29 C
Sidoarjo
Sunday, September 22, 2024
spot_img

Menyikapi Gerakan Coblos Semua

Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Menjelang Pilkada Serentak pada 27 November 2024 mendatang, berkembang wacana “gerakan coblos semua” di kalangan publik. Ide ini menyerukan agar pemilih mencoblos semua kandidat yang ada di surat suara.

Dinamika Pilkada Jakarta menjadi pusat awal munculnya wacana ini yang digaungkan oleh pendukung Anies Baswedan yang kecewa karena gagal mendaftar sebagai calon gubernur. Tetapi kemudian mulai berkembang disuarakan di banyak daerah.

Ide ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai hegemoni oligarki, terutama dalam proses penentuan kandidat kepala daerah. Para pendukung gerakan ini meyakini dapat mendorong perubahan politik karena, jika berhasil, tidak akan ada kandidat yang memperoleh suara mayoritas sehingga Pilkada ulang kemudian akan terjadi dengan harapan prosesnya menjadi lebih baik.

Tetapi di sisi lain, para pengkritiknya menganggap ide semacam ini merupakan upaya destruktif yang berpotensi melemahkan demokrasi hingga menciptakan instabilitas sosial politik. Ide ini dipandang tidak lebih sebagai suara kekecewaan pihak tertentu karena gagal bertarung di Pilkada, alih-alih sebagai usaha menyelamatkan demokrasi.

Pro: Melawan Oligarki?
Dalam perspektif ilmu politik, beberapa argumen yang diajukan oleh pendukung gerakan ini perlu dipertimbangkan. Pertama, munculnya ide coblos semua diklaim sebagai respons atas dominasi oligarki dalam proses demokrasi. Oligarki yang dimaksud dalam konteks ini merujuk pada kelompok kecil elit yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar, baik melalui kekayaan, hubungan politik, maupun akses terhadap sumber daya negara.

Berita Terkait :  Tzu Chi, Diplomasi Publik Taiwan di Indonesia

Teori-teori demokrasi deliberatif menekankan pentingnya partisipasi politik yang bebas dan terbuka bagi semua warga negara. Maka ketika kekuatan oligarki mendominasi sistem politik, partisipasi rakyat menjadi semu. Kandidat yang kemudian muncul dan berkontestasi adalah hasil dari kompromi elit yang berkepentingan, alih-alih sebagai representasi dari aspirasi masyarakat. Dalam konteks Pilkada Jakarta pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang didukung oleh 15 partai politik dipandang adalah hasil kompromi oligarkis.

Kedua, gerakan ini perlu dilihat sebagai bagian dari strategi untuk mengguncang sistem politik yang stagnan, yang dominasi oleh kelompok pro-rezim. Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay menekankan bahwa institusi politik yang tidak mampu merespons kebutuhan masyarakat pada akhirnya akan mengalami kemunduran. Maka wacana coblos semua bisa dipandang sebagai bentuk kemarahan publik terhadap sistem yang gagal menyajikan beragam alternatif pilihan kandidat serta sebagai bentuk dorongan untuk memicu lahirnya reformasi politik terhadap dominasi rezim berkuasa.

Ketiga, sebagaimana teori kontrak sosial, masyarakat memiliki hak untuk menolak pemerintahan atau sistem politik yang dinilai gagal untuk memenuhi aspirasi mereka. Maka dengan menolak semua pilihan yang tersedia, tersirat pesan bahwa sistem politik yang ada saat ini harus diubah atau diperbarui agar benar-benar merepresentasikan kepentingan rakyat, menegakkan prinsip demokrasi sejati, dan bukan kongkalikong para oligarkis.

Kontra: Ancaman Bagi Demokrasi?
Beberapa kritik dari pihak yang kontra perlu juga dipertimbangkan. Pertama, bahwa tindakan ini dapat merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Ilmuwan politik Robert Dahl mengatakan bahwa pemilu dalam demokrasi adalah mekanisme untuk memilih pemimpin, di mana pihak yang kalah atau gagal memiliki kesediaan untuk sabar menunggu pemilu berikutnya untuk ikut berkontestasi kembali.

Berita Terkait :  Tak Ada Susu Sapi, Susu Ikan pun Jadi

Karenanya, narasi coblos semua adalah bentuk ekspresi yang mengingkari hakikat pemilu (Pilkada) sebagai proses demokrasi dan dengan mencoblos semua kandidat, pemilih sejatinya tidak menjalankan hak pilih mereka secara substantif. Jika gerakan semacam ini meluas, risikonya adalah hasil pemilu menjadi tidak valid yang pada gilirannya berpotensi memicu kekacauan politik dan krisis legitimasi. Alih-alih memperkuat demokrasi, yang terjadi justru merusaknya.

Kedua, kritik lain adalah bahwa tindakan ini akan melahirkan preseden buruk bagi partisipasi politik masyarakat di masa mendatang. Dalam studi perilaku pemilih (voting behaviour), ketika kepercayaan publik terhadap proses pemilu runtuh, partisipasi politik bersifat rapuh, pemilih akan cenderung apatis dan enggan melibatkan diri dalam proses politik. Jelas ini berbahaya bagi tatanan demokrasi yang telah dibangun selama ini dan bisa menjerumuskan masyarakat ke dalam siklus ketidakpercayaan yang lebih mendalam terhadap institusi politik.

Ketiga, teori pluralisme dalam demokrasi meyakini bahwa keberagaman kelompok kepentingan dan aktor politik adalah esensi dari demokrasi yang sehat dan itu harus diterima. Karena itu, jika pemilih mencoblos semua kandidat, secara tidak langsung akan menghapus kesempatan bagi berbagai kelompok politik untuk bersaing secara sehat dalam arena percaturan politik.

Dilema Demokrasi
Studi tentang demokrasi di banyak negara berkembang memang menampilkan kenyataan bahwa oligarki memiliki pengaruh besar dalam proses politik. Mereka memiliki dana yang besar, menguasai media, menguasai akses terhadap sumber daya politik dan ekonomi, yang dengannya bisa digunakan untuk mencapai kepentingannya. Tetapi perlu diingat, bahwa bukan berarti demokrasi harus hancur di bahwa tekanan kekuasaan oligarki.

Berita Terkait :  Perkuat Kedaulatan Digital Nasional

Solusi untuk mengatasi masalah oligarki bukanlah dengan merusak proses demokrasi itu sendiri. Yang dibutuhkan adalah upaya untuk memperbaiki dan memperkuat institusi-institusi demokrasi, memperluas akses terhadap pendidikan politik bermartabat, serta mendorong partisipasi politik yang substansial.

Daripada mencoblos semua dan merusak proses pemilu (Pilkada), lebih bijak jika kita memperjuangkan keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas dalam politik serta memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada dalam demokrasi. Siapa yang bisa melakukannya? Pada akhirnya, kekuatan masyarakat sipil (civil society) lewat berbagai jenis bentuk dan caranya harus menampilkan diri menjadi aktor sentral, dengan didukung oleh media yang independen, ketika partai politik semakin sulit untuk diharapkan.

Demokrasi memang bukanlah sistem yang sempurna. Bahkan demokrasi disebut minus malum, sistem yang terbaik dari semua yang buruk. Tetapi, demokrasi memiliki kemampuan untuk berkembang dan beradaptasi, serta butuh waktu panjang untuk mewujudkannya sebagai the only game in town.

———— *** ————-

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Berita Terbaru

spot_imgspot_imgspot_img