Kota Batu, Bhirawa
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batu mengusulkan metode pemungutan royalti dalam pemutaran musik di restoran. Metode ini dengan mengambil prosentase pada biaya produksi penyelenggaraan live musik di restoran. Hal ini juga bisa diterapkan di tempat wisata yang banyak tersebar di Kota Batu.
Menurut Ketua PHRI Kota Batu, Sujud Harijadi, penyelenggaraan live musik di restoran ini bisa menjadi solusi alternatif dalam pemungutan royalti musik. Dan prosentasi beban royaltinya dihitungkan pada biaya produk dari penyelenggaraan live musik itu.
”Misal, jika beban royalti pada live musik ditetapkan sebesar 2%. Jika dalam penyelenggaraan live musik menghabiskan biaya Rp 100 juta, maka royalti musik yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp2 juta,” jelas Sujud, Rabu (20/8).
Adapun besaran royalti yang harus dibayarkan sebuah restoran tinggalkan menjumlahkan berapa kali restoran itu menyelenggarakan live musik dalam setahun. Tentunya di setiap penyelenggaraan live musik memiliki besaran royalti yang berbeda sesuai dengan biaya penyelengaraannya.
Usulan alternatif ini dibuat PHRI Kota Batu menyusul banyak restoran di Kota Wisata ini yang mengeluh terancam gulung tikar akibat beban royalti yang besar. ”Dan untuk merealisaskkannya, kita telah bersurat ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai pihak yang menangani royalti musik,” jelas Sujud.
Usulan royalti live musik ini, lanjut Sujud, juga bisa diterapkan kepada usaha tempat wisata yang banyak tersebar di Kota Batu dan daerah- daerah lainnya. Karena tak sedikit tempat wisata yang menggelar live musik untu? bisa menarik pengunjung atau wisatawan.
Diketahui, para pengusaha restoran dan taman wisata di Kota Batu mengeluhkan dengan peraturan pembayaran royalti musik. Hal ini sangat memberatkan karena penghitungan royalti yang diprosentasikan pada jumlah kursi restoran yang dimiliki. PHRI Kota Batu menampung keluhan para pengusaha restoran ini yang mengaku beban royalti terlalu berat dan membuat tempat usahanya terancam gulung tikar.
”Lebih dari 50% pengusaha restoran yang ada di Kota Batu mengeluhkan terkait pembayaran royalti musik ini,” tambah Sujud. Namun demikian mereka selama ini tetap membayar royalti yang dibebankan pemerintah.
Sujud menjelaskan, dalam dunia usaha restoran, keberadaan atau pemutaran musik bukan merupakan usaha utamanya. Musik hanya menjadi upaya menjadikan restoran tersebut menarik dan dikunjungi pembeli. .
Sebagai opsi teeburuk, PHRI Kota Batu menyarankan agar restoran untuk tidak lagi menyediakan musik sebagai hiburannya. Hanya saja opsi ini berpotensi menyebabkan berkurangnya pengunjung atau pembeli di restoran itu. [nas.fen]


