Menegakkan Demokrasi Pancasila, Tidak Menerabas Undang-Undang
Oleh:
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik
“Demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi … bahwa pemerintah pada dasarnya harus memberikan pertanggunjawaban yang jujur kepada rakyat, bukannya membohongi mereka.”
(Pidato pelantikan KH Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden RI ke-4 di hadapan Sidang Umum MPR, 20 Oktober 1999)
Pemilhan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) mulai memasuki tahap paling krusial. Yakni, sosialisasi nomor urut paslon (pasangan calon). Pilkada, merupakan amanat konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 18 ayat (4), dinyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Pilkada tergolong Pemilu, sebagai jalan demokrasi memilih kepemimpinan daerah.
Memilih jalan demokrasi, merupakan mandat konstitusi. Tercantum dalam UUD pasal 1 ayat (1). Secara tekstual dinyatakan, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Disambung pasal 1 ayat (2), dinyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar.” Prinsip negara demokrasi, sebenarnya juga tersirat dalam pembukaan UUD, alenia ke-empat (Pancasila, sila ke-empat). Maka Pilkada menjadi keniscayaan.
Berdasar UUD pula, Pemilu diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sesuai amanat konstitusi seluruh calon anggota DPR, dan DPRD, harus mendaftar melalui parpol sebagai peserta Pemilu. Parpol pula yang diberi kewenangan menentukan nomor urut Calon Legislatif (Caleg pusat, dan daerah). Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, setiap Caleg memiliki daerah pemilihan sesuai penunjukan parpol.
Kini, daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada sudah dihitung KPU Prpinsi, serta KPUD Kabupaten dan KPUD Kota. Sudah banyak Paslon menebar gambar diri, berupa baner di jalan raya. Juga menebar ribuan “kartu nama” beserta nomor urut. Tetapi yang paling mencolok, adalah perubahan penampilan Paslon dan Tim sukses Paslon Kepala Daerah. Yakni, terkesan lebih santun, dan shaleh. Sering menebar hadiah, dan mengundang jamuan makan.
Ziarah Makam Keramat
Tetapi ada pula perubahan yang “tersembunyi.” Yakni, membawa azimat (berupa keris, kalung, cincin, gelang, sampai kopyah). Ada pula yang berupa mantera dan doa. Tak jarang pula direkomendasikan melakukan ritual khusus. Misalnya berendam di sungai tengah malam. Kadang juga diperintahkan menziarahi makam tokoh-tokoh daerah, tokoh nasional, dan tokoh legenda spiritual. Sehingga makam-makam keramat tokoh masyarakat, menjadi ramai. Hampir seluruh Paslon, dan Tim Sukses, memiliki andalan, berupa “tirakat” yang bisa meningkatkan semangat, upaya, dan pengharapan.
“Tirakat,” telah menjadi kebiasaan bangsa Indonesia untuk meraih sukses. Antara lain melalui petunjuk guru, sesepuh, atau tokoh spiritual, serta tokoh agama, dan dukun. Tetapi bukan sembarang dukun, melainkan yang telah kesohor. Sehingga gejala perdukunan dan mendatangi kuburan makam-makam keramat, mendadak ramai sebulan ini (sampai bulan berikutnya). Yang datang ke makam keramat, bukan personel lusuh dengan problem yang menyesakkan dada. Melainkan Calon Bupati (beserta Wakil), dan Calon Walikota (beserta Wakil).
Biasanya, rombongan diantar Tim Sukses. Tujuan mengunjungi makam keramat, tak lain, ngalap berkah (berharap) memperoleh ke-rida-an Tuhan, bisa meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya, menjadi pemimpin daerah. Tak jarang, yang datang merupakan incumbent yang sudah menjadi pimpinan daerah periode sebelumnya. Bahkan petahana nampak semakin rajin tirakat. Sekaligus lebih rajin mengunjungi makam keramat. Juga mencari “orang pintar.”
Perdukunan (mencari “orang pintar”) bukanlah perilaku negatif, walau bukan pula core demokrasi. Bahkan perdukunan bisa menjadi positif, manakala menguatkan spiritual quotient (SQ, kecerdasan spiritual). Bersyukur, karena hampir seluruh paslon berkelakuan lebih baik, dan dermawan. Mulai rajin menunaikan ibadah. Senang membaca wirid pula. Bahkan untuk urusan belanja kampanye (karena sudah diyakinkan dukun), paslon akan rela meng-gadaikan BPKB mobil, atau sertifikat tanah dan rumah.
Berbagai lembaga survei telah dikerahkan oleh parpol untuk menjejaki popularitas dan tingkat elektabilitas. Namun meski telah memiliki kemungkinan positif, Caleg, dan Tim Sukses Paslon tetap berupaya keras menarik simpati pemilik hak pilih. Termasuk dengan “guna-guna” (dalam bahasa santri disebut mahabbah) yang direkomendasikan oleh dukun maupun tokoh adat. Sebagian diberi bekal berupa mantera dan doa. Tak jarang pula direkmendasikan melakukan ritual khusus. Misalnya mandi kembang tengah malam.
Suap, Sedekah Politik
Setiap Paslon, dan Tim Sukses Paslon, pasti memiliki pengharapan yang besar. Begitu pula yang sering datang ke tempat-tempat keramat dan dukun akan memiliki optimisme lebih besar. Semangat dan optimisme itulah yang mesti diatur melalui undang-undang (UU), dan berbagai peraturan KPU. Termasuk melalui kinerja Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), sebagai “wasit pengadil” Pemilu. Juga masih terdapat DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), sebagai benteng pelapis pemantau etika KPU, dan Bawaslu.
Maka perangkat “wasit pengadil” pemilihan umum telah cukup memadai. Termasuk eksistensi DKPP, yang aktif mengawasi kinerja KPU dan Bawaslu. Terbukti, pada masa Pemilu yang lalu (2024) Ketua KPU sampai dipecat. Begitu pula Pemilu tahun 2019, beberapa komisioner KPU Propinsi, KPU Kabupaten dan kota, serta Bawaslu, dipecat karena melakukan pelanggaran. Biasanya, divonis tidak netral terhadap pasangan calon. Serta antara lain, tidak memproses laporan kecurangan dan pelanggaran pilkada. Terutama money politics yang sangat masif.
Pada musim Pilkada serentak, banyak bermunculan “agen suara” dengan membawa daftar suara pemilih. Personel “agen suara” biasanya memiliki kedudukan sosial cukup memadai dalam struktur masyarakat di perkampungan (desa). Misalnya, Ketua RT (Rukung Tetangga), Ketua RW (Rukun Warga), Kepala Dusun, sampai Kepala Desa. Seluruhnya memiliki kapasitas sebagai “calo” dukungan masyarakat. Ironisnya, daftar nama masyarakat yang akan “dijual” memiliki validitas 90% benar.
Garansi kebenaran sampai 90% itu, sangat memikat paslon. Jumlah dukungan yang diklaim, biasanya sebanyak (paling sedikit) seratus nama penduduk. Pada tingkat “calo” agen besar bisa mencapai sepuluh ribu nama, lengkap dengan alamat. Harga setiap nama (one vote), berkisar antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Tetapi pada saat genting, mendekati coblosan pilkada, bisa seharga Rp 200 ribu per-orang. Konon pada tiap pilkada, “calo” money politics telah menjadi kelaziman.
Siapa tak kepincut? Tetapi diperlukan dedikasi jajaran Bawaslu untuk membongkar kinerja “calo” agen suara dukungan masyarakat pemilih. Saat ini tengah diuji kasus money politics sistemik pada pilkada pada beberapa kabupaten, di seantero Jawa (dari Banten hingga Jawa Timur). Bawaslu telah memperoleh banyak bukti, terutama bukti uang, serta saksi pelaku (penerima). Konsekuensi hukum “money politics” dapat berupa pencoretan kesertaan Paslon dalam Pilkada.
Ironisnya, suap politik seolah-olah “difasilitasi” secara sistemik oleh perundang-undangan. Namun hingga kini belum terdapat timbangan (ancaman) terhadap moralitas penyuap. Nyaris tidak terdengar kasus pencoretan Paslon, karena memberi uang pada calon pemilih. Kecuali pernah ditetapkan coblos ulang oleh MK (Mahkamah Konstitusi) karena menyuap pemilik suara. Suap, money politics, menyebabkan ongkos politik sangat mahal.
Ongkos Pilkada yang “di-pinjam-kan” oleh cukong politik, bukan uang gratis. Menuntut pengembalian lebih besar. Niscaya akan menyebabkan perilaku mengumpulkan uang balik modal oleh Paslon yang memenangkan Pilkada. Padahal politik uang, tak beda dengan suap, yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
——— *** ———-