28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pelajaran Kecacingan dari Kasus di Bengkulu

Oleh :

Prima Trisna Aji

Dosen prodi Spesialis Medikal Bedah

Universitas Muhammadiyah Semarang

Beberapa hari terakhir, publik kembali dikejutkan oleh kabar memilukan dari Bengkulu. Seorang balita berusia satu tahun delapan bulan di Desa Sungai Petai, Kabupaten Seluma, mengalami kecacingan akut.

Cacing keluar dari mulut dan hidungnya, bahkan ditemukan gumpalan di tubuhnya yang mengancam keselamatan jiwa. Berat badannya hanya sekitar delapan kilogram, tanda jelas terjadi adanya gizi buruk.

Bagi sebagian orang, kecacingan dianggap masalah hal yang sepele, sekadar gangguan ringan yang bisa diatasi dengan obat cacing murah di warung. Namun kasus di Bengkulu ini membantah anggapan itu semuanya.

Sama seperti kasus “Raya” di Sukabumi beberapa bulan yang lalu, kecacingan pada anak dapat berubah menjadi tragedi besar bila tak dicegah sejak dini. Dua kasus ini seakan memberi pesan keras bahwa kita menghadapi masalah kesehatan masyarakat yang lebih serius dari sekadar infeksi parasit.

Tak Bisa Diabaikan

Kondisi rumah balita di Desa Sungai Petai jauh dari kata layak. Dapur berhimpitan dengan saluran air, jamban seadanya, sanitasi buruk, dan ventilasi minim. Kemiskinan menambah panjang daftar persoalan. Dalam situasi seperti itu, infeksi cacing tanah sangat mudah terjadi. Anak-anak bermain di tanah tanpa alas kaki, makanan tidak terlindungi, dan kebersihan tangan tidak terjaga.

Sayangnya, masalah ini bukan hanya soal perilaku individu, melainkan juga soal sistem. Program pemberian obat cacing massal memang ada, tetapi implementasi di lapangan masih belum merata. Data Kementerian Kesehatan mencatat pada tahun 2021 sekitar 36,97 juta anak Indonesia sudah mendapat obat cacing massal, tetapi masih ada 26 kabupaten/kota dengan prevalensi kecacingan di atas 10%. Artinya, masih banyak wilayah dengan masalah serius, dan Desa Sungai Petai mungkin salah satunya.

Berita Terkait :  Penyakit Tak Kenal Libur: Musim Kemarau Picu Lonjakan Kasus Penyakit ?

Dampak Jangka Panjang

Kecacingan bukan hanya membuat perut anak buncit atau berat badan tak kunjung naik. Infeksi kronis menguras gizi, mengganggu penyerapan zat besi, memicu anemia, hingga menurunkan daya tahan tubuh. Anak yang terus-menerus kecacingan berisiko mengalami stunting gangguan tumbuh kembang yang menurunkan kualitas generasi bangsa.

Data terbaru Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menunjukkan bahwa angka stunting nasional sudah turun menjadi 19,8%, setelah sempat berada di angka 21,5% pada 2023 dan 21,6% pada tahun 2022. Penurunan ini tentunya sangat menggembirakan, namun angka tersebut masih mendekati ambang batas WHO dan belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Penelitian yang lainnya di Surabaya menemukan sekitar 30,4% balita stunting juga terinfeksi cacing tanah (Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura). Artinya, kecacingan dan stunting saling terkait erat, dan bila dibiarkan, akan menjadi kesehatan generasi mendatang.

Dari Kasus Lokal ke Pelajaran Nasional

Mengapa kasus ini penting untuk dibicarakan secara nasional? Karena ia mencerminkan apa yang sebenarnya masih terjadi di banyak desa di Indonesia. Desa Sungai Petai hanyalah satu contoh dari ribuan kasus yang mungkin belum munvul dipermukaan. Penelitian di Sumatera Utara juga menunjukkan prevalensi infeksi cacing pada anak sekolah dasar mencapai 57,2%. Variasi data dari berbagai provinsi memperlihatkan prevalensi kecacingan bisa berkisar 2,5% hingga 60%, tergantung kondisi sanitasi dan kebersihan lingkungan.

Berita Terkait :  16.491 Narapidana Jatim Peroleh Remisi Umum HUT Ke-79 RI

WHO mencatat bahwa pada tahun 2023 ada lebih dari 451 juta anak di dunia yang membutuhkan obat cacing, tetapi baru 51,5% yang mendapatkannya. UNICEF menegaskan bahwa infeksi cacing tanah berulang bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga berimplikasi pada pendidikan karena anak mudah lemas, kurang konsentrasi, dan akhirnya tertinggal di sekolah.

Kasus kecacingan berat di Bengkulu adalah alarm yang seharusnya membangunkan kita semua bahwa pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat, hingga media. Kita tidak boleh lagi menganggap kecacingan sebagai “penyakit kampung” yang tidak relevan dengan masyarakat kota.

Solusi yang Perlu Dikerjakan Bersama

Apa yang terjadi di Desa Sungai Petai Bengkulu menunjukkan bahwa pencegahan kecacingan tidak bisa ditunda lagi. Upaya pemberian obat cacing massal harus dijalankan secara berkelanjutan, bukan sekadar seremonial sekali dua kali dalam setahun. WHO bahkan merekomendasikan pemberian obat cacing berkala bagi anak usia 1 – 15 tahun di wilayah dengan prevalensi tinggi. Indonesia harus memastikan rekomendasi ini benar-benar terwujud di desa-desa yang rawan.

Namun, obat saja tidak cukup. Sanitasi dasar adalah kunci utama yang harus diperhatikan. Jamban sehat, akses air bersih, dan pengelolaan limbah rumah tangga harus dipastikan tersedia untuk semua keluarga. Tanpa itu, obat cacing hanya akan memberi solusi sesaat, sementara sumber penularannya tetap ada. Edukasi kepada masyarakat juga harus ditingkatkan. Orang tua perlu diyakinkan bahwa kecacingan bukanlah penyakit kecil. Kebiasaan sederhana seperti cuci tangan pakai sabun, memakai alas kaki saat bermain, dan menjaga kebersihan makanan bisa mencegah infeksi.

Berita Terkait :  Terima Dubes Guatemala, Pj Gubernur Adhy Jajaki Kerjasama Ekonomi Hingga Budaya

Di atas semua itu, pencegahan kecacingan membutuhkan kolaborasi antar lintas sektor. Kementerian Kesehatan tidak bisa berjalan sendiri, kementerian Pendidikan dapat memasukkan edukasi kesehatan dasar ke sekolah, Kementerian Desa bisa mendorong program sanitasi, sementara tokoh agama dan masyarakat bisa ikut menyebarkan pesan pentingnya kebersihan. Dan ketika kasus berat muncul, pemerintah daerah harus punya sistem respon cepat, mulai dari posyandu hingga rumah sakit rujukan. Anak-anak tidak boleh lagi terlambat mendapatkan pertolongan medis.

Kasus kecacingan akut di Desa Sungai Petai, Bengkulu, bukanlah sekadar kisah tragis dari sebuah keluarga miskin saja. Akan tetapi Ia adalah cermin dari rapuhnya sistem kesehatan masyarakat kita. Sama seperti kasus “Raya” di Sukabumi, peristiwa ini memberi sinyal bahwa masih ada pekerjaan rumah besar yang belum tuntas: sanitasi yang layak, gizi yang cukup, edukasi berkelanjutan, dan komitmen negara dalam melindungi anak-anak Indonesia.

Kita boleh berdebat panjang tentang teknologi kesehatan canggih, rumah sakit modern, atau aplikasi digital. Namun semua itu tidak ada artinya bila anak-anak di desa masih harus bertarung dengan cacing di perutnya. Alarm ini harus kita dengar bersama. Jangan sampai tragedi di Bengkulu hanya jadi berita sesaat. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini ditentukan oleh kesehatan anak-anak kita hari ini.

————— *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru