Diskusi bertajuk “Aspirasi Parlemen untuk Pilkada Serentak Berkualitas” di Gedung DPR Kamis (18/7/2024).
Jakarta, Bhirawa.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024 masih sulit diharapkan untuk menghasilkan kepala daerah yang punya standar moral tinggi dan prestasi yang baik karena masih tingginya biaya politik. Demikian dikemukakan oleh pengamat politik Ujang Komaruddin dari Universitas Al Azhar Indonesia dalam diskusi bertajuk “Aspirasi Parlemen untuk Pilkada Serentak Berkualitas” di Gedung DPR pada Kamis (18/7/2024).
Selain Ujang, turut jadi narasumber Anggota DPR Luluk Nur Hamidah (PKB), Mardani Ali Sera (PKS) dan Komisioner KPUD Jakarta Selatan Carlos Paath. Menurutnya, partai politik cenderung mengambil data dari lembaga survey untuk menentukan elektabilitas seorang kandidat kepala daerah. Hanya saja survey itu, selain berbiaya mahal, juga tidak mampu menjadikan standar moral yang tinggi dan prestasi yang baik sebagai acuan.
Hasilnya, ada kecenderungan para kandidat yang punya modal lebih besar akan diterima oleh partai politik untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Dengan demikian, banyak calon yang mumpuni secara pendidikan dan bersih secara moral, namun tidak mendapatkan tiket untuk maju dalam kontestasi politik di daerah.
“Ada kandidat yang mendekati lembaga survey dan membayarnya untuk menaikkan elektabilitas karena kalau angkanya tinggi maka partai akan merekomendasikannya sebagai kandidat kepala daerah,” ujar Ujang.
Menurutnya, kalau kita sepakat membangun kualitas Pilkada maka parpol harus menghadirkan para calon kepala daerah yang berintegritas selain berkualitas. “Jadi membayar lembaga survei saja sudah lumayan berat, lalu membayar lagi ke partai politik hingga puluhan miliar untuk jadi kepala daerah,” ujarnya menceritakan pengalamannya ketika memimpin lembaga survey untuk keperluan Pilkada.
Sementara itu, Lulu mengatakan selagi pejabat terlibat dalam penyalahgunaan wewenangnya dalam pemilihan umum maka akan sulit untuk menghasilkan kepala daerah yang berkualitas. Bahkan dia menilai pemilu 2024 ini merupakan pemilu yang brutal karena penuh dengan permainan bantuan sosial yang digunakan untuki mempengaruhi pemilih.
Dia mengatakan bahwa pemilu adalah perwujudan kedaulatan rakyat sehingga penyelenggaraannya harus berdasarkan pada prinsip kejujuran keadilan, tanggung jawab, dan etika yang tinggi.
“Tidak ada boleh satu pun pihak yang mencoba memobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan salah satu pihak walaupun mungkin itu ada hubungan dengan anak, saudara kerabat atau relasi kuasa yang lain,” ujarnya.
Menurutnya, pemilu tidak bisa dipandang hanya dalam konteks hasil, tapi lebih dari itu konteks proses harus juga jadi cerminan untuk melihat apakah hajatan demokrasi itu telah dilangsungkan secara jujur dan adil. (ira.hel).