Kobaran Perang Sabil 10 November 1945 “Sudah Diduga”
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik
“Pandit Jawaharlal Nehru, pemimpin Kongres Nasional India, memerintahkan hari ini [30 September 1945] bahwa pasukan India tidak boleh digunakan untuk menekan perjuangan Indonesia dan pihak nasionalis lainnya.”
Sebuah poster yang dipasang oleh para pejuang Indonesia di Surabaya yang meminta agar pasukan India tidak melawan mereka. Manjur. Terbukti. Pasukan Gurkha (resimen Divisi khusus India), tidak bersedia perang melawan arek-arek Surabaya. Karena Nehru, di “pihak Indonesia.” Lebih lagi, setelah pasukan Gurkha mendengar kumandang adzan. Anak buah Kapten Zia ul-Haq, tidak bersedia berperang melawan sesama muslim. Sering shalat berjamaah bersama pribumi di masjid sekitar Jalan Peneleh, Surabaya.
Suatu ketika dekade tahun 1980-an, Zia ul-Haq berkunjung ke Indonesia, sebagai seorang Presiden Pakistan. Ia mengajukan permintaan khusus kepada Presiden Soeharto, ingin berkunjung ke Surabaya. Untuk bernostalgia, mengenang tahun 1945. Pasukan Gurkha memilih desersi, melarikan diri ke kampung-kampung. Padahal tentara Gurkha, terkenal keberaniannya. Juga senjata tajamnya yang kesohor, kukri (semacam pisau komando). Dalam pelarian di kampung dan perdesaan, banyak tentara Gurkha menikah dengan wanita pribumi di seantero Jawa Timur. Berhenti sebagai tentara berganti profesi beternak sapi perah (susu).
Kisah kenangan Perang Sabil 10 Noveber 1945, bukan hanya milik gerilyawan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Tetapi ada pula pahlawan (sejati) dari pihak Jepang, yang berpihak kepada Indonesia. Bahkan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno, mengenang jasa kepada dua warga asli Jepang, dengan menuliskan teks di biara Buddha besar di Tokyo. Dua nama yang dikenang (dan ditulis), adalah Ichiki Tatsuo, dan Yoshizumi Tomegoro, adalah dua tantara Jepang, yang membelot. Bergabung dengan laskar rakyat arek-arek Surabaya, dan masyarakat Jawa Timur.
Keduanya juga menjadi mualaf, lalu turut dalam perang sabil sepanjang tahun 1945 hingga 1949. Keduanya, sama-sama gugur sebagai syuhada. Di-makam-kan di TMP (Taman Makam Pahlawan). Ichiki Tatsuo, adalah perwira militer berbakat. Tetapi memilih membelot untuk membantu Indonesia. Tokoh pergerakan nasional, Haji Agus Salim, memberi nama Indonesia, dengan julukan Abdul Rahman, setelah menuntun per-mualaf-an. Karena bakat militernya Tatsuo diangkat menjadi penasihat Divisi Pendidikan PETA (Pembela Tanah Air).
Setelah itu, Tatsuo menjadi Wakil Komando Pasukan Gerilya Istimewa di lembah gunung Semeru, perbatasan antara Lumajang – Malang, Jawa Timur. Sedangkan Yoshizumi Tomegoro, adalah seorang wartawan yang direkrut korps tentara intelijen Jepang. Setelah mualaf memiliki nama Arif Rahman. Serta memilih berjuang angkat senjata berpihak pada tantara laskar. Yoshizumi Tomegoro, gugur di Blitar setelah selama 3 tahun mengikuti perang sabil. Jenasahnya di-makam-kan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Blitar.
Gelora Perang Sabil
Sebanyak 15 ribu pemuda gugur dalam perang mempertahankan kemerdekaan. Tetapi tentara Sekutu juga kehilangan dua ribu personel (bule). Padahal sesungguhnya, penjajah Belanda telah pernah merasakan dampak perang besar di Indonesia. Antara lain, Perang Jawa (tahun 1825 – 1830), gerilya selama 5 tahun, memerlukan biaya sekitar 20 juta gulden. Belanda kehilangan 8 ribu tentara berkebangsaan Eropa, 7 ribu berkebangsaan Jawa dan Melayu. Tetapi korban pada pasukan Pangeran Diponegopo, juga sangat banyak.
Total korban masyarakat Jawa sebanyak 200 ribu jiwa. Sehingga usai perang, warga Yogya bagai berkurang separuh. Itu perang paling dahsyat di dunia sepanjang abad XIX (19). Sebelum Pangeran Diponegoro, juga terdapat jihad fi sabilillah yang dahsyat, dikobarkan oleh Patih Unus. Pada tahun 1513, telah menyerbu Portugis di Malaka. Patih Unus (bernama asli Abdul Qadir bin Muhammad Yunus bin Syeh Khaliqul Idris), memiliki trah sebagai keturunan Kanjeng Nabi Muhammad ke-21.
Cerita kehebatan jung (kapal induk) milik Patih Unus, dikisahkan oleh Kapten kapal Portugis, Fernao Peres. Ditulis dalam surat (bertanggal 22 Pebruari 1513) ditujukan kepada penguasa Portugis. Patih Unus gugur sebagai syahid pada penyerangan kedua, tahun 1521. Kepemimpinan tentara gabungan kerajaan Demak-Cirebon, diserahkan kepada Fatahilah, pemuda asal Pasai (Aceh). Tahun 1527, Fatahilah, berhasil mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa. Sekaligus mengubah nama daerah menjadi Jayakarta (Jalan Kemenangan).
Tetapi gelora Perang Sabil, tak pernah kendur. Di Ternate, muncul panglima belia (usia 30 tahun), bernama Pangeran Baabullah, anak Sultan Khairun. Celakanya, Portugis membunuh Sultan Khairun. Menyulut balas dendam Baabullah. Ternyata tidak butuh waktu lama, seluruh benteng Portugis bisa dikuasai pribumi. Hanya menyisakan kastil gubernur Lopez de Mesquita. Pangeran Baabullah, tidak menumpas habis keluarga Portugis, karena sebagian telah berkeluarga dengan pribumi.
Jihad di Ternate, adalah perang Soya-soya (pembebasan negeri). Menang besar, dengan cara beradab. Seluruh teritorial Indonesia Timur, tanpa pandang politik identitas, dipersatukan di bawah kekuasaan Sultan Baabullah. Seluruh dunia membuktikan, bangsa Indonesia mampu berperang melawan bangsa Eropa. Walau sering beberapa tokoh lokal kondang sebagai pengkhianat. Bahkan Belanda juga mengesahkan ulama migran Timur Tengah menjadi tokoh agama, yang mendukung rezim kolonial.
Bersyukur, masa kini di Indonesia terdapat peringatan Hari Pahlawan (10 November), bagai men-dokumentasi-kan perang melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda). Karena nyata-nyata NICA ingin bercokol kembali meng-kolonialisasi bangsa Indonesia. “Merdeka atau Mati,” menjadi jargon perang Surabaya, 10 November 1945. Berdasar sigi sejarah, perang Sabil Surabaya dilakukan oleh seluruh rakyat di Surabaya (dan di Jawa Timur), tanpa pandang ke-suku-an, dan agama.
Perang Sudah Diduga
Terbukti, pada Perang Sabil 1945, arek-arek Surabaya asli, dan peranakan suku Sunda, suku Banjar, Madura, Bali, peranakan Arab, China, dan Eropa, semua turun gelanggang. Termasuk yang dilakukan oleh dua orang Jepang, Ichiki Tatsuo, dan Yoshizumi Tomegoro. Walau tanpa sertifikat ke-pahlawan-an. Namun kedua pejuang dari Jepang memiliki lencana veteran perang kemerdekaan.
Hari perang Surabaya berkait erat dengan fatwa “Resolusi Jihad” oleh kalangan Ulama se-Jawa dan Madura. Resolusi Jihad diberitakan koran harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. Resolusi ber-inti-kan pada klausul “memutuskan,” yang menyatakan, “Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Konon, Perang Sabil di Surabaya, “sudah diduga” oleh berbagai aktifis kemerdekaan di seluruh daerah. Karena saat Proklamasi 17 Agustus 1945, berlangsung “adem-ayem,” maka pasti akan ada angkat senjata. Benar, hari-hari setelah 26 Oktober 1945, rakyat benar-benar angkat senjata. Berperang jihad (bertaruh jiwa, dan harta) mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamirkan tiga bulan sebelumnya. Tiada perang 10 November 1945, tanpa resolusi jihad ulama. Karena Proklamai kemerdekaan 17 Agustus 1945 belum diakui dunia, ditolak NICA. Serta Indonesia di ujung penjajahan kembali.
Resolusi jihad, dan perang Surabaya (10 November 1945) sudah berlalu 79 tahun. Yang mengkhawatirkan, adalah teladan ke-negarawan-an semakin krisis. Hampir seluruh pejabat publik telah terkotak-kotak dalam “sekte” koalisi ke-parpol-an. Yang tidak satu koalisi dianggap musuh, diserang melalui hoax (dan fitnah) di media sosial. Maka kini, diperlukan re-orientasi spirit kejuangan kerukunan nasional, termasuk melalui peringatan Hari Pahlawan, dengan kontemplasi, dan istighotsah doa bersama.
Pada masa kini sudah banyak aktifis pergerakan menjadi tokoh (bagian dari rezim) berkuasa. Sehingga rakyat lebih berpeluang meraih cita-cita proklamasi, tercantum dalam konstitusi. Yakni, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….”
——— *** ———