Oleh :
Siti Aminah
Staf Pengajar FISIP Universitas Airlangga
Kejadian bencana longsor, banjir, erupsi gunung dan lain-lain di beberapa daerah Indonesia menjadi keprihatian kita semua.Bencana tidak muncul semata-mata karena adanya bahaya alam, melainkan juga akibat interaksi antara bahaya dengan masyarakat yang rentan dan tidak siap.Posisi geografis Indonesia di pertemuan lempeng tektonik utama dan sabuk iklim tropis global menjadikannya salah satu negara paling rawan bencana di dunia.Namun, intensitas dan frekuensi bencana yang memengaruhi negara kepulauan ini telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir akibat perubahan iklim global.Naiknya permukaan air laut, curah hujan ekstrem, kekeringan berkepanjangan, dan meningkatnya bahaya hidrometeorologi semakin mengancam keamanan manusia, pembangunan ekonomi, dan stabilitas ekologi.Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi kebutuhan mendesak untuk merumuskan kembali kebijakan mitigasi bencana dan pengurangan risiko bencana dengan pengembangan budaya mitigasi. Boleh jadi ini selaras dengan lintasan eskalasi bahaya iklim global dan target pembangunan berkelanjutan.
Ancaman bahaya dari Perubahan Iklim
Lebih dari 90 persen bencana yang terjadi di Indonesia saat ini bersifat hidrometeorologi-banjir, tanah longsor, peristiwa cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan-yang berkaitan erat dengan variabilitas iklim dan pergeseran iklim jangka panjang.Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan peningkatan kejadian bencana tahunan yang stabil selama dekade terakhir, yang menyoroti meningkatnya kerentanan masyarakat Indonesia.Kemacetan perkotaan, alih fungsi lahan yang tidak terencana, dan degradasi lingkungan semakin memperparah dampak bahaya iklim.Dinamika ini menggambarkan poin penting bencana di Indonesia yang tidak sepenuhnya alami, melainkan fenomena sosial-lingkungan yang dibentuk oleh kualitas tata kelola, perencanaan tata ruang, dan kapasitas adaptif.Oleh karena itu, diperlukan terobosan kebijakan tentang mitigasi bencana alam dan bahaya bawaan dari interaksi manusia dan lingkungan. Bencana selalu berkaitan dengan tradisi/budaya masyarakat, geografi, dan sejarah.
Sekitar 70% penduduk Indonesia tinggal di zona rawan longsor (PVMBG, 2022), yang disebabkan oleh deforestasi, perambahan lahan pertanian, dan kondisi tanah yang tidak stabil.Pola-pola ini menggarisbawahi perlunya reformasi kebijakan yang memperhitungkan eskalasi bahaya akibat iklim.Ancaman bahayasudah menjadi perhatian dalam pengurangan risiko bencana. Tentu kita masih ingat peritiswa Konferensi Sedunia tentang Pengurangan risiko Bencana (WorldConference on Disaster Reduction) pada Januari 2005 di Kota Kobe, Hyogo Perfecture, Jepang. Yang kemudian melahirkan kerangka Aksi Hyogo yang telah menetapkan ancaman bahaya dari alam dan ancaman bahaya serta risiko yang berkaitan dengan lingkungan dan teknologi.Ancaman bahayayang muncul dari berbagai sumber geologis, meteorologist, hidrologis, kelautan, biologis dan teknologi kadang-kadang muncul sebagai gabungan.Secara teknis ancaman bahaya digambarkan secara kuantitatif oleh kemungkinan frekuensi dengan berbagai intenitas untuk berbagai wilayah berbeda, seperti ditentukan dari data historis atau analisis ilmiah.
Ancaman bahaya alam merupakan frasa untuk menggambarkan peristiwa-peristiwa ancaman bahaya aktual serta kondisi ancaman bahaya laten yang bisa menimbulkan peristiwa-peristiwa di masa mendatang. Peristiwa-peristiwa ancaman bahaya alam dapat dikategorikan menurut kekuatan atau intensitas, kecepatan kejadian, durasi, dan cakupan wilayahnya.Sebagai contoh, bencana longsor, banjir atau gempa bumi berdurasi pendek dan biasanya berdampak pada satu kawasan yang relatif kecil, sementara kekeringan berkembang dan menghilang dengan perlahan dan seringkali berdampak pada kawasan-kawasan yang luas.
Budaya Pencegahan dan Ketahanan Bencana
Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (The UN Office for Disaster Risk Reduction) menyerukan para peneliti untuk mengalihkan penekanan mereka ke fokus yang lebih kuat pada budaya pencegahan.Ini menekankan pentingnyaperan budaya dalam respons dan pemulihan bencana.Memang banyak penelitian yang menargetkan faktor-faktor seperti pengetahuan lokal, ritual, nilai dan norma, peran gender, memori kolektif, mata pencaharian, kohesi sosial, pengucilan sosial, atau kepercayaan pada otoritas, telah mengungkapkan kekuatan faktor-faktor ini dalam mitigasi bencana.Namun budaya pencegahan dan ketahanan terhadap bencana,serta strategi-strategi pra-bencana yang terkait, yang merupakan investasi yang besar, harusdigalakkan di berbagai tingkat, mulai dari tingkat individu hingga tingkat internasional.
Masyarakat harus menghadapi risiko bencana yang diberikan oleh alam dan risiko kehilangan nyawa dan materi sangat besar.Namundemikian, kita bukannya tidak mempunyai kekuatan untuk bersiap menghadapi danmelakukan mitigasi dampak bencana.Mengembangkan budaya kesiapsiagaan bencana yang terstandarisasi dalam lingkungan yang heterogen dan pluralis secara etnis dan status sosial seperti itu merupakan tugas berat.Sejarah telah menunjukkan bahwa memaksakan norma atau nilai baru kepada kelompok atau masyarakat jarang berhasil. Namun, apakah itu berarti bahwa perspektif budaya dalam kajian bencana harus sebagian besar bersifat observasionalatau apakah ada peluang untuk mengoperasionalkan budaya dan faktor-faktor budaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana, baik bencana alam maupun yang non-alam?
Masyarakat perlu dipersiapkan untuk mengembangkan budaya kesiapsiagaan bencana.Inibisa melalui penyampaian informasi berupa nilai-nilai dan pengalaman warga negara alih-alih dipaksakan dari atas. Dalam hal ini, ada tiga strategi utama, yang diharapkan dapat mendorong perubahan budaya lunak menuju kesiapsiagaan bencana dari waktu ke waktu: (1) mendorong langkah-langkah yang membangun nilai-nilai budaya dan rutinitas sehari-hari yang sudah ada; (2) mengorganisir kegiatan terkait kesiapsiagaan yang dirancang sebagai bagian dari acara kehidupan sehari-hari warga negara; dan (3) meningkatkan efikasi diri yang dirasakan dengan menunjukkan bagaimana keterampilan sehari-hari pribadi warga negara yang sudah ada dapat dimanfaatkan dalam situasi bencana.
Penutup
tanggung jawab utama untuk melindungimasyarakat dan harta benda di teritori mereka dari bahaya.Oleh karena itu penting untukmemberikan prioritas yang tinggi terhadap pengurangan risiko bencana dalam kebijakannasional yang sesuai dengan kapasitas mereka serta sumberdaya yang tersedia.Dalam hal ini, perlu memperhatikan kohesi komunitas sebagai nilai budaya untuk mendorong kesiapsiagaan bencana, terutama di lingkungan perkotaan besar, tidak dapat dianggap remeh. Namun, ini bukan berarti tidak ada keinginan untuk kohesi komunitas di antara penduduk kota, dan keinginan ini mungkin mendorong partisipasi dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana, yang dipupuk oleh empati budaya umum. Selain itu, perlu mendorong perubahan perilaku berkelanjutan menuju kesiapsiagaan bencana mungkin lebih berhasil jika memanfaatkan faktor-faktor yang sudah selaras dengan pandangan dunia, nilai, dan norma masyarakat, yaitu faktor budaya, yang lebih mungkin mencapai perubahan budaya yang lunak seiring waktu. Pengembangan budaya kesiapsiagaan bukan suatu kegiatan yang monolitik, melainkan lebih cenderung dibangun berdasarkan kombinasi berbagai dinamika.
Dengan demikian, perlu untuk memperkuat kapasitas pada tingkat komunitas untukmeredam risiko bencana pada tingkat lokal, mengingat tindakan-tindakan penguranganrisiko bencana yang tepat pada tingkat tersebut akan memampukan komunitas dan individuuntuk meredam kerentanan mereka terhadap bahaya secara bermakna. Memahami kesiapsiagaan sebagai cara hidup juga dapat memberikan manfaat lebih lanjut. Singkatnya, mengembangkan budaya kesiapsiagaan bukan hanya bentuk manajemen bencana, tetapi juga bentuk promosi kesehatan yang dinamis, yang menunjukkan potensi kerja sama yang bermanfaat antara penyedia layanan kesehatan, otoritas manajemen bencana, dan peneliti dalam menargetkan perubahan budaya. Karena ini semua akanmembantu meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan umum warga negara dalam kehidupan sehari-hari mereka.
———— *** —————-


