Oleh:
Maryono
Penulis adalah mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) Sidoarjo Nomor 48 Tahun 2022 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas Dan Fungsi, Serta Tata Kerja Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo sungguh menjadi momentum untuk menghadirkan birokrasi yang efektif dan efisien. Hadirnya Perbup 48/2022 ini tidak lain adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan penyederhanaan birokrasi yang optimal dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kinerja pemerintahan serta pelayanan publik.
Hal ini sesungguhnya merupakan amanah dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke dalam Jabatan Fungsional dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyerderhanaan Struktur Organisasi pada Instansi Pemerintah. Lantaran itu, untuk Penyederhanaan Birokrasi, perlu dilakukan penyesuaian struktur organisasi dan tugas pokok fungsi pada Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo.
Spirit Penyederhanaan Birokrasi
Penyederhanaan birokrasi di instansi pemerintah termasuk di Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Sidoarjo bertujuan untuk mempercepat pengambilan keputusan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) sebagai instansi yang diberikan kewenangan untuk pelaksanaan penyederhaan birokrasi ini telah selesai melakukan penyederhanaan birokrasi dan mendorong untuk instansi pemerintah agar dapat melakukan penyederhanaan birokrasi.
Momentum penting penyederhanaan birokrasi ini juga bersamaan dengan pembangunan SDM dan pemindahan Ibu Kota Negara dalam menghadapi tantangan global yang ada pada saat ini. Tantangan tersebut dapat dilihat dari adanya perubahan cara kerja secara drastis melalui tranformasi digital. Hal ini tentunya menuntut ASN sebagai SDM di pemerintahan untuk memiliki keahlian dan berkompeten agar dapat bekerja dengan cepat, adaptif, serta inovatif.
Selain kebijakan tersebut, implementasi penyederhanaan birokrasi juga dimasukkan menjadi bagian dari penilaian Indeks Reformasi Birokrasi. Hal ini dilakukan untuk perbaikan birokrasi dan peningkatan kearah yang lebih baik. Seperti diketahui, penyederhanaan birokrasi ini dilakukan dengan mengalihkan jabatan administrator (eselon III), pengawas (eselon IV), dan pelaksana (eselon V) menjadi jabatan fungsional yang menghargai keahlian dan kompetensi sesuai dengan kriteria penyetaraan jabatan.
Penyetaraan jabatan tersebut dilakukan dengan jabatan administrator menjadi jabatan fungsional ahli madya, jabatan pengawas menjadi jabatan fungsional ahli muda, dan jabatan pelaksana disetarakan menjadi jabatan fungsional ahli pertama.
Tantangan Penyederhanaan Birokrasi
Reformasi birokrasi menjadi salah satu langkah strategis dan dimaknai sebagai upaya perbaikan sistem dan tata kelola pemerintahan untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang dinamis dan pelayanan publik yang efektif. Reformasi birokrasi dilaksanakan melalui tiga tahapan yaitu penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan, dan penyesuaian sistem kerja organisasi.
Penyederhanaan struktur organisasi sebagai satu peluang untuk mewujudkan organisasi pemerintahan yang agile dan mewujudkan aparatur yang profesional dengan melakukan penyetaraan jabatan administrasi menjadi jabatan fungsional yang berbasis pada keahlian/keterampilan.
Penyetaraan birokrasi di tingkat Pemerintah Pusat sudah mulai dilaksanakan di tahun 2020 dan diikuti oleh Pemerintah daerah di sepanjang tahun 2021. Diawal tahun 2022 penyetaraan jabatan kembali menjadi perbincangan hangat terutama dikalangan para ASN di Pemerintah Daerah. Hal ini terjadi karena selama tahun 2021 secara pararel Pemerintah Daeah berpacu menyiapkan diri dalam rangka penyetaraan para pejabat struktural menjadi pejabat fungsional sampai dengan prosesi pelantikan penyetaraan.
Permasalahan penyederhanaan birokrasi yang tujuannya untuk meningkatkan layanan publik melalui jalur penyetaraan jabatan di Pemerintah daerah memang tidak bisa dianggap enteng untuk diimplementasikan. Parameter yang digunakan dalam mengukur peningkatan layanan publik kaitannya dengan penyetaraan jabatan harus kembali diuji dan selayaknya dapat menjawab pertanyaan apakah dengan penyetaraan jabatan dapat meningkatkan layanan publik.
Penyetaraan jabatan ini menghadapi dilema apakah benar-benar untuk mendorong perofesionalitas ASN atau hanya dianggap ganti baju saja dari jabatan struktural menjadi jabatan fungsional. Penyetaraan jabatan dengan esensi tata hubungan kerja yang sama dan tugas fungsi yang tidak banyak berubah pasca penyetaraan, tentu berimbas pada biasnya pengukuran peningkatan layanan publik sebelum dan pasca penyetaraan jabatan di Pemerintah Daerah. Pelayanan publik lebih efektif dan efisienkah pasca penyetaraan menjadi isu yang harus dicarikan jawabannya dengan indikator pengukuran yang tepat.
Informasi penting disajikan secara kronologis Tantangan Penyetaraan jabatan di Pemerintah daerah selain dikaitkan dengan efektivitas layanan publik, juga menghadapi tantangan pada individu pejabatnya sendiri. Demotivasi, ketidak tahuan esensi jabatan fungsional dan ditambah lagi dengan masih melaksanakan tugas fungsi sebagai pejabat struktural yang disandang sebelumnya, latarbelakang pendidikan yang tidak sesuai dengan kompetensi jabatan fungsional menambah deretan permasalahan yang kian komplek yang terjadi di Pemerintah Daerah.
Ketidaksiapan organisasi pemerintah daerah selaku entitas kelembagaan dalam membuat regulasi mengenai tata hubungan kerja pasca penyetaraan jabatan juga semakin menambah asumsi bahwa implementasi penyetaraan jabatan masih banyak kendala yang dihadapi. Unit Pembina fungsional yang diciptakan untuk mendorong dan mengelola karir para pejabat fungsional masih belum terlihat peran dan fungsinya, mengingat untuk unit Pembina juga merupakan hal yang baru mengelola SDM fungsional yang begitu banyak dan begitu kompleks.
Selain itu budaya bekerja yang masih sangat kental unsur politis dan hierarkies menjadi tantangan tersendiri, merubah menjadi sistem kerja horizontal (Flat) pasca penyetaraan jabatan tidaklah mudah. Perubahan struktur organisasi yang berimplikasi pada mekanisme penyelenggaraan tugas pemerintahan di Pemerintah Daerah tidak dapat terelakan lagi. Pemerintah daerah mulai menyiapkan seperangkat tools yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan tugas dengan struktur dan mekanisme kerja baru. Pemerintah Daerah menyiapkan guideline mekanisme penyelenggaraan tugas pasca penyederhanaan birokrasi untuk menjamin penyelenggaraan layanan publik tetap berjalan, dan perwujudan reformasi birokrasi lebih terakselerasi.
Berbagai model inovasi mekanisme tata hubungan kerja baru diciptakan. Walaupun hingga saat ini belum ada roles model tata hubungan kerja dengan model flat (squad team) di instansi pemerintah dalam kapasitas yang besar yang menghubungkan tata hubungan antar jabatan fungsional lintas perangkat daerah maupun lintas organisasi.
Bahwa dalam penyederhanaan birokrasi, pemerintah daerah tidak selalu mengkopi apa yang dilakukan pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah lain yang terkadang tidak sesuai dengan potensi daerah itu sendiri. Karena kebijakan tersebut harus disesuaikan dengan potensi dan tantangan di daerah masing-masing. Kecermatan melihat potensi ini yang seharusnya menjadi karakter setiap pemimpin.
Dalam reformasi birokrasi, sungguh penting dampak dan gesitnya dengan perampingan birokrasi. Misalnya merampingkan proses bisnis layanan di BKN dalam layanan kenaikan pangkat, layanan pensiun, dan pindah instansi. Melakukan perubahan dalam birokrasi terutama dalam penyederhanaan untuk jabatan agar bergerak dengan lincah.
Dalam keberhasilan penyederhanaan birokrasi ada 2 unsur utama yang harus diubah mindset SDM dan budaya kerja. Perubahan pola pikir ASN terdampak menjadi sangat penting, salah satu yang dapat dilakukan untuk merubah mind set adalah dengan sosialisasi yang terus menerus sebelum dan sesudah penyederhanaan birokrasi. Dukungan top management yang dituangkan dalam kebijakan berbentuk regulasi tata hubungan kerja ini menjadi salah satu kunci berubahnya model hierarkies menjadi model flat dengan basis kolaborasi.
Disamping itu perubahan pola imbalan atau insentif dapat mendorong penerimaan serangkaian nilai budaya baru. Rotasi jabatan dan seleksi serta promosi pegawai yang mempunyai karakteristik pribadi sesuai nilai-nilai budaya baru mulai harus ditumbuhkembangkan. Harapannya pasca penyederhanaan birokrasi dengan mekanisme kerja baru dengan model dynamic working arrangement, yang menekankan semangat, kecepatan bergerak dan kecepatan menyesuaikan diri dalam mendukung pelaksanaan tugas organisasi dapat terwujud. Semoga ***