Tragedi kebakaran yang tersulut dari tungku pabrik pakan ternak, di Bekasi merenggut 10 korban jiwa. Serta 3 pegawai terluka parah. Menjadi kasus K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) paling fatal selama tahun 2024. Belum lama, dua pekan lalu, terjadi kebakaran di tungku smelter tembaga, PT Freeport Indonesia, di Gresik Jawa Timur. Padahal seharusnya, potensi kebarakaran (dan ledakan) pada pabrik yang menghasilkan gas (terutama smelter), tergolong prioritas K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Sebelumnya telah terjadi tragedi kecelakaan (kecerobohan) kerja di smelter merenggut 16 jiwa pekerja smelter ferrosilicon (nikel), di kawasan industri Morowali, Sulawesi Tengah. Kebakaran di kompleks industri di Morowali, menjadi tragedi kecelakaan kerja industri smelter paling tragis di Indonesia. Patut diduga, pemilik perusahaan melanggar berbagai undang-undang (UU) Ketenagakerjaan. Sekaligus melabrak HAM (Hak Asasi Manusia).
Aparat negara, termasuk Komnas HAM, wajib sigap melindungi setiap buruh. Terutama yang bekerja dengan risiko tinggi, pabrik dengan instalasi gas sangat besar. Misalnya H2SO4 (pada smelter), dan gas metana (CH4), seperti baru terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Bahkan metana, sangat berbahaya karena tidak berbau. Maka untuk mendeteksi kebocoran gas, diperlukan tambahan (campuran) bahan kimia lain. Biasanya digunakan belerang. Sehingga kebocoran halus bisa segera ditangani.
Namun manakala terlanjur besar, kebakaran akan sulit dipadamkan. Kebakaran pabrik pakan, Bekasi, telah berlangsung lebih dari 24 jam. Bahan pakan berupa jerami, menghasilkan gas metana paling tinggi, dibanding tongkol jagung, dan pelepah sawit. Begitu pula pabrik pembuatan korek gas, merupakan industri dengan risiko kecelakaan kerja sangat rentan. Terutama potensi ancaman ledakan, dan kebakaran. Ironisnya, perusahaan korek gas di-operasional-kan setara industri rumahan.
Seperti terjadi di Binjai, Sumatera Utara (tahun 2019 lalu). Tragedi kecelakaan (kecerobohan) kerja merenggut 23 jiwa pekerja pabrik korek gas. Menjadi kecelakaan kerja paling tragis di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Sekaligus menjadi titik-balik pengawasan perburuhan, dan pengawasan K-3. Beberapa regulasi yang berkait, adalah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan, serta UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Walau sebenarnya, UU tentang K-3 telah menjadi kewajiban, dan telah dikampanyekan sejak hampir setengah abad silam. Jargon, “Utamakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja,” telah terpampang hampir di seluruh pabrik. Kenyataannya, banyak pabrik (dan industri skala menengah dan besar) melanggar aturan UU tentang K-3. Disebabkan pengawasan ketenaga-kerjaan, sangat lemah. Secara nasional, jumlah pengawas ketenagakerjaan hanya sekitar 1500-an orang. Sedangkan kebutuhan pengawas secara nasional mencapai 6000 orang.
Berdasar data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Saat ini, seorang pengawas bekerja untuk 400 perusahaan. Dalam UU Nomor 1 tahun 1970, pasal 2 ayat (2) angka ke-2, disebutkan berlakunya asas wajib keselamatan kerja. Secara tekstual dinyatakan, “dalam tempat kerja dibuat, diolah, dipakai dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan insfeksi, bersuhu tinggi.”
Beberapa kecelakaan kerja (terutama bahaya kebakaran) terjadi berulang. Tragedi kebakaran paling parah terjadi pada pabrik mercon, di Tangerang (Oktober 2017), 47 orang meninggal. Padahal sejatinya, Indonesia sangat memuliakan fungsi kinerja buruh. Antaralain termaktub dalam konstitusi. UUD pasal 27 ayat (2), menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”
Negara memuliakan buruh melalui perlindungan konstitusi, sebagai Hak Asasi Manusia. Tetapi berbagai peraturan tak pernah dikawal secara baik. Perusahaan bandel, tidak diberi sanksi men-jera-kan.
——— 000 ———