Oleh :
Dr. IG. NG. Indra S. Ranuh
Analis Kebijakan Publik
Paradoks Fiskal yang Bisa Jadi Kenyataan
Kenaikan pajak selalu menjadi topik panas. Begitu ada wacana tarif pajak naik, masyarakat langsung waswas: harga barang akan melambung, daya beli tergerus, dan beban hidup semakin berat. Namun benarkah selalu begitu?
Jika dilihat lebih dalam, kenaikan pajak bukan sekadar menambah pemasukan negara. Lebih penting lagi adalah bagaimana penerimaan pajak itu dikelola dan dialokasikan. Dalam kondisi yang tepat, kenaikan pajak justru dapat menurunkan biaya hidup masyarakat. Paradoks inilah yang saatnya kita buktikan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur sebagai salah satu episentrum ekonomi nasional.
Apakah pajak yang tinggi otomatis membuat negara makmur? Pertanyaan ini selalu muncul dalam ruang publik, apalagi ketika masyarakat merasa terbebani. Faktanya, bukan sekadar tinggi atau rendahnya tarif pajak yang menentukan, melainkan seberapa efektif negara mengelola penerimaan dan mengembalikannya ke masyarakat. Indonesia saat ini memiliki rasio pajak sekitar 10,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah rata-rata ASEAN yang berkisar 16%. Kesenjangan ini menunjukkan masih besarnya potensi fiskal yang belum tergarap.
Rasio pajak yang rendah membuat ruang fiskal pemerintah terbatas. Di sisi lain, kebutuhan belanja publik semakin besar, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga kesehatan. Kondisi ini menjadi dilema klasik: menaikkan pajak berpotensi menekan daya beli, tetapi tanpa penerimaan pajak yang memadai, negara kesulitan menjalankan pembangunan berkelanjutan.
Pajak sebagai Oksigen Pembangunan
Pemerintah pusat kini menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. Namun, mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain membuat tarif efektif untuk sebagian besar barang nonmewah hanya sekitar 11%. Dengan demikian, kenaikan yang dirasakan masyarakat tidak setajam bayangan semula, sementara tambahan penerimaan negara tetap signifikan.
Bagi Jawa Timur, yang menyumbang sekitar 14-15% PDB nasional, tambahan penerimaan fiskal ini adalah peluang emas. Bukan sekadar menambah kas, melainkan memperkuat daya saing ekonomi daerah.
Tantangan: Pajak Naik di Tengah Beban Tinggi
Masalahnya, kita hidup di tengah biaya hidup dan biaya produksi yang sudah tinggi. Biaya logistik Indonesia, misalnya, mencapai sekitar 14% dari PDB, jauh lebih besar dibanding Vietnam yang hanya 9% atau Malaysia yang 7%. Tingginya ongkos logistik ini membuat harga barang di tingkat konsumen ikut terdongkrak, sehingga masyarakat tetap merasakan beratnya biaya hidup meskipun pajak rendah.
Selain itu, dwelling time atau lama waktu bongkar muat di pelabuhan memang sudah jauh membaik. Dari lebih dari enam hari pada 2010, kini bisa ditekan menjadi 2,6 hingga 2,9 hari pada 2024. Namun, catatan ini tetap tertinggal jika dibandingkan dengan Singapura yang konsisten hanya membutuhkan 1,5 hari. Perbedaan waktu itu pada akhirnya berimbas pada perbedaan biaya yang harus ditanggung eksportir, importir, hingga konsumen.
Masalah efisiensi transportasi juga belum tuntas. Biaya distribusi pangan pokok dari Malang ke Surabaya kerap kali lebih mahal daripada distribusi barang dari Thailand ke Jakarta. Situasi ini menggambarkan bahwa inefisiensi domestik masih menjadi faktor utama yang membuat harga pangan di dalam negeri tidak selalu stabil, meski produksi sebenarnya cukup.
Dalam kondisi seperti ini, menaikkan pajak memang terasa kontraintuitif. Tapi justru di sinilah kuncinya: tambahan penerimaan fiskal harus diarahkan untuk mengurangi biaya-biaya yang selama ini menjadi beban rakyat.
Simulasi Fiskal: Potensi Nyata
Setiap kenaikan rasio pajak sebesar satu persen dari PDB diperkirakan dapat memberi tambahan penerimaan sekitar Rp221 triliun di tingkat nasional. Dengan kontribusi Jawa Timur terhadap perekonomian nasional yang cukup besar, alokasi tambahan fiskal bagi provinsi ini berpotensi mencapai Rp10 hingga Rp20 triliun per tahun.
Jika rasio pajak dinaikkan secara bertahap, misalnya ke level 10,5 persen, tambahan penerimaan bagi Jawa Timur bisa berkisar Rp15 triliun. Pada level 11 persen, nilainya meningkat hingga sekitar Rp20 triliun. Bahkan jika rasio pajak menyentuh 12 persen, Jawa Timur berpotensi memperoleh hampir Rp25 triliun tambahan fiskal per tahun. Angka ini bukan kecil: cukup untuk memperbaiki ribuan kilometer jalan provinsi, membangun jaringan cold storage digital di sentra pertanian dan perikanan, hingga memperluas transportasi publik berbasis listrik.
Logika “Pajak Naik, Hidup Lebih Murah”
Mari bayangkan contoh sederhana. Seorang petani di Banyuwangi menjual cabai ke Surabaya. Saat ini, ongkos logistik dan dwelling time membuat harga cabai melonjak hampir dua kali lipat di pasar kota.
Jika tambahan penerimaan pajak digunakan untuk memperbaiki jalan, mempercepat pelayanan pelabuhan, dan menyubsidi transportasi barang, maka harga cabai bisa turun 15-20%. Meskipun konsumen membayar PPN lebih tinggi, total biaya belanja mereka justru lebih rendah karena harga pangan stabil.
Inilah paradoks yang sebenarnya bukan lagi utopia: pajak naik, tetapi ongkos hidup turun.
Belajar dari Negara Tetangga
Vietnam dan Malaysia memberi contoh nyata. Dengan biaya logistik di bawah 10% PDB, mereka berhasil meningkatkan daya saing ekspor sekaligus menekan harga pangan dalam negeri. Singapura bahkan menjadikan efisiensi logistik sebagai motor ekonominya.
Indonesia, termasuk Jawa Timur, sebenarnya punya potensi sama. Dengan pelabuhan besar, jalur tol laut, dan basis industri yang kuat, kuncinya hanya satu: memastikan tambahan penerimaan pajak dialokasikan untuk efisiensi, bukan sekadar konsumsi birokrasi.
Implikasi Sosial dan Ekonomi
Jika strategi ini dijalankan, dampaknya akan terasa sangat luas. Harga pangan lebih stabil, masyarakat kecil tidak lagi terlalu rentan terhadap fluktuasi harga cabai, beras, atau minyak goreng. UMKM pun akan lebih kompetitif karena produk lokal bisa bersaing berkat ongkos distribusi yang lebih rendah.
Dari sisi industri, biaya produksi yang turun membuka peluang ekspansi usaha dan penyerapan tenaga kerja baru. Sementara bagi investor, efisiensi ekonomi akan menjadi daya tarik utama, bahkan lebih kuat dibanding sekadar insentif pajak. Dengan demikian, pajak tidak lagi dipandang sebagai beban, melainkan sebagai jaminan atas kehidupan yang lebih murah dan lebih baik.
Kesimpulan
Kenaikan pajak memang tidak populer. Namun jika dikelola dengan cerdas, ia justru bisa menjadi instrumen keadilan ekonomi. Tambahan penerimaan harus diarahkan ke sektor yang langsung mengurangi biaya hidup rakyat: logistik, transportasi, pangan, dan infrastruktur publik. Indonesia, khususnya Jawa Timur, memiliki peluang besar membalik logika lama: pajak naik, rakyat sengsara. Paradigma baru harus kita bangun: pajak naik, rakyat justru lebih sejahtera. Ketika ongkos logistik turun, dwelling time singkat, transportasi efisien, dan harga pangan terkendali, masyarakat akan merasakan langsung manfaatnya. Pajak bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi investasi bersama untuk hidup yang lebih murah, lebih sehat, dan lebih layak.
———— *** —————


