Segenap penyelenggara pemerintahan telah gemas dengan berbagai peretasan data melalui teknologi informasi. Berkali-kali isu peretasan data, yang terbaru menyasar 6 juta NPWP, termasuk milik presiden Jokowi. Serta peretasan PDNS (Pusat Data Nasional Sementara) di Surabaya, dibobol pula. Bahkan sebelumnya juga patut dikhawatirkan pembobolan data di KPU (Komisi Pemilihan Umum). Karena hacker bisa mengubah per-angka-an perolehan suara.
Prediden Prabowo Subianto, telah memerintahkan Panglima TNI untuk membentuk “matra keempat,” khusus siber. Sangat stgrategis, dan sangat dibutuhkan saat ini. Karena konon tiada benteng kokoh yang bisa menjamin keamanan 100% pusat data. Hacker (peretas) tidak sulit menyusup ke dalam basis data Kementerian dan Lembaga Negara. Bahkan NASA (National Aeronauticus and Space Administration) juga sering dibobol.
Peretasan pernah dilakukan remaja asal Tangerang yang berjuluk “hacker shaleh” (sering disebut white hat hacker). Namun secara umum penyusupan pusat data sangat mengkhawatirkan. Setiap hacker patut diwaspadai, karena umumnya melakukan pekerjaan terlarang bidang siber. Termasuk menyasar perbankan, data pertahanan, dan menyusup ke KPU (yang bisa mengacaukan proses demokrasi). Beberapa kali isu penyusupan hacker menjadi topik pembahasan keamanan data pribadi. Terutama pada sektor perbankan.
Indonesia juga memiliki “hacker shaleh,” pada tahun 2019 berhasil meretas situs milik NASA (National Aeronautics and Space Administration, Badan Antariksa milik Amerika). Padahal saat itu baru berusia 14 tahun, duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiyah. Kini beberapa Kementerian dan lembaga pemerintahan memanfaatkan keahliannya untuk “meng-amankan” wesbsite. Tetapi pula hacker jahat (black hat hacker), yang meretas web untuk mencuri data, sekaligus merusak sistem.
Seperti dilakukan hacker yang meretas website Diskominfo Jawa Timur. Sekaligus menampilkan diri dengan ujaran kebencian, ancaman, dan teror. Padahal ancaman hukuman ujaran kebencian sangat berat, berdasar UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua UU 11 Tahun 2008 Tentang ITE. Tercantum dalam pasal 45A ayat (2), hukumannya berupa penjara maksimal selama 6 tahun, dan atau denda paling banyak Rp 1 milyar.
Maka APH (Aparat Penegak Hukum) patut memburu setiap hacker, walau tidak mudah. Tiada cara lain, kecuali bekerjasama dengan kalangan hacker. Persis sama dengan yang dilakukan Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS). Caranya, dengan menggelar kompetisi hacking, bertajuk “Hack Pentagon,” tahun 2016. Dipersilakan menyusup ke Pentagon (kantor markas utama Angkatan Bersenjata Amerika Serikat).
Ternyata, pemenangnya seorang remaja yang baru lulus SMA. Benar-benar berhasil membobol situs milik Pentagon, Kementerian Pertahanan AS. Sontak memperoleh simpati, dan tawaran pekerjaan. Juga hadiah uang sebesar Rp 1 milyar. Hakcer yang lain juga di-wadahi dalam asosiasi yang dikontrol pemerintah, menjadi “pasukan” siber.
Di seluruh Indonesia, terdapat ratusan remaja hacker, yang siaga membantu. Terutama akan berfungsi sebagai polisi patrol siber. Di seluruh dunia, keamanan web strategis tidak bisa dijamin 100%. Karena peretasan web bisa dilakukan dari tempat jauh. Kini peretasan web Diskominfo Jatim sudah menghilang. Namun jejak digital telah tetap meninggalkan konsekuensi hukum yang harus dijalani.
——— 000 ———


