31 C
Sidoarjo
Sunday, April 13, 2025
spot_img

Perjuangan, Stigma, dan Filosofi Tiga Ujung

Judul buku : …dan janda itu ibuku
Penulis : Kang Maman
Penerbit : Grasindo
Terbit : Pertama, November 2024
Jumlah : 234 halaman
ISBN : 978-602-05-3119-9
Peresensi : Abd. Khafi
Santri Kutub PP. Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Novel …dan Janda Itu Ibuku karya Kang Maman adalah mahakarya yang tidak hanya mengisahkan kehidupan seorang ibu, tetapi juga menyentuh berbagai fenomena sosial dengan pendekatan budaya dan emosi yang mendalam. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun tajam, Kang Maman membawa pembaca menyusuri perjuangan seorang perempuan yang sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Novel ini membuka ruang apresiasi terhadap peran ibu, khususnya mereka yang harus berjuang seorang diri. Kang Maman menggambarkan Ibu sebagai sosok sentral yang menjadi jangkar keluarga. Setelah suaminya meninggal, Ibu dalam novel ini tidak hanya berperan sebagai tulang punggung keluarga, tetapi juga sebagai pendidik, penyembuh, pelindung, dan motivator bagi anak-anaknya.

“Kenapa kamu mau berbecek-becek lewat sawah sampai sepatumu kotor dan tiap hari harus dicuci dan dijemur? Kamu takut sama preman itu? Jangan jadi pengecut kamu. Besok jika kamu lewat sini lagi, jangan jadi anakku lagi!” (Halaman 41)

Kutipan ini menggambarkan sosok Ibu sebagai pribadi yang tegas, berani, dan penuh cinta dalam mendidik anak-anaknya. Dengan nada sederhana namun penuh makna, Kang Maman menghadirkan potret seorang ibu yang menjalankan tugasnya tanpa batas. Perjuangan Ibu mengingatkan pada konsep motherhood as sacrifice, seperti dijelaskan Ann Crittenden dalam The Price of Motherhood. Crittenden menekankan bahwa kerja seorang ibu sering kali tidak terlihat tetapi menjadi fondasi utama bagi keluarga. Novel ini mencerminkan ide tersebut dengan sangat kuat.

Berita Terkait :  Menjahit Masa Depan Perempuan Desa Melalui Pendidikan Informal Berkualitas

Namun, fokus cerita yang terlalu menitikberatkan pada pengorbanan membuat narasi terasa satu dimensi. Pembaca kehilangan kesempatan untuk melihat sisi lain dari Ibu sebagai individu: apa yang membuatnya tertawa, apa yang menjadi impiannya, atau kebahagiaan kecil yang ia nikmati selain bermain tenis dengan tetangga ataupun istri-istri almarhum suaminya. Penambahan elemen-elemen ini dapat memperkaya karakterisasi Ibu.

Salah satu kekuatan utama novel ini adalah keberanian Kang Maman mengangkat stigma yang sering kali dilekatkan pada perempuan dengan status janda, terutama janda muda. Penulis dengan lugas menggambarkan bagaimana masyarakat cenderung menghakimi tanpa memahami latar belakang atau konteks.

“Janda itu/ Ibuku/ Juga/ Manusia/ Masih bisa/ Terluka/ Oleh tajamnya/ Dihina.” (Halaman 50)

Kutipan tersebut menohok hati pembaca, menunjukkan betapa kejamnya pandangan masyarakat terhadap perempuan dengan status janda. Dalam penelitian Elizabeth Thornhill (2020) tentang persepsi masyarakat terhadap janda di Asia, stigma semacam ini tidak hanya mengisolasi perempuan, tetapi juga membatasi akses mereka terhadap peluang sosial dan ekonomi. Novel ini dengan jelas menunjukkan bagaimana Ibu menghadapi cibiran masyarakat saat ia berjuang untuk anak-anaknya.

Namun, novel ini kurang memberikan solusi konkret terhadap isu ini. Misalnya, bagaimana Ibu melawan stigma melalui pencapaian yang diakui masyarakat atau keterlibatan dalam komunitas yang memberdayakan perempuan. Advokasi semacam ini dapat memperkuat pesan novel sekaligus memberikan inspirasi lebih besar bagi pembaca.

