25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pendidikan Pesantren Membangun Karakter Nasionalis Santri

Oleh :
Fatih Janan Husain
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kudus

Dalam catatan sejarah Indonesia, para ulama dan santri bukan hanya pelengkap, tetapi juga tulang punggung gerakan kebangsaan. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, merupakan sosok penting yang menanamkan kesadaran nasional melalui ajaran dan fatwanya.

Melalui Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945, ia menyerukan bahwa membela tanah air dari penjajahan adalah sebuah kewajiban agama. Seruan ini membangkitkan semangat santri untuk berpartisipasi dalam pertarungan mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Dari sini, muncul kesadaran kolektif bahwa cinta terhadap tanah air (hubbul wathan minal iman) adalah elemen dari iman.

Menurut Zuhri (2010), perlawanan para santri terhadap penjajahan menunjukkan bahwa nasionalisme yang ada di pesantren bukanlah hasil dari pengaruh Barat, melainkan berasal dari kesadaran religius yang mendalam. Bagi mereka, cinta tanah air bukan hanya karena faktor politik atau geografi, tetapi adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang memberikan negeri untuk dilindungi. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sejak awal berdirinya Republik, santri dan ulama selalu berada di garis depan dalam menjaga persatuan bangsa.

Nilai dan Sistem Pendidikan Pesantren
Menurut Nata (2016), pendidikan di pesantren bukan sekadar pemindahan pengetahuan, tetapi juga perubahan nilai. Seorang santri diukur bukan hanya dari seberapa banyak ilmu yang dia kuasai, tetapi juga dari kualitas akhlaknya dan seberapa besar dampak yang dapat dia berikan untuk masyarakat. Ini yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan modern yang lebih fokus pada aspek kognitif. Di pesantren, proses belajar tidak terbatas di dalam kelas; ia meresap dalam gaya hidup, interaksi sosial, dan teladan yang diberikan oleh para kiai.

Berita Terkait :  Festival Anak Indonesia Hebat, Sebagai Wadah Anak Mengeksplorasi Bakat dan Minat

Nilai-nilai ini secara tidak langsung membentuk sikap nasionalis. Santri yang terbiasa hidup mandiri akan lebih mudah beradaptasi dan bekerja keras. Mereka yang terbiasa berembuk dan menghargai berbagai pendapat akan berkembang menjadi pribadi yang demokratis. Sementara itu, santri yang rutin berkhidmah dan melayani orang lain akan memahami arti pengabdian kepada bangsa. Semua proses ini menjadikan pesantren sebagai tempat yang sangat efektif untuk menumbuhkan sifat nasionalisme yang bersumber dari moral dan spiritualitas.

Tantangan dan Adaptasi
Namun, di awal abad ke-21, pesantren menghadapi tantangan baru yang cukup berat. Arus globalisasi, kemajuan teknologi digital, dan limpahan informasi dari luar telah mengubah cara pandang generasi muda. Nilai-nilai kebangsaan dan keislaman sering kali terkikis oleh budaya instan, materialisme, dan radikalisme yang muncul di dunia maya. Dalam kondisi ini, pesantren kembali berperan penting sebagai penjaga moral bangsa.

Menurut Rahim (2018), ajaran Islam wasathiyah atau moderat yang diajarkan di pesantren adalah modal utama untuk mempertahankan keseimbangan di era global. Melalui ajaran Islam moderat, santri dilatih untuk berpikir kritis, terbuka terhadap perkembangan baru, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai luhur agama dan kebangsaan. Santri diajarkan bahwa perbedaan itu adalah sebuah berkah, bukan ancaman. Mereka memahami bahwa menjadi nasionalis tidak berarti menolak agama, dan menjadi religius tidak berarti menolak cinta terhadap tanah air.

Kini, banyak pesantren yang berinovasi dengan menerapkan kurikulum modern yang mencakup sains, teknologi, ekonomi, bahkan kewirausahaan. Pesantren tidak lagi hanya menekankan pengajaran kitab, tetapi juga membekali santri agar bisa bersaing dalam dunia kerja dan menjadi agen perubahan di masyarakat. Ini menunjukkan bahwa pesantren mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati dirinya. Modernisasi yang dilakukan bukan untuk mengubah nilai fundamental pesantren, tetapi untuk menjadikannya lebih relevan di tengah kemajuan global.

Berita Terkait :  PT Sharp Electronic Indonesia Perkuat Pasar Keluarga Lewat Kampanye 'Hello, Comfort'

Integrasi Ilmu dan Nasionalisme
Cendekiawan muslim, Nurcholish Madjid (1997), pernah menekankan bahwa pesantren harus berfungsi sebagai pusat integrasi pengetahuan, etika, dan spiritualitas. Ia menegaskan bahwa reformasi pendidikan di pesantren sangat penting agar santri tidak hanya beriman secara pribadi, tetapi juga produktif di ranah sosial. Ide ini kini terlihat nyata: banyak pesantren yang telah mencetak lulusan yang memiliki jiwa nasionalis dan daya saing tinggi menjadi akademisi, pengusaha, politisi, bahkan pemimpin masyarakat.

Integrasi antara ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan umum di pesantren menciptakan karakter nasionalis yang nyata. Seorang santri yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang Al-Qur’an akan menolak segala bentuk kekerasan dan penindasan, karena ia menyadari bahwa ajaran Islam menekankan keadilan dan kasih sayang. Selain itu, ia juga menyadari betapa pentingnya berusaha dengan giat, mencintai alam, dan menghargai orang lain. Semua nilai tersebut menjadi dasar bagi pembangunan sebuah bangsa yang damai dan bermartabat.

Di sisi lain, pendidikan di pesantren juga membentuk kesadaran terhadap lingkungan dan sosial. Saat ini, banyak pesantren yang menjalankan program pertanian organik, mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta melakukan kampanye lingkungan. Ini merupakan bentuk baru dari cinta tanah air: menjaga alam dan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian dari nasionalisme. Dengan cara ini, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai penjaga moral bangsa, tetapi juga sebagai penggerak perubahan sosial yang nyata.

Berita Terkait :  DPP Gapeknas Jatim Tegaskan Pentingnya Percepatan Sertifikasi Tenaga Konstruksi

Karakter Santri sebagai Cermin Nasionalisme
Karakter para santri mencerminkan nilai-nilai nasionalisme yang mendalam. Dalam keseharian mereka, diajarkan untuk menghormati guru, sesama santri, dan masyarakat di sekitarnya. Sikap rendah hati, merasa cukup, dan tulus menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Nilai-nilai ini menciptakan kepribadian yang kuat dan resilien – ciri khas individu yang benar-benar nasionalis dan tidak mudah dipengaruhi oleh hasrat kekuasaan atau kekayaan.

Setelah santri berintegrasi kembali ke masyarakat, mereka membawa semangat pengabdian yang besar. Banyak dari mereka berperan sebagai guru, dai, relawan, bahkan pemimpin masyarakat yang aktif dalam pembangunan desa. Di manapun mereka berada, semangat kebangsaan tetap terpancar. Mereka memahami bahwa peran mereka tidak hanya sekadar menuntut ilmu, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain. Inilah bentuk nyata nasionalisme ala pesantren: pengabdian tanpa harapan imbalan demi kebaikan bangsa.

Pesantren mengajarkan bahwa nasionalisme tidak melulu harus diungkapkan melalui simbol-simbol besar seperti bendera atau lagu nasional, tetapi juga bisa lewat tindakan sederhana: disiplin, kejujuran, kerja keras, dan saling menghormati. Nilai-nilai ini semakin sulit dijumpai di tengah tantangan moral bangsa saat ini. Oleh karena itu, pesantren menjadi sumber kesejukan di tengah menipisnya nilai-nilai kejujuran dan ketulusan dalam kehidupan modern.

———— *** ————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru