Oleh :
Ani Sri Rahayu
Dosen PPKn dan Trainer P2KK Universitas Muhammadiyah Malang.
Penghapusan sistem zonasi dalam dunia pendidikan baru-baru ini menuai beragam tanggapan dari masyarakat. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah besar menuju sistem pendidikan yang lebih inklusif dan merata, namun di sisi lain juga memunculkan kekhawatiran akan meningkatnya persaingan tidak sehat dan kesenjangan pendidikan. Dengan dihapusnya zonasi, apakah cita-cita “Merdeka Belajar” dapat benar-benar tercapai, atau justru kebijakan ini menyimpan potensi tantangan baru yang dapat menggagalkan misi utamanya? Melalui tulisan ini, penulis akan mengulas dampak, peluang, dan risiko yang muncul dari keputusan penting ini.
Dampak penghapusan sistem zonasi
Penghapusan sistem zonasi dalam dunia pendidikan telah menjadi topik hangat di tengah masyarakat, memunculkan beragam opini terkait dampaknya terhadap pemerataan dan akses pendidikan. Sistem zonasi yang awalnya diterapkan untuk menjamin distribusi siswa secara merata ke sekolah-sekolah di berbagai wilayah kini dihapus dengan alasan memberikan kebebasan lebih besar bagi siswa dan orang tua dalam memilih sekolah. Namun, perubahan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah penghapusan zonasi benar-benar mampu meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan, atau justru memperburuk ketimpangan antara sekolah favorit dan non-favorit? Kebijakan ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali tujuan utamanya, yaitu menciptakan sistem pendidikan yang inklusif, merata, dan berkeadilan.
Di satu sisi, penghapusan sistem zonasi memberikan peluang bagi siswa untuk mengakses pendidikan di sekolah yang dianggap memiliki kualitas lebih baik tanpa terikat oleh batasan geografis. Hal ini dianggap dapat mendorong kompetisi yang sehat antar sekolah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan mereka. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa kebijakan ini justru akan memperbesar kesenjangan antara sekolah-sekolah unggulan dan sekolah yang kurang diminati. Sekolah dengan sumber daya lebih banyak cenderung menarik siswa dari berbagai daerah, sementara sekolah dengan fasilitas terbatas berpotensi semakin terpinggirkan.
Selain itu, akses pendidikan bagi siswa dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi juga menjadi perhatian utama. Tanpa sistem zonasi, mereka mungkin menghadapi tantangan tambahan, seperti biaya transportasi yang lebih tinggi atau persaingan ketat dengan siswa dari kelompok yang lebih mampu secara finansial. Dengan demikian, meskipun kebijakan ini membawa harapan baru, ada risiko nyata bahwa tujuan pemerataan dan keadilan pendidikan justru semakin sulit untuk dicapai. Evaluasi menyeluruh dan pendekatan kebijakan yang holistik diperlukan untuk memastikan bahwa semua anak Indonesia memiliki kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan berkualitas.
Untuk itu, pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan yang dapat menjamin akses yang setara bagi semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan ekonomi. Salah satu langkah penting adalah dengan memperkuat dukungan terhadap sekolah-sekolah yang kekurangan fasilitas dan sumber daya, agar tidak terjadi kesenjangan kualitas yang semakin melebar. Selain itu, perlu ada pengawasan yang ketat terhadap implementasi kebijakan ini agar dapat menyeimbangkan kebebasan memilih sekolah dengan prinsip pemerataan dan keadilan dalam pendidikan.
Peluang dan risiko “Merdeka Belajar”
Kebijakan “Merdeka Belajar” yang digagas untuk menciptakan pendidikan yang lebih inklusif, fleksibel, dan berorientasi pada kebutuhan siswa kini menghadapi tantangan baru dengan dihapusnya sistem zonasi. Di satu sisi, langkah ini membuka peluang bagi siswa untuk memilih sekolah yang sesuai dengan minat dan potensinya, tanpa terbatas oleh batas wilayah. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga membawa risiko, seperti meningkatnya persaingan tidak sehat, ketimpangan kualitas antar sekolah, serta marginalisasi kelompok siswa yang kurang mampu.
Dengan dinamika ini, keberhasilan cita-cita “Merdeka Belajar” sangat bergantung pada bagaimana peluang dapat dimaksimalkan, sekaligus risiko dapat diminimalkan, melalui pendekatan kebijakan yang tepat dan implementasi yang terarah.Peluang yang muncul dari penghapusan sistem zonasi antara lain memberikan ruang bagi inovasi dalam pembelajaran dan pengembangan potensi individu siswa, yang lebih leluasa memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Hal ini juga dapat memacu kreativitas sekolah untuk mengembangkan kurikulum yang lebih variatif dan relevan dengan perkembangan zaman.
Namun, risiko terbesar yang harus diwaspadai adalah ketimpangan dalam kualitas pendidikan, di mana sekolah-sekolah unggulan cenderung semakin dominan, sementara sekolah-sekolah dengan sumber daya terbatas semakin terpinggirkan. Tanpa perhatian yang serius terhadap pemerataan fasilitas dan kualitas pengajaran, cita-cita “Merdeka Belajar” bisa terhambat, malah memperburuk kesenjangan pendidikan yang sudah ada. Untuk mengatasi potensi ketimpangan dan memaksimalkan peluang yang ada, beberapa langkah solutif perlu dipertimbangkan.
Pertama, pemerintah dapat memperkenalkan kebijakan redistribusi sumber daya, dengan memberikan alokasi anggaran yang lebih besar untuk sekolah-sekolah yang memiliki keterbatasan fasilitas, sehingga kualitas pendidikan di seluruh sekolah dapat merata.
Kedua, memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan “Merdeka Belajar” dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari lembaga pendidikan hingga masyarakat, guna memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar mencapai tujuan pemerataan.
Ketiga, mendukung pengembangan pendidikan berbasis teknologi yang dapat menjangkau seluruh daerah, termasuk wilayah terpencil, sehingga siswa di daerah tersebut tetap memiliki akses ke materi pembelajaran yang berkualitas.
Keempat, memfasilitasi kolaborasi antar-sekolah dalam bentuk program pertukaran, pelatihan bersama, atau pengembangan kurikulum bersama, yang akan membantu menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih inklusif dan berkualitas bagi semua.
Dengan langkah-langkah solutif tersebut, diharapkan kebijakan “Merdeka Belajar” dapat tercapai dengan lebih efektif dan inklusif, tanpa mengorbankan prinsip pemerataan pendidikan. Namun, keberhasilan tersebut tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tetapi juga pada komitmen semua pemangku kepentingan, termasuk guru, orang tua, dan masyarakat. Jika kolaborasi yang solid dapat terjalin, serta pemantauan yang terus menerus dilakukan, maka cita-cita menciptakan pendidikan yang lebih adil dan merata bagi seluruh anak bangsa akan lebih mudah terwujud. Hal ini akan menjadi fondasi yang kokoh untuk masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik dan lebih berkeadilan.
————- *** —————