Berita Terkait :  Kawal Netralitas ASN di Pilkada 2024

Penggabungan budaya lokal Makassar menjadi salah satu daya tarik utama novel ini. Filosofi tiga ujung-ujung lidah, ujung laso, dan ujung badik-menjadi simbol penting dalam cerita.

“Jangan mudah melukai dengan ketiga ujung itu, atau Ibumu akan membawa penyesalan hingga ke liang lahatnya.” (Halaman 88)

Ujung lidah melambangkan pentingnya tutur kata. Ibu selalu berbicara dengan lembut tetapi tegas kepada anak-anaknya, mengajarkan nilai kesopanan dan kedisiplinan. Ujung laso (kelamin lelaki) mencerminkan kerja keras dan ketekunan. Ibu menunjukkan ini melalui perjuangannya yang tak kenal lelah dalam menghidupi anak-anaknya. Ujung badik melambangkan keberanian. Dalam berbagai momen, Ibu memperlihatkan keberanian luar biasa dalam menghadapi tekanan sosial dan ekonomi.

Namun, filosofi ini hanya menjadi elemen pendukung dan tidak sepenuhnya terintegrasi dengan konflik utama cerita. Jika nilai-nilai tersebut dieksplorasi lebih mendalam, terutama dalam menghadapi tantangan utama yang dihadapi Ibu, novel ini akan memiliki daya tarik yang lebih kompleks.

Novel ini juga menyoroti tema tentang ibu rumah tangga sebagai pekerjaan yang menuntut tenaga dan pikiran tak berkesudahan. Ibu menjalani rutinitas harian yang seolah tak pernah berhenti, mulai dari memasak hingga mengurus anak-anaknya.

“Sejak itu juga, tegas tergambar di mata hatiku, ‘Ibu (rumah tangga) bukan ‘cuma,’ bukan ‘hanya’!” (Halaman 122)

Kutipan ini mempertegas penghargaan Kang Maman terhadap peran ibu rumah tangga. Tema ini sejalan dengan gagasan dalam buku The Second Shift karya Arlie Hochschild, yang menunjukkan bahwa perempuan sering kali menghadapi “shift kedua” berupa pekerjaan domestik setelah pekerjaan formal. Meski Ibu dalam novel ini tidak memiliki pekerjaan formal, rutinitasnya mencerminkan realitas bahwa pekerjaan rumah tangga membutuhkan dedikasi yang sama besar dengan pekerjaan lain.

Berita Terkait :  Teknologi Tanpa Karakter: Tantangan Pendidik di Era Digital

Namun, novel ini tampaknya terlalu romantis dalam menggambarkan pengorbanan Ibu, sehingga mengaburkan diskusi tentang perlunya pembagian peran domestik secara adil dalam rumah tangga. Isu ini penting untuk diangkat dalam konteks kesetaraan gender yang menjadi perhatian masyarakat modern.

…dan Janda Itu Ibuku adalah novel yang menggetarkan dan menginspirasi. Kang Maman berhasil menyajikan kisah penuh emosi yang mengangkat tema cinta ibu, stigma sosial, dan kearifan lokal. Novel ini mencerminkan kehidupan banyak perempuan Indonesia yang berjuang menghadapi tekanan ekonomi dan sosial.

Namun, sebagai sebuah karya sastra, novel ini masih memiliki kelemahan, seperti karakterisasi yang kurang seimbang, eksplorasi budaya yang terbatas, dan kurangnya advokasi terhadap isu sosial yang diangkat. Meskipun demikian, novel ini tetap layak dibaca sebagai penghormatan terhadap perjuangan seorang ibu dan pengingat akan pentingnya nilai-nilai budaya lokal.

Bagi pembaca yang mencari cerita sederhana tetapi penuh makna, …dan Janda Itu Ibuku adalah pilihan yang tepat. Sebuah karya yang membuka mata dan hati, meski belum sepenuhnya sempurna. Selamat Hari Ibu 2024!

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru