25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Parenting VOC: Viral Tantangan Mengajari Menjadi Orang Tua Lebih Bijak

Oleh :
Dr Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta

Di era media sosial, gaya parenting seolah jadi ajang tampil viral menjadi bukti “berhasil”, membasmi keraguan kritis. Tren seperti “Parenting VOC” (Voice of Control) gaya pengasuhan otoriter ala ‘komando tak terbantah’ mengundang simpati sekaligus kritik. Ada yang memuji karena disiplin, namun tidak sedikit yang prihatin akan potensi luka psikologis anak di masa depan. Padahal, pola asuh seharusnya netral terhadap ekspektasi publik, justru harus berakar pada ilmu perkembangan anak dan empati.

Data Literasi Gaya Asuh Indonesia
Belum lama ini, Orami (2024) melakukan survei nasional terhadap 423 responden orang tua Indonesia. Hasilnya sangat mengejutkan bahwa: mayoritas, yakni 93 persen, menilai keterbukaan komunikasi sebagai elemen utama dalam pengasuhan. Lebih dari enam puluh persen memilih pola asuh otoritatif gabungan antara kehangatan dan Batasan sebagai pendekatan paling efektif dalam membentuk karakter anak seperti kemandirian dan kepercayaan diri.

Temuan lain Penelitian dari Universitas Negeri Padang (2023) juga menegaskan bahwa pola asuh demokratis paling sering digunakan oleh orang tua dan terbukti meningkatkan motivasi belajar anak sekolah dasar. Bahkan, riset mengenai penggunaan gawai memperlihatkan bahwa anak dengan pengasuhan otoritatif cenderung lebih mampu mengendalikan diri sehingga risiko kecanduan gadget lebih rendah. Fakta-fakta ini menandakan bahwa disiplin memang perlu, tetapi hanya akan berdampak positif bila berpadu dengan dialog yang sehat.

Berita Terkait :  38 Kades di Sampang akan Terima SK Perpanjangan Masa Jabatan

Antara Dramatasi Viral dan Respons Realistis
Voltase dramatis di media sosial sering kali membentuk realitas semu. Banyak orangtua yang menyisihkan kehati – hatian karena momen viral terasa lebih mendesak daripada pertimbangan matang.

Tidak jarang pula muncul konten yang memperlihatkan orang tua memarahi anak di depan kamera demi tontonan publik. Fenomena ini berbahaya karena menempatkan anak sebagai objek konten, padahal mereka belum mampu memberikan persetujuan yang matang terhadap jejak digital yang akan terbawa hingga dewasa nanti.

Seorang warganet bahkan menulis di sebuah forum daring, “Anakku tumbuh baik, ortunya harus waras dulu… mungkin saya perlu off media sosial dulu, ya.” Kalimat sederhana itu memberi peringatan keras bahwa performa di depan layar bisa menjadi petaka jika menggantikan momen reflektif yang seharusnya terjadi di rumah.

Dari Trend Digital ke Parenting Realistis
Jika pola asuh VOC menggambarkan ekstrem yang reaktif, maka jalan keluar justru berakar pada pendekatan yang mengutamakan empati sekaligus evidence-based. Sekadar disiplin tanpa dialog hanya akan menumbuhkan anak yang menurut tanpa daya kritis. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan ruang diskusi lebih mampu membangun kepercayaan diri, keterampilan sosial, dan kontrol emosi yang sehat.

Survei Orami memperlihatkan tren positif ke arah itu. Banyak orangtua kini berupaya memberi ruang ekspresi sambil tetap menetapkan aturan. Dengan demikian, pola asuh otoritatif menjadi jembatan yang menyeimbangkan kebutuhan anak akan kebebasan dengan tuntutan kedisiplinan dari lingkungan.

Berita Terkait :  Pj Bupati Berharap Pasar Rakyat pada Festival Muharram di Tamanan Jadi Agenda Tahunan

Literasi Digital dan Emosi
Tren parenting di media sosial memang membantu banyak orang tua menemukan inspirasi praktis, mulai dari jadwal tidur bayi hingga permainan edukatif. Namun, tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat rentan menelan mentah-mentah setiap saran yang beredar. Orang tua perlu lebih kritis: siapa pembuat konten?

Apakah berbasis riset? Atau sekadar trik viral?
Selain itu, orang tua modern juga menghadapi risiko kelelahan emosional. Studi Kompas (2024) mencatat hampir separuh orangtua milenial dan lebih dari setengah Gen-Z mengalami stres berkepanjangan akibat tekanan untuk menjadi “perfect parent” yang dipupuk oleh media sosial. Kondisi ini mengingatkan bahwa self-care bagi orang tua bukanlah kemewahan, melainkan syarat dasar agar mereka bisa hadir secara utuh bagi anak-anaknya.

Menuju Pengasuhan yang Lebih Bijak
Dari berbagai data dan fenomena yang muncul, satu benang merah bisa ditarik: keberhasilan pengasuhan tidak ditentukan oleh jumlah like, komentar, atau seberapa sering gaya asuh kita viral di TikTok. Keberhasilan justru diukur dari mata anak yang merasa didengar dan hati mereka yang merasa aman.

Di era digital, literasi bukan hanya kebutuhan anak, tetapi juga orang tua. Merekalah yang harus mampu memilah konten edukasi berkualitas, bukan sekadar mengikuti arus. Perlindungan anak di ranah digital pun menjadi urgensi baru. Media, sekolah, psikolog, hingga organisasi parenting perlu bersinergi mengampanyekan konten beretika, sementara platform sebaiknya lebih tegas melarang eksploitasi anak demi kepentingan viralitas.

Berita Terkait :  Ratusan Peserta Lulus Seleksi Administrasi Non ASN BLUD RSUD Sampang

Dan terakhir, penting diingat bahwa setiap anak unik, tidak ada cetak biru universal yang berlaku untuk semua. Tugas orang tua adalah menjadi pembaca terbaik bagi karakter anaknya sendiri, bukan sekadar peniru pola asuh yang sedang tren. Dengan literasi digital yang memadai, empati yang terjaga, dan kesadaran diri untuk tetap waras, orang tua Indonesia akan mampu membentuk generasi yang lebih sehat secara emosional sekaligus tangguh menghadapi tantangan zaman.

———— *** —————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru