25 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Merobohkan Crab Mentality

Oleh :
Thomas Elisa
Penulis adalah alumnus program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS).

“Kalau saya tidak bisa mendapatkannya, maka kamu juga tidak boleh mendapatkannya.” Ungkapan tersebut merupakan metafor sosial yang berkaitan dengan deskripsi Crab Mentality. Crab Mentality merupakan sebuah topik populer dalam ilmu psikologi. Sejarah mencatat fenomena Crab Mentality muncul dari negara Filipina. Muasalnya dari dunia nelayan dan lebih spesifik kepada pedagang kepiting. Terdapat sebuah fenomena menarik yaitu saat seekor kepiting mulai naik ke atas maka akan ada kepiting lain yang mencoba menariknya dari bawah hingga terjatuh. Begitu seterusnya hingga direfleksikan bahwa mentalitas kepiting yang saling menjatuhkan temannya membawa sebuah kerugian atau hambatan pada kemajuan. Penulis Nick Joaquin lantas mewacanakan fenomena Crab Mentality dalam tulisannya yang lantas diterima ilmu psikologi secara global khususnya dalam bahasan psikologi sosial.

Pemaparan fenomena Crab Mentality agaknya sudah cukup memberikan gambaran mengenai sebuah perilaku sosial yang cukup buruk. Sekaligus memberikan sebuah wacana mengenai dampak sosial yang timbul dari perilaku crab mentality. Bila ditinjau lebih jauh, crab mentality memiliki sebuah penyebab utamanya yaitu dorongan iri, benci, dan juga sikap negatif terhadap pencapaian orang lain. Tatkala orang lain memperoleh pencapaian positif maka banyak orang yang nyinyir, tidak suka bahkan ingin menjatuhkan. Akibat, sifat-sifat ini memunculkan hambatan dalam kemajuan.

Berita Terkait :  KRM Surabaya Siap Jadi Perpustakaan Mangrove Dunia

Lantas, bagaimana dengan masyarakat kita? Secara general harus diakui bahwa masyarakat kita pun tidak lepas dari mentalitas kepiting ini. Hal ini dapat kita simak dari narasi-narasi yang beredar di media sosial maupun dalam kehidupan nyata. Bayangkan saja, berapa jumlah ujaran kebencian yang senantiasa mengiringi dan muncul dalam berbagai pemberitaan. Hal ini bila kita refleksikan merupakan bentuk-bentuk sikap yang iri, dengki, dan nyinyir terhadap sesuatu hal yang terjadi. Tanpa sadar orang-orang menjadi “kepiting” untuk orang lain. Dinamika-dinamika sosial yang terjadi juga senantiasa dilandasi oleh perangai crab mentality ini. Seperti halnya demonstrasi besar bulan lalu, banyak wacana-wacana yang akhirnya menjurus pada kebencian personal, intoleransi, kedengkian yang berdampak serius menghasilkan chaos.

Dalam lingkup lebih kecil, fenomena Crab Mentality juga hadir di lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat, bahkan juga lingkungan keluarga. Keadaan toxic yang muncul dalam sebuah lingkungan acapkali dipicu fenomena Crab Mentality yang pada akhirnya menimbulkan konflik berkepanjangan. Marak kita baca berita-berita kriminal seperti pembunuhan terhadap anggota keluarga yang dipicu kebencian dan iri sampai juga fenomena-fenomena di instansi yang banyak karyawan merasa tidak nyaman karena sikap toxic berlandaskan mentalitas kepiting ini. Sederet fenomena Crab Mentality ini menjadi perhatian serius yang harus disikapi terutama dalam kaitannya pengembangan masyarakat sosial yang ada.

Membangun sebuah masyarakat berarti membangun pula sisi mentalitas dan budaya yang ada pada masyarakat tersebut. Salah satunya dengan membenahi sisi-sisi perilaku buruk yang membudaya. Berkaitan dengan Crab Mentality ini patut untuk diberikan perhatian lebih serius. Sudah seharusnya semua elemen mulai meghapus praktik Crab Mentality ini. Dimulai dari tiap individu, memupus perasaan-perasaan iri, dengki, dan kontraproduktif terhadap perkembangan serta pencapaian seseorang haruslah dilakukan. Para pemangku jabatan juga wajib memberikan tauladan positif. Alih-alih bertengkar karena iri, dengki, dan sikap saling menjatuhkan. Lebih baik, para pemangku jabatan lebih bijak mengisi ruang publik dengan sumbangsih pikiran yang dapat membangun. Para figur publik juga punya peran penting untuk mencontohkan tindakan-tindak positif dibandingkan sibuk saling menghujat.

Berita Terkait :  76 Ribu Ton Gula Petani Tak Terserap, DPRD Jatim Duga Gula Rafinasi Bocor

Pada akhirnya, Crab Mentality merupakan sebuah budaya yang buruk. Apabila budaya semacam ini hilang, tentu masyarakat akan terus bertumbuh secara positif. Dengan demikian, wacana mewujudkan masyarakat Indonesia Emas 2045 akan berjalan lebih lancar. Tentunya, dengan meninggalkan budaya negatif seperti Crab Mentality.

———— *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru