UU Cipta Kerja, yang disebut-sebut sebagai omnibuslaw, rotok untuk kedua kali. Terbukti, kalangan buruh lebih “pintar” dibanding pembuat UU (Undag-Undang). MK mengabulkan sebagian gugatan yang dimotori Partai Buruh, bersama aliansi buruh nasional. Diantara amar putusan MK, diminta kepada pembentuk UU harus segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru. Serta memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023.
Artinya, pemerintah bersama DPR-RI (sebagai pembentuk UU) harus membuat UU baru tentang Cipta Kerja. Isinya harus benar-benar beda dengan UU Nomor 6 Tahun 2023. Sebanyak 21 pasal yang diubah oleh MK (Mahkamah Konstitusi). UU 6 Tahun 2023, adalah UU Cipta Kerja. Oleh beberapa kalangan intelektual (dan buruh) dianggap sebagai “akal-akalan” rezim Presiden Jokowi. Sebab sebelumnya, UU serupa telah diterbitkan. Yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tetapi UU 11 Tahun 2020 Tentang Ciptaker, telah “dirontokkan” dalam gugatan di MK. Uji materi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil, dan aliansi organisasi buruh. Antara lain Konfederasi Sarbumusi (Sarikat Buruh Muslim Indonesia (bagian otonom di bawah Nahdlatul Ulama, NU). Serta PP Muhammadiyah.
Diamanatkan oleh MK, UU Omnibuslaw (tentang Cipta Kerja) harus dirombak, agar terhindar dari pembatalan secara permanen. Sementara ini (MK) menyatakan “inkonstitusional bersyarat” terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020. MK juga menyatakan prosedur pembentukan UU Tentang Cipta Kerja sebagai cacat formil. Anehnya, MK menyatakan UU Omnibuslaw masih berlaku, sembari dilakukan perbaikan (oleh pemerintah bersama DPR) dalam waktu 2 tahun.
UU Omnibuslaw, digagas sebagai penyederhanaan perundang-undangan. Sebanyak 83 regulasi yang berisi 2500 pasal di-preteli. Muaranya, akan dihasilkan “induk” undang-undang yang lebih simpel. Draft-nya berisi 174 pasal. Lebih mirip sebagai Kitab Undang-Undang (seperti KUHP). Tidak mudah, karena pengalaman pertama dalam legislasi nasional.
Bahkan sejak proses pembahasan di DPR telah dilakukan aksi demo besar nasional menolak Rancangan UU yang kondang disebut Omnibuslaw. Puncak demo terjadi pada 6-8 Oktober 2020, dilaksanakan aksi unjukrasa buruh dan mahasiswa di seluruh Indonesia. Tuntutannya, pembatalan RUU Omnibuslaw, sekaligus pemerintah diminta menerbitkan Perppu pengganti. Konon, RUU Omnibuslaw dituding makin menyengsarakan buruh.
Buntut demo besar menolak UU Cipta Kerja, Kepolisian menangkap hampir enam ribu pengunjukrasa dari berbagai daerah. Sebanyak 240 orang berlanjut diproses penyidikan (sebanyak 87 orang ditahan). Unjukrasa (masif) terhadap pengesahan UU, menunjukkan terdapat sumbatan komunikasi, antara rakyat dengan wakil rakyat (DPR), dan pemerintah. Padahal telah terbit UU Nomor 15 tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada pasal 21 ayat (4), dinyatakan prosedur mempertimbangkan usulan masyarakat.
Sesuai amanat MK (dan tuntutan buruh) pemerintah menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) Nomor 2 Tahun 2022. Lalu Perppu disahkan sebagai UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Ironis, isinya, sama persis dengan UU 11 Tahun 2020 Tentang Ciptaker. Maka kalangan buruh, dan berbagai organisasi profesi, menggugat lagi ke MK. Menang lagi. Serta sekali lagi MK meminta pembentuk UU segera membuat yang baru.
Amar putusan MK yang pertama (tahun 2021) menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja. Dianggap “setengah hati” karena tidak membatalkan secara keseluruhan. Padahal sudah dinyatakan cacat formil. Amar putusan kedua MK (dirilis November 2024) harus segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru. Yang berbeda dengan UU Nomor 6 Tahun 2023.
——— 000 ———