Oleh :
Sutawi
Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Malang
Koentjaraningrat,BapakAntropologIndonesia,dalambukunyaberjudul Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan(Gramedia, 1974), menguraikan salah satu sikap mental negatif orang Indonesia yang disebut “mental menerabas”. Koentjaraningrat mendefinisikan mental menerabas sebagai “nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak berusaha secara bertahap dari awal hingga akhir”. Orang bermental menerabas suka mendobrak dan menembus aturan-aturan yang berlaku, serta suka mengambil jalan pintas agar tujuannya mudah tercapai. Baginya, proses yang terlalu panjang untuk mencapai hasil harus dapat dipintas sehingga menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Sikap mental ini diikuti pula oleh sifat-sifat buruk lainnya, seperti tidak disiplin, mengabaikan prosedur,menafikan kerja keras, dan meremehkan kualitas.
Sikap mental menerabas ini jugamarak dilakukan oleh akademisi Indonesia yang merasa kesulitan untuk mencapai jabatan Guru Besar (Profesor). Menurut investigasi Tempo (8-14 Juli 2024), terdapat puluhan akademisi yang memperoleh gelar Profesor melalui jalan pintas dengan melanggar integritas akademik, di antaranya publikasi artikel di jurnal predator, berkolusi dengan asesor (tim penilai) kenaikan jabatan akademik dosen, rekayasa bukti korespondensi dengan jurnal, dan pemalsuan tanda tangan pejabat kampus. Pelanggaran integritas akademik ini, terutama publikasi jurnal predator, paling banyak terjadi di Jawa Timur yaitu sebanyak 2.775 jurnal predator di 25 kampus. Jawa Timur merupakan provinsi dengan jumlah Guru Besar terbanyak di Indonesia sejumlah 1.223 orang.
Terdapat tiga jenis kesulitan yang dialami akademisi untuk mencapai jabatan Guru Besar. Pertama, kesulitan menulis artikel ilmiah berkualitas. Mengacu PO PAK 2019 (Pedoman Operasional Angka Kredit 2019), terdapat beberapa ciri sebuah artikel ilmiah berkualitas, antara lain:sesuai bidang kepakaran penulis; memenuhi kaidah ilmiah, etika keilmuan, dan tidak ditemukan pelanggaran penelitian(research misconduct) atau integritas penelitian (research integrity) terutama kategoriberat seperti: plagiarism, falsifikasi, dan fabrikasi; unsur-unsur karya ilmiah lengkap, seperti rumusan masalah, metodologi pemecahan masalah, dukungan data/teori mutakhir yang lengkap dan jelas, serta ada Kesimpulan dan Daftar Pustaka; mengandung nilai kebaruan (novelty); dan temuan hasil penelitian dan atau pemikiran yang original, serta teknik penulisan karya ilmiah konsisten mengikuti kaidahselingkung (guide for manuscript preparation) yang telah ditetapkan jurnal ilmiah.
Kesulitan menulis artikel ilmiah berkualitas disiasati dengan jalan pintas memanfaatkan jasa joki penulisan artikel ilmiah.Menurut investigasi Kompas (13/02/2023), tarif pembuatan artikel ilmiah sebagai penulis pertama dan korespondensi mencapai Rp10 juta, sedangkan untuk pencantuman nama sebagai penulis pendamping dihargai Rp5 juta, belum termasuk biaya penerbitanyang besarnya antara Rp5-50 juta. Secara ekonomi, biaya itu tergolong murah jika dibandingkan dengan tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan yang diterima profesor selama satu tahun. Sebagai contoh, dengan tunjangan profesi sebesar Rp5 juta per bulan, maka dosen yang berjabatan akademik Guru Besar menerima tunjangan profesi dan kehormatan sebanyak Rp15 juta per bulan atau Rp180 juta per tahun. Selain itu, usia pensiun dosen yang menjabat Guru Besar bertambah dari 65 tahun menjadi 70 tahun.
Kedua, kesulitan menembus jurnal internasional bereputasi (JIB).JIB adalah jurnal terindeks dalam basis data internasional bereputasi yang diakui oleh Kemendikbudristek (Web of Science dan/atau Scopus) dengan SJR (SCImago Journal Rank) jurnal di atas 0,10 atau memiliki JIF (Journal Impact Factor) WoS (Web of Science) paling sedikit 0,05. Ada sebelas kriteria JIB sesuai PO PAK 2019,yaitu karya memenuhi kaidah ilmiah dan etika akademik, memiliki ISSN (International Standard Serial Number), menggunakan bahasa resmi PBB (Arab, Inggris, Rusia, Prancis, Spanyol, dan Tiongkok), memiliki terbitan versi online, dewan redaksi pakar di bidangnya dan berasal paling sedikit dari 4 negara, penulis artikel dalam satu nomor terbitan paling sedikit dari dua negara, alamat jurnal bisa ditelusuri online, tidak ada perbedaan dewan redaksi edisi cetak dan edisi daring, proses review (tinjauan) dilakukan dengan baik dan benar, publikasi artikel rutin dan wajar, dan tidak termasuk jurnal tidak bereputasi atau terdaftar sebagai jurnal meragukan. Menurut informasi, lebih dari 90% pengajuan Guru Besar dinyatakan ditolak karena tidak memenuhi syarat jurnal internasional bereputasi.
Kesulitan menembus JIB disiasati dengan jalan pintas memublikasi artikel di jurnal predator. Jurnal predator adalah sebuah jurnal internasional yang dalam proses penerbitannya tidak melalui proses review dan tidak melalui proses penyuntingan dengan baik dan benar.Terdapat sejumlah ciri jurnal predator, antara lain:kompetensi dewan editor tidak sesuai bidang ilmu jurnal, tidak melakukanpeninjauan kualitas naskah (peer review process), artikeldinyatakan diterima (accepted) dalam beberapa hari, dalam satu kali terbitan memuat puluhan artikel, memiliki kemiripan nama dengan jurnal bereputasi, terdapat banyak kesalahan penulisan, proses penyuntingan tidak profesional, artikel tidak sesuai cakupan (scope), dan memuat artikel berbagai disiplin ilmu. Hasil penelitian Vit Machacek dan Martin Srholec (2022) dari Charles University pada 164.000 artikel yang terbit selama 2015-2017, mencatat bahwa Indonesia berada di peringkat kedua terbanyak (16,73%) artikel terbit di jurnal predator, di bawah Kazakstan (17%).
Ketiga, kesulitan melewati birokrasi.Pengajuan jabatan Guru Besar diawali dengan pemberkasan (menyusun dan menilai) puluhan sampai ratusan kegiatan tridarma (pengajaran, penelitian, pengabdian, dan penunjang) yang sangat melelahkan dalam waktu beberapa bulan, kemudian mengunggah ke aplikasi yang bernama “SELANCAR PAK” (Sistem Pelacakan Secara Mandiri Penilaian Angka Kredit). Mulai tahun 2024 aplikasi ini diintegrasidengan sistem yang disebut SISTER (Sistem Informasi Sumber Daya Terintegrasi). Bagi dosen PTN alur kenaikan jabatan Guru Besar melewati lima tahap, mulai dosen, program studi, fakultas, universitas, sampai Kemdikbudristek. Bagi dosen PTS melewati enam tahap, karena harus melalui LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) sebelum ke Kemdikbudristek. Bagi dosen yang berkas-berkas dan administrasinya baik dan benar, proses pengajuan sampai turunnya SK Guru Besar bisa berlangsung kurang dari satu tahun. Namun, bagi dosen yang berkas-berkas dan administrasinya bermasalah, proses ini bisa berlangsung beberapa tahun, bahkan bisa ditolak.
Kesulitan melewati birokrasi ini menimbulkan jalan pintas dengan cara berkolusi dengan tim asesorkenaikan jabatan akademik dosen. Menurut investigasi Tempo, terdapat 142 profesor yang berkompeten menjadi tim penilai yang leluasa mengatur dan mendominasi proses penilaian Guru Besar di Kemdikbudristek. Tim asesor berwenang menilai pemenuhan syarat artikel di jurnal internasional dan kecukupan angka kredit dosen sampai memeriksa pelanggaran akademik. Tim penilai memiliki peran kunci untuk menentukan seorang dosen layak menjadi Profesor atau tidak. Tentu saja kolusi antara calon Guru Besar dan tim asesor ini tidak gratis, tetapi membutuhkan mahar puluhan juta rupiah. Sekali lagi, mahar sebesar itu masih tergolong murah secara ekonomi, karena seorang Guru Besar menerima tunjangan profesi dan kehormatan sekitar Rp180 juta per tahun dan pensiun pada umur 70 tahun. ***
—————- *** ——————