28 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Menyambut Lahirnya Bank Syariah Muhammadiyah: Harapan Baru untuk Petani dan UMKM

Oleh:
Ahmad Ajib Ridlwan
Wakil Dekan II Fakultas Ketahanan Pangan, Unesa ; Ketua Umum Pemuda ICMI Jawa Timur

Perjalanan panjang organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah untuk mendirikan Bank Syariah Muhammadiyah (BSM) nampaknya semakin nyata. Muhammadiyah tidak mendirikan dari nol atau mengakuisisi Unit Usaha Syariah salah satu bank umum, namun melalui transformasi Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) Matahari Artha Daya milik Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka di Ciputat, Tangerang Selatan.

Langkah taktis ini memberikan sinyal bahwa Muhammadiyah ingin berlari kencang sekaligus menunjukkan bahwa bank syariah ini dari Muhammadiyah, oleh Muhammadiyah, untuk bangsa. Berita akan lahirnya BSM telah ramai diperbincangkan diberbagai media elektronik, media sosial, WhatsApp Grup, dan berbagai forum diskusi.

Kehadirannya tentu saja tidak sekedar menambah deretan nama bank dan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Akan tetapi menjadi gelombang besar sekaligus memberikan angin segar lahirnya institusi keuangan berbasis nilai Islam. Masyarakat antusias menyambut lahirnya BSM sekaligus menaruh harapan besar kelak bank ini menjadi bank syariah yang berpihak pada “wong cilik” dan peduli pada sektor riil serta kelompok rentan khususnya masyarakat petani, nelayan, peternak, serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang termasuk golongan penggerak ekonomi masyarakat.

Rekam Jejak Gerakan Ekonomi Muhammadiyah
KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 H atau bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Lahirnya organisasi ini salah satunya dilatar belakangi oleh kondisi ketimpangan sosial ekonomi. Pendiri organisasi ini menyadari bahwa kebodohan dan kemiskinan adalah dua sisi mata uang. Oleh sebab itu, selain mendirikan sekolah dan rumah sakit, Muhammadiyah juga membentuk amal usaha produktif dan lembaga sosial sebagai wasilah menuju kesejahteraan umat.

Di era 1980-an dan 1990-an, muncul inisiatif gerakan ekonomi berbasis jamaah seperti toko serba ada (Toserba), koperasi mahasiswa, hingga lembaga pembiayaan mikro. Kini, muhammadiyah telah memasuki usia 100 tahun lebih dengan jumlah jamaah dan simpatisan yang mencapai puluhan juta jiwa, memiliki jaringan pendidikan, kesehatan, dan amal usaha yang tersebar di seluruh Indonesia, Muhammadiyah melakukan gelombang transformasi ekonomi umat dengan mendirikan bank syariah sendiri. Sebuah langkah strategis yang kehadirannya sangat ditunggu-tunggu umat.

Berita Terkait :  Tim Gabungan Dispendukcapil dan Kominfo Lakukan Maintenance Jaringan Wireless Desa Pandiyangan Sampang

Peluang dan Tantangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan market share tercatat naik menjadi 7,72% dari setahun sebelumnya 7,44% dengan total aset tercatat sebesar Rp980,30 triliun atau tumbuh sebesar 9,88% year on year (yoy) pada Desember 2024. Meskipun data menunjukkan trend yang positif, kondisi tersebut masih jauh dari harapan mengingat secara demografi dan budaya, Indonesia memiliki potensi sebagai pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan oleh lemahnya koneksi antara lembaga keuangan syariah dengan basis umat di akar rumput.

Kehadiran BSM diharapkan dapat menjadi jembatan serta mengisi ruang kosong untuk mendongkrak pangsa pasar bank syariah di Indonesia. Muhammadiyah memiliki jaringan amal usaha yang masif sampai ke pelosok daerah mulai dari masjid, lembaga sosial, sekolah, universitas, rumah sakit, dan koperasi. BSM memiliki captive market berbasis akar rumput yang jelas dan solid. Lebih lanjut, BSM diharapkan menjadi lokomotif baru dalam menggerakkan perekonomian umat berbasis komunitas yang inklusif dan berkeadilan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dari sisi branding, pemilihan nama BSM sangat tepat. Dalam sebuah bisnis, Branding bukan soal logo dan slogan, tetapi bagaimana nilai dan sejarah membentuk kepercayaan publik. Akronim BSM pernah dipakai oleh salah satu bank syariah milik BUMN yaitu “Bank Syariah Mandiri” sebelum merger menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Setelah merger menjadi BSI, nama itu kini kosong secara simbolik. Bank Syariah Muhammadiyah (BSM), dengan identitas dan gerakan yang benar-benar mandiri dari sisi manajemen permodalan, nilai dasar kemuhammadiyahan, keislaman, dan keindonesiaan akan menghadirkan makna “Bank Syariah Mandiri” secara hakiki.

Dalam konteks ini, BSM diharapkan memiliki keunggulan istimewa. Ia bukan sekadar bank, tetapi sebuah keberlanjutan dari tradisi panjang kemandirian ekonomi umat yang telah dirintis Muhammadiyah selama lebih dari satu abad yang tidak tergantung pada rezim kekuasaan dan tidak berafiliasi politik. Justru karena itulah, BSM berpotensi memiliki positioning yang unik dan kuat. Bank syariah yang lahir dari umat, oleh umat dan untuk umat.

