27 C
Sidoarjo
Monday, February 3, 2025
spot_img

Menunggu Tuah UN Gaya Baru

Oleh :
Mukhlis Mustofa
Dosen Unisri

Siklus evaluasi pembelajaran bertajuk Ujian Nasional ( UN ) kembali dihelat mulai tahun 2025 untuk jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Gelaran hajatan nasional pendidikan ini menjadi sedemikan menarik mengingat Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) menegaskan bahwa UN tahun ini bukanlah penentu. Kebijakan sang Mendikdasmen) ini teramat mengejutkan mengingat selama ini terstiigmakan UN adalah Penentu kelulusan.

Seacara historis penyikapan UN sedemikian menguras energi penyelenggara negeri sehingga seluruh komponen harus dijalankan serba perfeksionis. Pelibatan seluruh komponen negeri untuk mensukseskannya seakan mencerminkan penyelenggara negeri teramat peduli dengan kualitas pendidikan. UN tidak ubahnya gincu tebal penyelenggara pendidikan sehingga Segenap kekurangan penyelenggaraan pendidikan serta merta diharapkan tertutupi suksesnya penyelenggaraan UN.

Galibnya penyelenggara negeri teramat terpuaskan manakala angka-angka standar kelulusan semakin tinggi sepanjang massa, kenaikan 0,25 poin dianggap prestasi luar biasa yang terkadang dilalui dengan penuh onak duri. Beragam kasus bernuansa kecurangan individual maupun berjama’ah setiap pelaksanaan UN disikapi dengan sporadis dan terkadang meninggalkan pendekatan edukatif. Beberapa saat silam bahkan ditemukan naskah UN harus dijaga hingga level densus 88 layaknya terduga teroris sedemkian sadis.

Mencermati hajatan pelaksanaan UN, sebagai kalangan yang bergerak dibidang pendidikan, saya merasa geli mendengar setiap kebijakan didalamnya. Kegelian saya ini sangat dimungkinkan dirasakan beberapa rekan guru dinegeri ini. Bagaimana tidak hajatan ujian nasional yang menjadi konsekuensi logis proses evaluasi pembelajaran bagi dunia pendidikan teramat banyak dinodai beragam aturan melebihi protokoler kenegaraan.

Berita Terkait :  PJT I Kembali Kenalkan Produk Dua UMKM Mitra Binaan di Kota Batu

Mencermati standar pelaksanaan UN, pengaturannya tidak sebatas syarat administratif edukatif semata namun menyentuh ranah privat pelaku didalamnya bahkan kecenderungannya termat berlebihan. Sebagai permisalannya cara guru pengawas membuka naskah, duduk maupun menyebarkan presensi sedemikian rumit diatur bahkan pengaturannya melebihi penilaian wanita ayu dalam ajang ratu kecantikan. Diluar ketentuan pencitraan tersebut bahkan beberapa rekan guru menjuluki sebenarnya pola pengawasan UN serba terbalik bukan guru mengawasi siswa namun siswa mengawasi guru.

Tanpa disadari perampasan sistematis profesi guru sebagai aktor pembelajaran tersaji sedemikian gamblang dengan segenap aturan remeh temeh tersebut. Peran guru sebagai pengawas tidak ubahnya manusia bodoh ditengah generasi kritis sehingga kebijakan mencerdaskan pun tidak nampak. Disisi lain seluruh komponen negeri ini merasa berkepentingan dengan pelaksanaan UN tidak ubahnya menghadapi terorisme pengacau negeri. Persepsi penyelenggara pendidikan lebih terpuaskan bagaimanakah evaluasi ini dilaksanakan namun mengesampingkan esensi evaluasi bersangkutan.

Pengedepanan mentalitas proyek

Uji keseriusan penyelenggaran pendidikan menjadi perhatian tersendiri mengingat keberadaan UN saat ini dianggap berimplikasi serius terhadap seluruh lini pendukung pembelajaran. Kengototan pelaksanaan UN dapat diterjemahkan menyuburkan mentalitas proyek pengelolaan pendidikan. Besaran penyelenggaraan UN hingga ratusan miliar tiap tahunnya tanpa diduga merupakan santapan empuk mafia proyek. Pembentukan beragam satuan tugas, pembentukan tim independen layaknya pemilu manakala tidak disikapi dengan proporsional justru mengaburkan peran UN sebagai evaluasi pembelajaran dan berpotensi penghamburan alokasi dana pendidikan.

Berita Terkait :  PT KAI Daop 7 dan BMKG Jawa Timur Perkuat Kolaborasi Demi Keselamatan Perjalanan Kereta Api

Berdasarkan data yang dilansir dalam kompasiana oleh Charlie Ady Prasetyo (25 Feb 2014 ) tahun 2014 untuk pelaksanaan UN pemeritah mengalokasikan hingga 560 Miliar merupakan angka fantastis ditengah realitas pendidikan dalam konteks kekinian. Logikanya teramat naïf manakala mendapati anggaran UN sedemikian fantastis namun masih ditemukan diskriminasi fasilitas pendidikan di negeri ini.

Hitung-hitungan ekonomis berbasis anggaran pendidikan pun sedemikian absurb dan tidak menunjukkan nalar sehat edukatif. Penggunaan beragam elemen diluar aspek pendidikan selama pelaksanaan UN tidak lebih pencitraan semu dan tidak bermutu. Jika kritikan pendidikan kita sedemikian bebal disebabkan kualifikasi guru serampangan bukankah sedemikian efektif manakala dana pendampingan pengawasan UN ini dialokasikan sebagai pendampingan dari perguruan tinggi agar pembelajaran lebih bermakna.

Pendampingan pembelajaran menjadi sedemikian efektif dibandingkan pendampingan bertajuk tim independen pengawas. Implikasi pendampingan pembelajaran ini sedemikian kuat mengakar dan menjadi jawaban konkrit tudingan tidak berkualitasnya penyelenggaraan pendidikan selama ini. Konsekuensinya pihak universitas akan mendapatkan banyak masukan riil dilapangan dan mengikis tudingan hidup di menara gading sementara pihak sekolah dapat meningkatan kualitas pembelajaran sebagai inti layanan pendidikan

Keberpihakan penguasa pemerintahan dalam bidang pendidikan akan sedemikian efektif manakala hakikat pembelajaran dikedepankan dalam setiap pengambilan kebijakan pendidikan. Keberadaan UN pun selayaknya tidak menjadikan penguasa setempat terpuaskan menyikapi hasil yang tersaji setiap tahunnya. Penggunaan hasil UN sebagai parameter kualitas pendidikan merupakan pendangkalan pola berpikir mengingat elemen pendidikan sedemikian kompleks dan tidak dapat sekedar membandingkan hasil evaluasi kognitif semata.

Berita Terkait :  Pembangunan Saluran Juga di Wilayah Pinggiran Kota Madiun

Reposisi kebijakan pendidikan
Manajemen pendidikan berbasis psikologi pembelajaran menjadi frasa pokok manakala UN ini akan dijadikan legacy bagi pendidikan di negeri ini. Pemfungsian UN sebagai standar pendidikan di negeri ini bukanlah hal tabu namun selayaknya memperhatikan aspek teknis pembelajaran didalamnya.

Konsepsi ini secara tidak langsung mensyaratkan bahwa untuk mendapatkan hasil proporsional berbasis UN semua pihak harus berpikir integrative. Teramat naïf manakala keinginan mendapatkan hasil memuaskan dan beradab namun menisbikan bagaimanakah proses pembelajaran tersebut dilangsungkan. Sebagai penguasa wilayah sangatlah riil manakala peraturan berbasis pembelajaran dikedepankan secara proporsional.

Logikanya peraturan dengan kewajiban jam belajar akan lebih efektif apabila digabungkan dengan pola pembelajaran yang dikembangkan. Disisi lain keberpihakan pada kualifikasi elemen pendukung seharusnya berpijak pada kondisi riil pembelajaran di wilayah bersangkutan. Pemberian dukungan menyeluruh pemerintah setempat bagi kebermaknaan sangat riil diberlakukan jika keinginan peningkatan pendidikan menjadi sasaran utama dalam pengembangan wilayah.

Penggurliran Kembali UN mulai tahun 2025 ini selayaknya tidak sekedar rutinitas semata namun kehilangan makna. Momentum pergantian ini selayaknya memposisikan keberpihakan semua pihak dalam pengelolaan kebijakan pendidikan berbasis pembelajaran yang sebielakukan. Kebijakan berkaitan pembelajaran secara politis memang tidak sepopuler penerapan pendidikan terstandarisasi nasional namun patut disadari hakikat pembelajaran tanpa dukungan kekuasaan hanyalah menyisakan kenangan.

Selamat mennyelenggarakan UN…….

Semoga SAMAWA ( SAntun MAntap WArbiasa)

————- *** —————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru