27 C
Sidoarjo
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pendidikan Tinggi yang Kritis dan Membahagiakan


Oleh :
Dr Husamah, SPd, MPd
Pendidik di Pendidikan Biologi FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Statemen awal Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Dikti Saintek) 2024-2029 Prof Dr Ir Satryo Soemantri Brodjonegoro usai serah terima jabatan Menteri Dikbudristek ke Menteri Dikdasmen, Menteri Dikti Saintek, dan Menteri Kebudayaan memberikan angin sejuk dan harapan untuk dunia pendidikan khususnya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang lebih baik. Sebagaimana dikutip Detik.com (Senin 21/10/2024) ia menilai bahwa pendidikan berhasil jika anak didik dan pendidiknya sama-sama bahagia lewat pembelajaran yang membahagiakan.

Prof Satryo juga mengatakan bahwa pembelajaran ke depannya akan diarahkan agar para mahasiswa memiliki kemampuan critical thinking (berpikir kritis). Kemampuan ini memungkinkan lulusan perguruan tinggi di negeri ini akan mampu bertahan di tengah kondisi pasar kerja 2030 nanti yang tidak pasti, khususnya dengan meningkatnya kemudahan berbasis teknologi. Oleh karena itu, kita harus mentransformasikan metodologi pendidikan.

Apa yang disampaikan Satryo sejatinya adalah kegelisahan dunia pendidikan saat ini. Data Program for International Student Assessment (PISA) 2022 yang diumumkan Desember 2023 menunjukkan Indonesia berada di peringkat 68 dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371). PISA didesain untuk mengukur sejauh mana sistem pendidikan mempersiapkan peserta didik untuk mengaplikasikan konsep dan keterampilan yang mereka pelajari. Konsep ini mendorong ide learning for transfer, yang mana siswa tidak hanya menguasai materi pembelajaran untuk tes, tetapi juga memiliki kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam situasi kehidupan nyata. Dengan demikian, hasil PISA tidak hanya mencerminkan tingkat pemahaman peserta didik terhadap kurikulum, tetapi juga kemampuan mereka untuk berpikir kritis, menafsirkan informasi, dan memecahkan masalah dalam berbagai konteks kehidupan (Alam, 2023).

Berita Terkait :  TNI Milik (Seluruh) Rakyat

Harus disadari, pendidikan bukan hanya soal menyerap ilmu, tapi juga tentang membentuk manusia seutuhnya yang mampu berpikir kritis, kreatif, kolaborasi, komunikasi, dan dilandasi jiwa yang independent. Rasanya, pandangan Prof Satryo sama persis dengan catatan Dr Karem Roitman (2021), seorang lead author di Oxford International Curriculum for Global Skills Projects. “…kita memerlukan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik kita untuk menghadapi hal-hal yang tidak terduga. Kita memerlukan pemikiran independen, kreativitas, pemikiran kritis, dan etika global untuk mengatasi tantangan global. Mari kita gunakan itu untuk melangkah lebih jauh ke depan”.

Wadah Kebebasan Berpikir Kritis
Pendidikan tinggi memiliki peran sentral dalam membudayakan kemerdekaan berpikir kritis. Di sinilah mahasiswa ditempa untuk mengeksplorasi berbagai sudut pandang, mendalami permasalahan sosial, serta mengembangkan solusi kreatif untuk tantangan yang ada. Tantangan tidak hanya lokal, tapi regional, nasional, bahkan global. Kebebasan berpikir kritis harus menjadi salah satu pilar dalam pembelajaran di pendidikan tinggi, karena melalui kemampuan inilah mahasiswa terlatih dan pada akhirnya akan siap untuk dapat menjadi agen perubahan di masyarakat.

Namun, perlu dicatat bahwa kebebasan berpikir kritis tidak bisa tumbuh dalam lingkungan yang kaku dan membatasi. Dosen dan institusi pendidikan tinggi perlu menciptakan ruang di mana mahasiswa merasa aman untuk menyampaikan pendapat, mengajukan pertanyaan, dan berdiskusi secara terbuka. Di sinilah pentingnya suasana belajar yang membahagiakan. Ketika mahasiswa merasa dihargai dan didorong untuk berpartisipasi aktif, mereka lebih termotivasi untuk belajar dan mengembangkan potensi mereka sepenuhnya. Pun, agar tidak liar, etika dan sopan santun harus diajarkan seiring-seirama, tidak hanya sekedar teori tetapi harus dengan keteladanan dosen.

Berita Terkait :  Kamu Kaya, Kamu Akan Berkuasa

Konsep pembelajaran yang membahagiakan adalah gagasan bahwa suasana belajar yang positif, partisipatif, dan inspiratif adalah fondasi utama keberhasilan akademik dan pengembangan karakter mahasiswa. Manakala mahasiswa merasa nyaman selama proses belajar, mereka lebih terbuka untuk menerima pengetahuan dan lebih termotivasi untuk terus belajar. Inilah yang sejatinya sering dituntut setiap kali visitasi akreditasi, dengan istilah “suasana akademik”.

Di sisi lain, seorang dosen yang bahagia dalam menjalankan tugasnya akan lebih mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif, kreatif, dan inspiratif. Dosen yang memahami kebutuhan emosi dan mental mahasiswa akan mampu menumbuhkan lingkungan yang menginspirasi kebebasan berpikir kritis, rasa ingin tahu, dan kegembiraan dalam mencari ilmu. Inilah yang disebut dengan pendidikan yang membahagiakan.

Bagaimana mewujudkan?
Global Partnership for Education, sebuah lembaga besar yang memfokuskan pada kampanye transformasi pendidikan di negara-negara tertinggal, menegaskan bahwa “Tidak ada pendidikan berkualitas tanpa pembelajar yang bahagia”. UNESCO melalui inisiatif “Happy Schools” bahkan menempatkan kebahagiaan sebagai inti transformasi pendidikan. Inisiatif ini mendorong sistem pendidikan untuk mengakui kebahagiaan sebagai sarana dan tujuan pembelajaran berkualitas. Inisiatif ini didasari oleh basis bukti yang berkembang yang menghubungkan kebahagiaan dengan pembelajaran, kesejahteraan, dan resiliensi sistem secara keseluruhan yang lebih baik.

Untuk menciptakan lingkungan yang menyenangkan, kita harus berhenti menjadikan ruang kelas sebagai tempat yang mengerikan. Kita harus mempertimbangkan untuk mengajarkan kebahagiaan dan cara menjadi bahagia di dalam kelas.

Berita Terkait :  Memadukan Media Konvensional dan Digital untuk Pendidikan Politik di Indonesia

Untuk mewujudkan pembelajaran di perguruan tinggi yang mendukung berpikir kritis sekaligus membahagiakan, langkah pertama adalah menerapkan metode yang mendorong partisipasi aktif mahasiswa, seperti problem-based learning (PBL), project-based learning (PjBL) dan diskusi interaktif. PBL dan PjBL memungkinkan mahasiswa untuk menghadapi masalah dunia nyata, yang menantang mereka untuk menganalisis dan mencari solusi secara kritis, dan bahkan menghasilkan produk yang kreatif. Diskusi interaktif, baik secara lisan maupun tulisan, mengasah kemampuan mereka dalam mengemukakan pendapat dan mempertahankan argumen dengan bukti yang kuat, sehingga berpikir kritis tumbuh secara alami.

Pembelajaran kolaboratif dan penggunaan teknologi inovatif juga sangat efektif. Dengan bekerja sama dalam kelompok, mahasiswa dapat saling bertukar pandangan dan belajar dari berbagai sudut pandang, yang mendorong pemikiran kritis dalam konteks sosial. Teknologi pembelajaran yang terus berkembang dan beragam bentuknya saat ini dapat mendukung proses belajar yang lebih menarik, sehingga mahasiswa terlibat lebih dalam dan menikmati pembelajaran mereka. Lingkungan yang interaktif dan kolaboratif juga menciptakan rasa kebersamaan yang dapat meningkatkan kebahagiaan dalam belajar.

Akhirnya, penting untuk menekankan keseimbangan antara akademik dan kesejahteraan emosional mahasiswa. Memberikan ruang bagi refleksi diri dan umpan balik yang konstruktif membantu mahasiswa memahami perkembangan diri mereka dan terus meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Selain itu, perguruan tinggi yang mendukung kesejahteraan mahasiswa dalam arti luas akan menciptakan lingkungan yang positif dan membahagiakan, di mana mahasiswa merasa nyaman dan lebih termotivasi untuk menyiapkan diri mereka sendiri sebagai generasi unggul.

————- *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img