Berita Terkait :  Menteri Pariwisata Apresiasi Konsep Pengembangan Bali Maritime Tourism Hub

Meskipun Demikian, BSM tidak terlepas dari tantangan yang akan dihadapi. Lembaga Keuangan adalah area yang penuh dengan dinamika dan persaingan, inovasi, adopsi teknologi, dan cyber security serta tuntutan transparansi. BSM harus dibangun bukan hanya atas idealisme, akan tetapi harus dikelola secara profesional, bersih, serta memiliki inovasi layanan keuangan yang kompetitif dan inklusif. Lebih dari sekadar transaksi, BSM harus menjadi sarana transformasi. Inovasi berbasis teknologi digital, kolaborasi dan sinergi bersama stakeholders, serta melibatkan generasi muda dalam pengembangan ekosistem fintech syariah adalah sebuah keharusan.

BSM dan Semangat Menjadi Lembaga Keuangan Syariah yang Inklusi
BSM diharapkan menerapkan prinsip maqashid syariah sebagai landasan dalam setiap inovasi produk dan layanannya. Pengembangan produk-produk BSM harus berpihak pada pembiayaan sektor pertanian meliputi petani, nelayan, peternak, dan pelaku UMKM karena Sektor pertanian dan UMKM memiliki potensi yang sangat besar sebagai penopang perekonomian nasional. UMKM menyumbang sekitar 61% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional yang menyerap sekitar 96-97% tenaga kerja di sektor non formal.

Namun, fakta menunjukkan bahwa mayoritas petani Indonesia termasuk dalam kategori petani gurem dengan penguasaan lahan kecil dan minim akses pembiayaan. Kondisi yang sama juga dialami oleh pelaku UMKM yang masih jauh dari layanan perbankan formal. Lembaga keuangan melakukan prinsip kehati-hatian dalam menyentuh kelompok ini. Kedua kelompok tersebut masuk dalam golongan “Feasible” tetapi Tidak “Bankable”.

Pemerintah memang telah menyediakan Kredit usaha rakyat (KUR) dan akses skema pembiayaan yang lain. Akan tetapi, implementasinya masih belum merata dan fokus pada pelaku usaha yang sudah bankable. Kondisi ini tidak salah mengingat lembaga keuangan yang resmi diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sehingga harus menjalankan prinsip kehati-hatian. Akibatnya, mayoritas pelaku ekonomi rakyat akses permodalan bergantung pada rentenir dengan bunga mencekik. Di sinilah BSM harus berani mengambil terobosan yang tidak biasa.

Berita Terkait :  Agustusan Seru di CFD Bareng Wali Kota Kediri Vinanda

Sebagai organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dalam pemberdayaan sosial ekonomi umat dengan keunggulan struktural dan kultural yang didukung oleh ribuan amal usaha. Di sekitar ekosistem itu tumbuh komunitas petani dan UMKM binaan. Organisasi ini memiliki berbagai pengalaman dalam pemberdayaan ekonomi umat berbasis komunitas. Melalui skema pembiayaan klaster di sekitar amal usaha akan tercipta jaring pengaman sosial dengan resiko rendah. Model ini tidak bergantung pada agunan konvensional, tetapi modal sosial sebagai agunan nya seperti nilai kepercayaan (trust), pendampingan komunitas, rekomendasi tokoh masyarakat, ulama dan umara.

Lebih lanjut, BSM harus menerapkan skema pembiayaan yang bersifat produktif dan inklusif. Akad pembiayaan seperti murabahah, mudharabah, dan musyarakah dapat disesuaikan dengan kebutuhan kelompok rentan seperti petani dan UMKM. Skema pembiayaan disertai pendampingan yang masif akan menghadirkan BSM tidak sekedar lembaga intermediasi tetapi sebagai jantung pergerakan pemberdayaan ekonomi umat.

Muhammadiyah juga memiliki lembaga sosial seperti LAZISMU. Dana sosial yang berasal dari umat seperti zakat, infaq, dan sedekah dapat digunakan untuk mendukung program pembiayaan ultra mikro berbasis qardhul hasan. Sinergi antara BSM dengan LAZISMU sebagai alternatif menjawab kebutuhan kelompok masyarakat yang belum tersentuh oleh sistem perbankan konvensional.

Tentu saja tantangan tetap ada. Menyalurkan pembiayaan kepada kelompok rentan membutuhkan pendampingan, monitoring dan evaluasi yang sangat ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan menggandeng perguruan tinggi sebagai inkubator petani dan UMKM sebagai bentuk implementasi kampus berdampak.

Sebagai lembaga keuangan syariah yang lahir dari rahim gerakan Islam berkemajuan, BSM diharapkan menjadi instrumen pergerakan ekonomi yang berkeadilan dan mensejahterakan. BSM tidak sekedar mengejar pertumbuhan laba, tetapi sebagai lembaga ekonomi umat yang menjadi garda terdepan dalam membersamai kelompok petani dan UMKM. Jika ikhtiar ini berhasil, BSM akan dikenang oleh umat manusia sebagai sejarah peradaban lembaga keuangan syariah di Indonesia yang kehadirannya selalu ditunggu untuk menyejahterakan yang kecil, bukan memperbesar yang besar.

————– *** —————–

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru