Oleh:
Ahmad Fatoni
Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
Miris dan mengerikan. Itulah kalimat paling pas saat seks bebas kini menjadi hal yang lumrah di kalangan remaja Indonesia. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, hubungan seks luar nikah remaja 15-19 tahun mengalami peningkatan. Kasus pada perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 59%, sedangkan pada laki-laki 74%. Selain itu, BKKBN mengungkapkan tren pernikahan dini menurun, tetapi kabar buruknya tren hubungan seksual remaja meningkat.
Sungguh ironis. Pegaulan bebas di kalangan remaja telah menjadi budaya di negeri ini. Petakanya, tidak sedikit remaja yang latah, turut larut dalam budaya menyimpang. Bersumber dari ditsmp.kemdikbud.go.id yang diakses pada Jumat (4/8/2023), seks bebas pada remaja termasuk pada salah satu jenis dari pergaulan bebas remaja selain merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan tawuran. Padahal, masa remaja merupakan masa saat seseorang sedang mencari jati dirinya dan selalu ingin tahu dan mencoba hal baru.
Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja memiliki beberapa faktor, di antaranya yaitu yang pertama tingkat pendidikan keluarga yang minim. Lingkungan keluarga merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan remaja seorang anak. Jika dalam sebuah keluarga tingkat pendidikannya minim terutama pada pendidikan agama, maka remaja tersebut akan lebih mudah terjerat dalam pergaulan bebas.
Faktor yang kedua yaitu broken home atau keadaan dan situasi yang terjadi di dalam rumah tidak nyaman dan faktor lain seperti perceraian orang tua dan atau orang tua yang sering bertengkar membuat anak merasa tidak diperhatikan sehingga orang tua pun tidak mengawasi anaknya. Hal ini membuat anak mencari perhatian dari luar atau pelarian, salah satunya yaitu pergaulan bebas.
Faktor ketiga yaitu ekonomi keluarga yang kurang berkecukupan sehingga dapat membuat remaja putus sekolah hingga terjerat pergaulan bebas. Faktor keempat yaitu kondisi lingkungan yang buruk. Ketika lingkungan tempat remaja tumbuh merupakan lingkungan yang buruk dan banyak dikelilingi hal negatif, maka remaja akan terjerat pergaulan bebas karena karakter dan perilakunya mudah sekali terpengaruh.
Faktor yang kelima yaitu penyalahgunaan internet oleh remaja. Remaja merupakan masa ketika anak ingin mencari tahu banyak hal dan mencobanya. Jika dalam menggunakan internet tidak dengan diawasi oleh orangtua, maka bisa saja penggunaan internet tersebut dapat disalahgunakan. Penyalahgunaan internet tersebut bisa dengan bebas berselancar hingga menemukan konten yang tidak sesuai lalu mencobanya hingga terjerumus pada pergaulan bebas.
Dampak Globalisasi
Sadar atau tidak, dampak globalisasi yang tiada batas telah menjadi faktor dominan dalam memberi dampak kebebasan informasi serta perilaku. Kondisi ini kemudian melahirkan kerawanan moral pada kaum remaja yang baru taraf meniru dari budaya asing yang terkadang tidak sejalan dengan norma agama dan sosial. Dari aksi coba-coba akhirnya menjadikan budaya free sex, misalnya, sebagai tren pergaulan.
Terbukti beberapa hasil penelitian menemukan lebih dari 30-an persen pelajar tingkat menengah atas, khususnya di kota-kota besar, pernah melakukan hubungan seks (intercourse). Sebuah angka yang fantantis tentunya, meski hal itu tidak lantas membuat kita heran apalagi kebakaran jenggot.
Kita pun tak heran saat mendengar istilah-istilah seperti ayam abu-abu, ayam kampus, anak ABG memburu om-om, married by accident, dan sederet sebutan yang tak enak didengar. Itu semua sebetulnya dapat diatasi jika ada langkah-langkah antisipatif terhadap kemungkinan remaja yang melakukan hubungan seks melalui pembekalan pendidikan sejak dini. Dengan penjelasan secara santun terkait dampak negatif seks bebas, kaum remaja akan berpikir jernih soal seks.
Bagaimanapun, seks yang dilakukan secara ilegal (baca: berzina), merupakan pola hidup yang dianut hewan melata dan binatang ternak. Sehingga bagi manusia terhormat, kata ‘zina’ sungguh menjijikkan. Tetapi, apakah setiap orang merasa risih menyaksikan aneka bentuk perzinahan? Di zaman yang durja ini, nampaknya zina tak begitu dianggap sebagai perbuatan tercela. Kenyataannya, banyak acara-acara maupun tempat-tempat praktik perzinahan yang terorganisir dengan rapi di sekitar kita.
Kita yang naif-dalam derajat tertentu-tidak mampu berbuat apa-apa kecuali perasaan frustasi bila bicara tentang sistem yang menggalakkan perbuatan mesum tersebut terus merajalela. Kampanye seks nyatanya saling berebut angin untuk menggemuruhkan aneka kenikmatan sesaat di setiap sudut acara dan kesempatan. Anarsisme seks makin merangsek ke setiap lini kehidupan masyarakat. Dari tontonan beraroma birahi, iklan erotis, rubrikasi media, kumpul kebo, dan lain sebagainya.
Kontroversi Penyediaan Alat Kontrasepsi untuk Pelajar
Di tengah kehebohan budaya seks bebas, akal sehat masyarakat dihentak oleh pemerintah yang ikut menyediakan pemberian alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 terkait pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
PP yang diteken Presisden Joko Widodo tersebut pun menuai kontroversi, terutama soal penyediaan alat kontrasepsi bagi kelompok usia sekolah dan remaja. Anggota DPR RI Komisi IX Netty Prasetiyani menyebut PP yang ditandatangani Jokowi pada Jumat (26/7) itu dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja.
Penyediaan alat kontrasepsi bagi pelajar juga dinilai kebijakan yang tak masuk akal dan salah kaprah. Hal ini diungkapkan aktivis perempuan dan anak yang juga Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari. Menurutnya, kebijakan pembagian alat kontrasepsi itu akan menjadi sangat aneh jika kemudian para pelajar tidak dikenalkan dengan pendidikan tentang kesehatan reproduksi. Jika tiba-tiba dibagikan (kontrasepsi) bisa saja akan jadi salah paham.
Masih menurut Eva, PP yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja perlu diperjelas. Hal ini untuk mencegah adanya salah persepsi di masyarakat seperti adanya dukungan pemerintah terkait hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja. Ketimbang membagikan alat kontrasepsi, Eva menyebut edukasi kesehatan reproduksi pada remaja senyatanya harus lebih diutamakan.
Usai heboh soal pembagian alat kontrasepsi untuk remaja, Kementerian Kesehatan akhirnya buka suara. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi menekankan pelayanan kontrasepsi didefinisikan tidak untuk semua remaja, melainkan khusus bagi mereka yang menikah dengan kondisi tertentu untuk menunda kehamilan. Bagaimanapun, usia sekolah dan remaja tidak perlu kontrasepsi. Mereka harusnya abstinensi atau tidak melakukan kegiatan seksual.
Namun apa lacur, zina kini hampir menjadi perbuatan yang sekadar dimaklumi. Kebanyakan orang sudah terlanjur memandang zina sebagai perkara biasa, tak perlu dibesar-besarkan. Toh itu dilakukan atas dasar suka sama suka. Bukankah itu simbol kode etik pergaulan modern? Demikian kira-kira dalih anak remaja sekarang.
Jika kebijakan pembagian alat kontrasepsi itu tiba-tiba dibagikan (kontrasepsi) tanpa terlebih dahulu dikenalkan tentang kesehatan reproduksi, sangat boleh jadi akan dimaknai oleh pelajar atau remaja sebagai panduan bagaimana cara menyalurkan nafsu seks bebas secara aman.
Pandangan Agama
Luapan anarsisme seks, sebagaimana marak di kalangan remaja Indonesia, jelas memorakporandakan pengertian moral yang selama ini dinilai sakral. Dilihat dari sudut manapun hasilnya tetap negatif. Dalih mengikuti semangat zaman, terlebih hanya untuk merengkuh kenikmatan sesaat sungguh membahayakan. Semua agama samawi mengutuk malpraktik seksual semacam itu.
Dalam agama Islam, contohnya, perilaku seks bebas atau perzinahan diancam dengan siksaan yang berat baik di dunia dan akhirat. Sebuah hadis dikeluarkan oleh al-Baihaqy menyebutkan enam malapetaka yang ditimbulkan perzinahan. Tiga di dunia: menghilangkan kegembiraan, kefakiran, dan memperpendek umur. Tiga lainnya di akhirat: dicela oleh Allah, dihisab secara ketat, dan disiksa di neraka.
Bahkan, perilaku seks liar atau perzinahan merupakan seburuk-buruk bencana, tidak saja di dunia, tetapi juga di akhirat kelak. Tidak hanya menimpa diri pribadi namun juga bagi orang lain, keluarga dan masyarakat. Tidak sekedar merusak kesehatan kesehatan jasmani bahkan mengganggu ketenangan rohani. Dalam konteks ini, para orang tua hendaknya memproteksi purta-putri mereka untuk tidak ikut-ikutan tradisi apapun yang justru sangat bertentangan dengan nilai agama, norma sosial, dan budaya Indonesia.
Tak pelak, upaya pencegahan atas penyimpangan seksual di kalangan remaja, diperlukan usaha yang sangat serius dari semua pihak, terutama orangtua, sebab tidak menutup kemungkinan setiap tahun angka anarsisme seks yang menghinggapi kaum remaja terus membengkak, mengingat arus global yang berkembang sekarang ini sudah tak terbendung lagi.
————— *** ——————-