26 C
Sidoarjo
Sunday, December 14, 2025
spot_img

Pelanggaran HAM Paling Senyap, Pasien Diabaikan, Tenaga Kesehatan Kewalahan

Oleh:
Prima Trisna Aji
Dosen prodi Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Universitas Muhammadiyah Semarang

Setiap tanggal 10 Desember, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, merujuk pada Deklarasi Universal HAM tahun 1948 yang menegaskan bahwa setiap manusia memiliki hak yang melekat sejak lahir, termasuk hak untuk hidup sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.

Di Indonesia, hak ini sudah tercantum dalam konstitusi dan dijanjikan dalam berbagai kebijakan. Namun di balik angka-angka cakupan jaminan kesehatan dan pembangunan fasilitas, masih ada kenyataan yang jauh lebih senyap: pasien yang merasa diabaikan dan tenaga kesehatan yang kewalahan hingga melampaui batas kemampuannya.

Pelanggaran HAM di sektor kesehatan tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan yang kasat mata. Ia sering muncul dalam antrean yang tak kunjung bergerak, ruangan perawatan yang terlalu penuh, tenaga kesehatan yang bekerja dengan mata merah karena kurang tidur, dan keluarga pasien yang pulang dengan kebingungan serta rasa tidak dipedulikan. Semua itu terjadi pelan-pelan, tanpa sorotan sirene, tetapi meninggalkan luka yang dalam pada martabat manusia.

Ketika Sakit Pun Tidak Mendapat Haknya
Bayangkan seorang ibu bernama “Bu Sari” (nama samara), 52 tahun, tinggal di sebuah desa yang berjarak hampir dua jam dari puskesmas terdekat. Sejak beberapa hari ia mengeluh nyeri dada dan sesak napas, tetapi memilih menahan rasa sakit karena tidak ingin merepotkan anak yang harus menyewa ojek untuk membawanya ke fasilitas kesehatan.

Ketika akhirnya keluarga memaksa membawa Bu Sari ke puskesmas, ia harus menunggu lama karena tenaga kesehatan terbatas dan antrean mengular. Setelah dirujuk ke rumah sakit kabupaten, perjalanan kembali memakan waktu. Di ruang IGD yang penuh, Bu Sari mendapat penanganan, tetapi kondisinya sudah jauh memburuk. Kisah semacam ini bukan fiksi dramatis; ia menggambarkan apa yang dialami banyak warga di wilayah rural Indonesia.

Penelitian terbaru tentang pemanfaatan layanan kesehatan di Indonesia menunjukkan adanya “unmet need” atau kebutuhan layanan yang tidak terpenuhi yang meningkat hingga sekitar 6 persen penduduk. Artinya, jutaan orang sebenarnya membutuhkan pelayanan kesehatan tetapi tidak mengaksesnya, baik karena jarak, biaya tak langsung, ataupun kendala lainnya. Studi-studi lain menggarisbawahi bahwa masyarakat pedesaan dan kelompok ekonomi rendah lebih berisiko terhambat aksesnya akibat infrastruktur yang kurang memadai dan perjalanan yang memakan waktu panjang.

Di sisi lain, Indonesia memang telah mencatat kemajuan dalam cakupan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan mengurangi proporsi rumah tangga yang jatuh miskin akibat biaya kesehatan langsung. Namun laporan pemantauan Universal Health Coverage (UHC) masih menunjukkan bahwa lebih dari satu juta orang Indonesia tetap terdorong ke kemiskinan karena pengeluaran kesehatan yang bersifat “katastropik”. Di sinilah tampak ironi: di atas kertas, hak atas kesehatan diakui, tetapi di lapangan, banyak pasien masih merasakan bahwa sakit adalah kemewahan yang sulit mereka “bayar”.

Berita Terkait :  Manusia Merdeka

Yang sering luput dipahami adalah bahwa pengabaian terhadap pasien tidak selalu terjadi karena tenaga kesehatannya tidak peduli. Banyak dari mereka justru berada dalam posisi yang sama rapuhnya dengan pasien.

Tenaga Kesehatan Kewalahan
Di balik pintu IGD dan ruang rawat, ada cerita lain yang jarang terdengar. Seorang perawat muda di rumah sakit rujukan bercerita, ia pernah menangani lebih dari dua puluh pasien dalam satu shift malam dengan jumlah tenaga yang sangat terbatas. Di sela-sela mengganti infus, memberikan obat, dan menenangkan keluarga pasien, ia nyaris tidak sempat makan dan hanya minum air beberapa kali. Ketika satu pasien kritis meninggal, ia menahan air mata karena masih ada pasien lain yang harus segera ditangani. Setelah shift berakhir, ia pulang dengan rasa bersalah seolah belum memberikan yang terbaik, padahal ia sudah bekerja melampaui batas kemanusiaannya sendiri.

Penelitian-penelitian dalam beberapa tahun terakhir mengkonfirmasi gambaran tersebut. Rasio perawat di Indonesia masih berada di kisaran 85 – 88 per 100.000 penduduk, jauh di bawah target nasional 180 per 100.000. Rasio yang timpang ini berarti satu perawat harus menanggung beban kerja lebih besar dari yang ideal, terutama di unit intensif dan ruang rawat yang padat. Studi mengenai beban kerja perawat menunjukkan bahwa tekanan kerja yang tinggi berkaitan erat dengan kelelahan, penurunan kinerja, dan meningkatnya risiko terhadap keselamatan pasien.

Di sisi lain, sejak pandemi Covid-19, berbagai kajian mencatat gejala burnout yang meluas di kalangan tenaga kesehatan. Sebuah ringkasan data bahkan menyebutkan bahwa sekitar 80 persen lebih tenaga kesehatan di Indonesia mengalami burnout tingkat sedang hingga berat selama masa pandemi. Burnout bukan sekadar lelah fisik; ia adalah kelelahan emosional dan mental yang berkepanjangan, yang jika tidak ditangani akan menggerus empati, mengurangi kemampuan mengambil keputusan, dan pada akhirnya memengaruhi mutu pelayanan yang diterima pasien.

Berita Terkait :  HMI untuk Indonesia Mandiri dan Berdaulat

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa hak tenaga kesehatan untuk bekerja dalam kondisi yang layak, aman, dan manusiawi belum sepenuhnya terpenuhi. Ketika sistem membiarkan nakes bekerja dalam tekanan berlebihan, sesungguhnya terjadi pelanggaran HAM terhadap mereka. Dan ketika tenaga kesehatan kehabisan tenaga, yang ikut menanggung konsekuensinya adalah pasien yang tidak mendapatkan pelayanan optimal.

Pelanggaran HAM yang Senyap dan Tidak Dikenali
Jika hak atas kesehatan dipahami hanya sebatas tersedianya kartu jaminan atau bangunan fasilitas, kita akan mudah mengira persoalan sudah selesai. Padahal hak ini mencakup dimensi yang jauh lebih luas: akses yang adil, mutu layanan yang baik, perlindungan terhadap kelompok rentan, hingga jaminan bahwa tenaga kesehatan yang merawat pun tidak dikorbankan.

Pelanggaran HAM di sektor kesehatan menjadi senyap karena banyak yang menganggap antrean panjang atau terganggunya pelayanan sebagai hal “biasa”. Ketidaktahuan masyarakat tentang hak pasien dan hak tenaga kesehatan membuat ketidakadilan dibiarkan berulang. Kebijakan kesehatan yang belum sepenuhnya berperspektif HAM membuat kesenjangan antara kota dan desa, kaya dan miskin, fasilitas lengkap dan fasilitas minim, terus melebar.

Dalam konteks inilah, studi-studi tentang ketimpangan akses layanan, beban kerja tenaga kesehatan, serta stagnasi indeks cakupan UHC bukan sekadar angka teknis, melainkan cermin bahwa ada janji hak asasi yang belum ditepati. Korbannya bukan hanya individu hari ini, tetapi juga generasi yang akan datang: anak yang tumbuh dalam kondisi stunting, ibu yang tak mendapat layanan kehamilan memadai, lansia yang menjalani hari tua dengan penyakit kronis tanpa pendampingan.

Mewujudkan Kesehatan sebagai Hak Asasi
Meski demikian, tidak adil jika kita hanya menyoroti kegagalan tanpa mengakui langkah-langkah perbaikan yang sedang berjalan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan dan mitra internasional, termasuk WHO, tengah memperkuat tata kelola pembiayaan kesehatan dan data ketenagaan untuk mempercepat tercapainya Universal Health Coverage yang bermutu. Program skrining kesehatan nasional, upaya memperbaiki distribusi tenaga medis di daerah terpencil, serta berbagai inisiatif penanganan malnutrisi dan penyakit kronis menunjukkan adanya kemauan politik untuk bergerak.

Namun kebijakan yang baik di atas kertas harus diterjemahkan menjadi perubahan nyata di lapangan. Hak atas kesehatan baru sungguh-sungguh dihormati ketika seorang ibu di desa terpencil tidak lagi harus menunggu hingga nyeri dada tak tertahankan untuk pergi ke fasilitas kesehatan. Ia terwujud ketika perawat tidak lagi pulang dengan perasaan bersalah karena melayani terlalu banyak pasien sekaligus. Ia menjadi kenyataan ketika pasien merasa didengarkan, bukan sekadar didata; dan ketika tenaga kesehatan merasa dilindungi, bukan hanya dituntut.

Berita Terkait :  Lampaui Target, Realisasi Investasi Kota Kediri Melesat 15,36 Persen

Solusi atas permasalahan ini harus bergerak di beberapa lapis sekaligus. Di tingkat sistem, pemerataan fasilitas dan tenaga kesehatan perlu dipercepat, terutama di daerah yang secara geografis sulit dijangkau. Perencanaan beban kerja harus berbasis data, bukan sekadar menyesuaikan dengan “kebiasaan lama”. Di tingkat kebijakan rumah sakit dan puskesmas, manajemen yang berorientasi pada keselamatan pasien dan keselamatan tenaga kesehatan perlu diperkuat, termasuk dukungan kesehatan mental dan mekanisme pelaporan jika terjadi kekerasan atau ketidakadilan.

Di sisi masyarakat, literasi hak kesehatan perlu ditingkatkan agar pasien dan keluarga memahami bahwa mereka berhak atas informasi yang jelas, pelayanan yang manusiawi, dan mekanisme pengaduan yang dapat diakses jika terjadi masalah. Pendidikan kepada publik juga penting agar mereka melihat tenaga kesehatan bukan sekadar “pelayan”, tetapi juga manusia yang memiliki batas energi dan hak untuk dilindungi. Kolaborasi lintas sektor antara dunia pendidikan, organisasi profesi, lembaga HAM, dan media dapat menjadi jembatan untuk menjadikan isu ini tidak lagi senyap.

Janji yang Harus Ditepati
Hari HAM Sedunia seharusnya tidak berhenti pada slogan dan pernyataan resmi. Ia perlu menjadi cermin yang memaksa kita bertanya: sudahkah hak atas kesehatan dipenuhi bagi semua orang, tanpa terkecuali? Selama masih ada pasien yang merasa diabaikan dan tenaga kesehatan yang bekerja dalam kondisi tidak manusiawi, maka pelanggaran HAM di sektor kesehatan masih berlangsung, meski tanpa sorotan kamera.

Indonesia telah melangkah, tetapi perjalanan menuju pemenuhan hak atas kesehatan masih panjang.

Kini saatnya kita mengakui bahwa memperbaiki sistem pelayanan kesehatan bukan semata-mata soal efisiensi, tetapi soal kemanusiaan. Kesehatan adalah hak, bukan hadiah. Dan hak, berbeda dengan bantuan, tidak bergantung pada belas kasihan, melainkan pada komitmen negara dan kesadaran kolektif kita sebagai bangsa.

Hari ini, ketika kita memperingati Hari HAM Sedunia, barangkali pertanyaan yang paling jujur untuk diajukan adalah: apakah kita rela terus membiarkan pelanggaran HAM yang paling senyap ini berjalan begitu saja? Atau kita mulai menepati janji bahwa setiap manusia, tanpa kecuali, berhak untuk sehat dan diperlakukan dengan bermartabat?

————– *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru