25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Pasar Pon Giritontro Wonogiri, Cermin Kehangatan Jawa yang Masih Hidup



Wonogiri, Bhirawa
Terik matahari baru naik dari ufuk timur ketika Mbah Suji (70) mulai menakar beras di Pasar Giritontro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Senin (13/10/2025). Dengan timbangan gantung manual di tangannya, ia menakar lima kilogram beras lalu memasukkannya ke kantong plastik, siap dijual kepada pembeli yang mulai berdatangan.

Di sekitarnya, aroma kerupuk mentah olahan tangannya bercampur dengan hiruk-pikuk khas pasar yang hanya buka setiap lima hari sekali, tepat pada hari Pon dalam penanggalan Jawa.

Pagi itu, Bhirawa jalan menuju Pasar Giritontro sudah ramai sejak pukul 05.00 Wib. Dari arah utara, tampak gerobak sayur, sepeda motor berisi hasil kebun, hingga truk kecil bermuatan aneka alat dapur dan kebutuhan rumah tangga.

Semua menuju satu tempat yang dalam sehari bisa menjadi pusat denyut ekonomi sekaligus ruang pertemuan sosial bagi warga sekitar.

Pasar Giritontro memang bukan pasar biasa. Ia berdiri teguh di tengah arus modernisasi, tetap setia pada siklus weton Jawa. Sistem penanggalan tradisional yang membagi hari dalam lima pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

“Sejak saya kecil, pasar ini memang cuma buka pas Pon,” tutur Mbah Suji, sambil tersenyum mengenang masa lalu.

Ia sudah berjualan di pasar ini sejak tahun 1978, menjajakan beras dan kerupuk buatannya. “Kalau buka tiap hari, rasanya bukan Giritontro namanya,” tambahnya sambil tertawa kecil.

Berita Terkait :  Sambangi Kota Surabaya, Sun Life Gelar Pelatihan Keterampilan Kerja

Begitu hari Pon tiba, suasana pasar berubah total. Puluhan orang datang ke pasar Giritontro. Mereka membawa hasil bumi, ternak, rempah, dan berbagai kebutuhan pokok.

Bagi sebagian warga, hari Pon bukan sekadar momen jual beli, tetapi juga ajang silaturahmi dan pertemuan sosial.

“Pasar ini bukan hanya tempat transaksi, tapi tempat ketemu saudara dan teman lama,” kata Mbah Suji. “Kadang kami datang bukan untuk menjual dagangan, tapi untuk ngobrol dan saling tukar kabar,” ujarnya.

Tampak seorang ibu mengajak putrinya berbelanja di Pasar Pon Giritontro, Wonogiri, Jawa Tengah, Senin (13/10/2025). [Gegeh Bagus Setiadi]

Ketika pasar buka, perputaran uang di Giritontro pun meningkat. Hasil panen berpindah tangan, pedagang kecil merasakan keuntungan, dan suasana desa menjadi hidup. Pasar Pon Giritontro tampak sebagai urat nadi ekonomi rakyat yang menjaga keseimbangan sosial pedesaan.

Menariknya, tradisi ini kini juga menjadi daya tarik generasi muda. Banyak anak muda datang bukan hanya untuk belanja, tapi juga untuk menikmati kuliner khas pasaran, seperti tiwul manis, jenang gempol, dan wedang jahe hangat yang hanya muncul saat hari Pon.

“Rasanya nostalgia banget, seperti kembali ke masa kecil,” ujar Rini (28), pengunjung asal Yogyakarta yang sengaja datang karena penasaran dengan cerita unik pasar ini.

Bagi warga Giritontro, mempertahankan pasar Pon bukan soal romantisme masa lalu, melainkan bentuk penghormatan terhadap warisan leluhur. Mereka percaya, selama masih ada orang yang datang, tradisi ini akan terus hidup.

Berita Terkait :  Sangat Rawan, KPU Kabupaten Blitar Batalkan Debat Pilbup Blitar Ketiga

“Biar dunia berubah, Pon tetap Pon,” ujar Mbah Karmi, salah satu pedagang sayur yang juga sudah puluhan tahun berjualan di sana. “Selama orang masih mau datang, pasar ini akan terus ramai,” imbuhnya.

Pasar Giritontro menjadi bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan berdampingan. Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, pasar ini mengajarkan arti kesabaran, kebersamaan, dan rasa syukur pada waktu.

Setiap Pon, denyut kehidupan berpadu di antara aroma tanah basah, tawa warga, dan suara tawar-menawar. Sebuah potret kehidupan Jawa yang tetap hangat, hidup, dan tak lekang oleh zaman. [geh]

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru