial
Tiga pondasi negara tersebut hanyut di tengah gaya kepemimpinan yang rindunya masyarakat atas kepemimpinan yang berbasis kepentingan umat bukan kepentingan pribadi atau kelompok. Alhasil pada demokrasi Indonesia kini menjadi bahan diskursus memanas akibat nilai kepemimpinan yang semata-mata mencerminkan gaya kepemimpinan otokratis.

Berita Terkait :  Darurat Kekerasan pada Perempuan dan Anak, Kok Bisa?

Segala tindakan dengan kekuasaan yang dimilikinya menggambarkan akan seenak jari telunjuknya mengarah. Berbicara pemimpin tidak hanya berbicara ketegasan semata namun diperlukan rasa empati sebagai fungsi melihat serta merasakan nasib anggota masyarakatnya. Prososial menjadi ciri khas yang ditanamkan dalam model Profetik.

Bagaimana tidak, seorang pemimpin yang layak tidak sebatas harus pintar secara intelektual namun punya Indikator kecerdasan profetik-emosional seperti kasih sayang terhadap masyarakat bawah, tawakal kepada setiap putusan dengan prinsip ilahi, memilih kawan seperjuangan yang membangun, mencetak generasi berkualitas, dan tentunya cinta tanah air sebagai rumah besar untuk hidup tumbuh kembang yang harmonis.

Visi misi inilah lahir dari perpaduannya kepintaran yang diolah dengan hati yang gerakan empati prososial atas tanggung jawab dari Ilahi. Pada akhirnya, kehidupan yang rukun dalam suatu bangsa di percontohan dari bentuk regulasi yang hadir mewarnai kehidupan masyarakat. Bila peraturan berlawanan dengan hati nurani rakyat, maka sudah barang jelas akan muncul demonstrasi rakyat atas ketidakterimaan rakyat yang selalu di atas namakan oleh dewan perwakilan rakyat.

————– *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img