Surabaya, Bhirawa
Badan Gizi Nasional (BGN) mengusulkan agar pendidikan gizi masuk kurikulum sekolah, namun usulan tersebut ditentang oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti. Terkait usulan itu, Pakar Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR Lailatul Muniroh SKM M Kes menilai pentingnya membentuk generasi sehat.
“Menyangkut asupan nutrisi anak tidak boleh asal-asalan, sehingga literasi gizi harus dimulai sejak dini. Anak wajib dibekali ilmu mencakup nutrisi gizi seimbang,” ujarnya, Selasa (29/7).
Menurutnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini digagas pemerintah seharusnya tidak berdiri sendiri. “Kita tidak bisa mengandalkan MBG kalau isinya tidak merepresentasikan gizi seimbang. Anak-anak perlu tahu kenapa mereka harus makan makanan sehat, apa akibat dari kekurangan zat gizi makro maupun mikro,” tegasnya.
Terlebih lagi faktor para ibu yang menjadi pengampu pertama urusan konsumsi keluarga sering kali tidak tahu apakah makanan yang diberikan dari program MBG memenuhi kebutuhan gizi atau tidak.
Pendidikan gizi, menurutnya, bukanlah program insidental. Melainkan menjadi sistem yang terstruktur dan terintegrasi ke dalam lintas mata pelajaran. Gizi bisa hadir dalam pelajaran IPA melalui pembahasan makronutrien, dalam Bahasa Indonesia melalui narasi literasi pangan, hingga dalam PJOK lewat proyek penyusunan menu sehat dan pengamatan kantin sekolah.
“Konsepnya adalah pendidikan kontekstual. Kita tidak ingin anak-anak sekadar tahu nama sayur, tetapi memahami mengapa mereka harus memilihnya,” tambah dia.
Lebih dari itu, pendidikan gizi juga perlu dibingkai sebagai bentuk keterampilan hidup (life skill) yang mendekatkan anak pada kesadaran pangan dan gaya hidup preventif sejak bangku sekolah.
Tanggung Jawab Bersama mewujudkan kurikulum berbasis gizi bukan perkara satu sektor. Perlu sinergi antara sektor pendidikan, kesehatan, serta keluarga. Hal ini membutuhkan kesiapan guru, kurikulum kontekstual, hingga kebijakan yang adaptif terhadap kondisi lokal.
“Pendidikan gizi adalah investasi jangka panjang. Kalau kita abai hari ini, anak-anak akan membayar mahal di masa depan dalam bentuk stunting, penyakit metabolik, hingga produktivitas yang rendah,” pungkasnya. [ina.wwn]


