Oleh :
Tania Nayla Mufida
Mahasiswi Program Studi Farmasi FakultasIlmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang
Pada pertumbuhan dan perkembangan anak, terdapat gangguan penyimpangan yang bisa terjadi, khususnya pada anak yang bertubuh pendek dan sangat pendek, yaitu stunting. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Stunting dan kekurangan gizi lainnya yang terjadi pada 1.000 HPK tidak hanya menyebabkan hambatan pertubuhan fisik dan meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, tetapi juga mengancam perkembangan kognitif yang akan berpengaruh pada tingkat kecerdasan saat ini dan produktivitas anak di masa dewasanya.
Permasalahan stunting di Indonesia masih menjadi keprihatinan bersama. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun 2023, angka kejadian stunting di Indonesia mencapai sebesar 21,5% dan target angka prevalensi stunting di Indonesia pada akhir tahun 2024 adalah 14%. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah melakukan berbagai intervensi, seperti: intervensi terhadap gizi anak, intervensi terhadap kondisi rumah, intervensi terhadap ketersediaan air, dan pendampingan calon pengantin sebelum menikah. Selain itu, pemerintah juga melakukan penajaman intervensi agar program lebih tepat sasaran. Hal ini dilakukan dengan cara: menyediakan data kelompok sasaran yang lebih akurat dan melakukan pemantauan secara berkala.
Ciri-ciri seorang anak terindikasi stunting antara lain adalah pertambahan tinggi badan tidak sesuai dengan kurva pertumbuhan berdasarkan umur dan jenis kelamin. Dengan kata lain, tinggi badannya lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya pada populasi yang sama atau laju pertambahan tinggi badannya lebih lambat dari anak seusianya. Oleh karena itu, tumbuh kembang anak harus dipantau dan diukur tinggi badannya setiap bulan hingga berusia dua tahun. Pemantauan kemudian dilanjutkan secara berkala selama 6-12 bulan setelah berusia dua tahun.
Penyebab terjadinya stunting pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor asupan gizi ibu dan anak, status kesehatan balita, ketahanan pangan, lingkungan sosial dan kesehatan, lingkungan pemukiman, kemiskinan, dan lainnya. Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai kehidupan awal. Penyebabnya karena asupan makanan yang kurang beragam, suplementasi mikronutrien (zat gizi mikro), dan menyusui. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab stunting. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.
Dalam hal ini, apoteker dapat memikirkan solusi yang tepat untuk menangani dan mencegah stunting. Apoteker dapat menjadi komunikator, informator, serta edukator tentang dukungan pemberian ASI, seperti memberi informasi terkait manfaat ASI dan tips memilih susu formula yang sesuai. Dalam susu formula minimal mengandung komponen air, karbohidrat, protein, serta lemak dalam jumlah yang direkomendasikan, termasuk zat besi dan vitamin D. Jadi sebelum stunting memberikan dampak pada tumbuh dan kembang anak secara menyeluruh, maka stunting harus dicegah. Dengan cara memberikan suplementasi mikronutrien yang terdiri dari suplementasi kalsium untuk ibu hamil serta suplementasi kapsul vitamin A, suplementasi taburia, dan suplementasi zinc untuk pengobatan diare bagi anak usia 0-59 bulan.
Direktur Nutrition Internasional Indonesia menekankan pentingnya peran apoteker dalam mencegan stunting, dengan memberikan pelatihan kepada apoteker di puskesmas. Dalam hal ini, pelatihan terkait manajemen rantai pasok yang berdampak pada peningkatan kapasitas staf farmasi di puskesmas untuk memperkirakan stok dan menghindari situasi kehabisan stok komoditas gizi. Apoteker juga dapat memberikan edukasi kepada ibu hamil dan remaja putri terkait bagaimana cara mencegah stunting. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memberikan tablet penambah darah, sebagai upaya mencegah anemia pada ibu hamil dan remaja putri. Selain itu, para apoteker juga dapat memberikan susu berbagai jenis sesuai usia balita keluarga sasaran, dan memberikan vitamin penambah nafsu makan agar gizi anak bias terpenuhi dengan baik.
Makronutrien dan mikronutrien juga dapat berperan penting dalam pencegahan dan penanganan stunting. Makronutrien seperti karbohidrat, protein, dan lemak menyediakan energi dan mendukung pertumbuhan. Sedangkan mikronutrien seperti vitamin dan mineral, dapat mendukung fungsi metabolisme dan kekebalan tubuh. Hal ini dapat memberikan inspirasi kepada farmasi untuk melakukan inovasi produk pencegahan dan penanganan stunting.
Pemenuhan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, menjadi upaya pertama dalam menghindari stunting. Pemenuhan gizi tersebut meliputi gizi selama kehamilan dan masa kanak-kanak hingga usia dua tahun. Kesehatan ibu hamil dan anak juga harus dijaga dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Pemantauan tumbuh-kembang anak secara berkala juga perlu dilakukan agar dapat segera dideteksi bila terjadi keterlambatan pertumbuhan untuk diintervensi. Zat gizi sangat penting untuk pertumbuhan, terutama protein, dan mikronutrien lainnya, seperti zinc, yodium, zat besi, vitamin A, vitamin D, vitamin B12, dan asam folat. Selain jumlah yang cukup, kualitas dan keberagaman jenisnya juga harus diperhatikan sesuai dengan kebutuhan.
Penanganan stunting di Indonesia saat ini memang tidak mudah. Banyak faktor yang mempengaruhi dan menjadi tantangan dalam program pengentasan stunting. Sebuah penelitian terbaru mendapatkan bahwa tinggi badan ibu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam kejadian stunting. Mengingat nutrisi 1.000 hari pertama kehidupan dibutuhkan sejak awal kehamilan, sementara kita tidak dapat mengetahui kapan tepatnya kehamilan terjadi, maka ada baiknya kebutuhan zat gizi di sepanjang masa kehidupan perlu diperhatikan.
Oleh karena itu perlu dilakukan intervensi gizi pada remaja putri, karena masa remaja merupakan masa pertumbuhan cepat terakhir sebelum dewasa, agar mencapai tinggi badan optimal. Selain itu diperlukan juga intervensi gizi kepada perempuan dengan tinggi badan kurang dari 150 cm sejak menikah agar asupan zat gizi anaknya terpenuhi sejak awal kehamilan.
————— *** —————–