Oleh :
Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Peneliti Centre for Religious and Islamic Studies (CRIS) Foundation)
Moderasi Beragama merupakan program unggulan Kementrian Agama Republik Indonesia yang mulanya digagas oleh Lukman Hakim Saifuddin sewaktu menjadi nahkoda. Hingga dewasa ini, Moderasi Beragama (Religious Moderation) atau dalam Islam dikenal Islam Wasathiyyah kini digelorakan menyasar berbagi pihak layaknya Institusi Pemerintahan, Organisasi Keagamaan, Komunitas Keagamaan, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), dan Kampus Keagamaan lainnya.
Meski hangat dikaji di forum akademik dan booming dalam dunia riset ilmiah, nyatanya gelorasisasi moderasi beragama belum menyentuh akar rumput (masyarakat awam). Tentu ini menjadi kendala serius, bahwa kajian moderasi selama ini hanya banyak diwacanakan di kalangan elit.
Jika ditinjau secara makna, moderasi (moderation) adalah “jalan tengah/tengah-tengah” atau al-washat “tengah-tengah”.
Jika dikoneksikan dengan redaksi agama, maka menjadi satu istilah khusus yang merujuk pada pola keberagamaan yang moderat, yaitu Moderasi Beragama. Artinya, tidak radikal dan tidak liberal dalam ranah socio-religious. Pada hakikatnya, term moderasi beragama berupaya melihat lebih dewasa tentang pluralitas sosial di Indonesia yang harus disyukuri, bukan untuk dipertentangkan. Warna-warni berbagai identitas merupakan keniscayaan, jika tidak dirawat akan menimbulkan gesekan sosial.
Track record sentimen yang berlatarbelakang agama seperti pembakaran Gereja di Aceh Singkil, konflik Sunni-Syiah Sampang, konflik GKI Yasmin Bogor, deskreminasi terhadap penghayat kepercayaan, dan kasus pengeboman oleh kelompok radikal-ekstrem menjadi pelajaran besar. Gerakan Islam garis keras pun terus berkelindan dan berinovasi untuk mencapai tujuan mereka untuk menegakkan syariat Islam, dan ini berbenturan dengan pluralitas negara dan aturan agama itu sendiri. Mereka bergerak di bawah tanah dengan segala persiapannya untuk sewaktu-waktu kembali menyerang dan menimbulkan konflik atau ketegangan. Konflik akan merugikan banyak pihak, disamping merenggut hak-hak kebebasan memeluk agama yang dilegalkan agama dan Undang-Undang, juga menciptakan trauma yang berkepanjangan bagi sebagian kalangan. Tentu demikian bukan tujuan dasar menerapkan hakikat agama itu sendiri.
Sedangkan Indonesia dikenal sebagai negara warna-warni, yang kaya akan budaya, adat, suku, tradisi, bahkan agama. Enam agama yang tercatat dalam UUD (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu) bahkan ribuan agama kepercayaan eksis hingga kini. Ini menandakan bahwa Indonesia miniatur dunia yang syarat akan pluralitas. Jika keragamaan dan pola keberagamaannya tidak dirawat dengan pemahaman/sikap moderat, maka sangat berpotensi besar menyulut sumbu api konflik dan gesekan antar masyarakatnya. Di Timur-Tengah sendiri yang masih terbilang satu ras dan rata-rata beragama Islam, masih kerap kali terjadi ketegangan antar penduduk dan negara.
Maka dari itu, penting untuk menyalurkan pemerataan program besar Kementrian Agama di seluruh Indonesia, terkhusus di daerah, masyarakat awam hingga pelosok. Setidaknya dari buku moderasi beragama versi terbitan Bimbingan Masyarakat Islam (BIMAS) Kementrian Agama RI yang launching 2022 bertajuk “Moderasi Beragama Perspektif Bimas Islam”, terdapat pengembangan sembilan nilai yang harus dipahami untuk menjadi insan moderat, di antaranya: 1) Rahamutiyah (kasih sayang Tuhan); artinya, kedepankan prinsip kasih sayang antar sesama sebagai wujud dari representasi sifat-sifat Tuhan yang maha pengasih dan penyayang;
2) Insaniyah (kemanusiaan), inilah yang diperjuangkan Gus Dur sebagai bapak bangsa, yaitu mampu memanusiakan manusia; 3) Mubadalah (kesalingan/kesetaraan), istilah ini di ruang akademik dipersempit hanya pada hubungan suami dan istri dalam rumah tangga, namun jika ditarik lebih besar dalam landscape negara prinsip kesalingan merupakan bagian fundamental;
4) Maslahah (kemaslahatan), kemaslahatan terhadap semua golongan merupakan komponen dasar yang harus dipenuhi tanpa condong terhadap kubu tertentu; 5) Mu’ahadah Wathaniyyah (menjaga ikatan kebangsaan), upaya menjaga ikatan kebangsaan tanpa membeda-bedakan agama adalah suatu kewajiban; 6; Dusturiyyah (menaati aturan/hal yang sudah disepakati), dalam hal ini dikenal Undang-Undang 1945 sebagai kitab negara, norma, dan nilai-nilai sosial keagamaan;
7; Tasamuhiyah (toleransi), komponen ini penting untuk disadari dan diresapi lahir batin bahwa saling menghargai satu sama lain adalah kewajiban dalam agama; 8) ‘Urfiyah (menghargai lokalitas/tradisi), tradisi merupakan hal yang fundamental untuk dipertahankan sebagai identitas masyarakat lokal, dan 9. ‘Adliyyah (adil), sikap adil merupakan representasi dari ajaran agama dan bangsa.
Supaya dapat menyentuh kalangan menengah ke bawah, sosialisasi penguatan moderasi beragama tentu harus melibatkan berbagai pihak untuk saling bersinergi.
Kementrian Agama Banyuwangi dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai pemangku kebijakan harus secara massif menggandeng organisasi keagamaan layaknya Nahdlatul Ulama & Muhammadiyah sebagai basis ormas moderat. Terdapat juga komunitas Gus Durian, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama, Pelajar Muhammadiyah, Pemuda Kristen dan organisasi agama lainnya perlu disupport untuk menggelorakan moderasi beragama untuk menyasar sekolah umum, sekolah keagamaan, dan masyarakat secara umum.
Upaya lain selain membangun desa Pancasila atau desa Moderasi, penting juga untuk melakukan pengembangan lebih besar. Bila perlu, pemerintah membangun rumah moderasi di setiap daerah terlebih di kawasan yang memiliki keragamaan agama sebagai wadah besar sebagai tali pengikat toleransi antar umat beragama. Sembilan nilai moderasi beragama di atas perlu dipahami secara seksama oleh antar pemeluk agama supaya terdapat kesepemahaman tentang kebhinekaan, kenegaraan, kemanusiaan dan persatuan atas dasar sesama manusia. Dengan begitu, Indonesia ke depan diharapkan bisa menjadi contoh negara moderat di kancah global, tidak terjadi konflik agama, aman, dan toleran.
———— *** ————