Oleh :
Wahyu Kuncoro
Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya; Wakil Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Jatim
Kepongahan penguasa yang didukung elit politik yang sedang mabuk kekuasaan nampak semakin lupa diri dalam mengelola negeri ini. Setelah berhasil mengacak-acak konstitusi dan melucuti etika dan marwah berdemokrasi, membuat konspirasi jahat ini semakin percaya diri dan menjadi-jadi.
Bagaimana tidak, keputusan Mahkamah Konstitusi yang terang benderang pun dicoba dikhianati dan dihabisi di gedung parlemen senayan.Beruntung, pejuang demokrasi di negeri ini ternyata belum mati. Hasilnya, rencana busukpengesahan revisi Undang-Undang Pilkada oleh DPR pun dihadang aktivis demokrasi dan akhirnya terhenti.
Yach, pemerintah dan para politisi nampaknya tidak lagi peduli apa itu demokrasi dan konstitusi. Sehingga ketika Keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap tidak sejalan dengan kepentingannya, mereka pun berkonspirasi untuk membegal putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK yang jelas-jelas jadi produk konstitusi dan tidak ada jalan lain kecuali dipatuhi dan dijalankan, hendak dicari celahnya untuk dianulir oleh wakil rakyat dan pemilik kekuasaan.
Mereka bermufakat hendak menyiasati konstitusi dengan merevisi aturan main pencalonan kepala daerah yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada. Aksi siasat tersebut dilakukan hanya berselang sehari setelah MK mengeluarkan dua putusan penting.
Pertama, Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Kedua, Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.
Maka, hasrat menggebu-gebu untuk mengesahkan revisi UU Pilkada itu dijawab dengan gerakan massa sipil di berbagai wilayah di Tanah Air. Gerakan rakyat dari berbagai elemen itu umumnya menilai telah terjadi pembangkangan dan pembegalan terhadap konstitusi. Mereka yang selama ini diam, mengamati, dan pasrah seperti mendapatkan energi untuk bergerak kembali karena syahwat mengakali konstitusi itu tidak bisa lagi ditoleransi.
Penyiasatan konstitusi itu sungguh sudah mengancam demokrasi, ketaatan bernegara, dan mengancam masa depan bangsa. Pemerintah dan DPR semestinya paham betul bahwa satu-satunya ruang yang ada hanyalah menaati dan melaksanakan putusan itu tanpa reserve.
Putusan MK bersifat eksekutorial atau langsung dieksekusi dan erga omnes atau mengikat untuk semua pihak tanpa terkecuali. Semua pihak, termasuk dalam hal ini DPR, KPU, Bawaslu, partai politik, pemerintah, maupun masyarakat harus tegak lurus mematuhi isi putusan MK itu.
Pemerintah dan DPR juga pasti tahu bahwa keputusan MK terkait dengan pilkada tidak dapat dibatalkan oleh DPR, pun mestinya tidak dibatalkan dengan revisi undang-undang. Bila pemerintah dan DPR berkukuh memutar haluan putusan MK, akan muncul kekacauan aturan, ketidakpastian hukum, dan perlawanan tiada henti dari rakyat yang merasa hak mereka memperoleh calon pemimpin yang mereka kehendaki terus diamputasi.Berbagai kekhawatiran itulah yang membuat gerakan rakyat bermunculan, baik di dunia maya maupun aksi turun ke jalan. Tekanan rakyat pun tidak sia-sia.
Menjaga Konstitusi
Dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penurunan ambang batas syarat pencalonan kepala daerah dan penolakan mengubah syarat usia pasangan calon kepala daerah merupakan angin segar bagi proses demokrasi di Tanah Air. Putusan itu juga wujud dari harapan rakyat bahwa institusi yang menjaga kedaulatan mereka masih bekerja.
Putusan MK tersebut nyata-nyata membuka jalan untuk pencalonan kandidat-kandidat alternatif selain mereka yang dicalonkan koalisi partai politik besar. Itulah hakikat demokrasi, yakni saat rakyat yang berdaulat tidak diikat oleh pilihan calon yang tidak sesuai dengan aspirasi mereka.
DPR semestinya paham dan menyadari bahwa memain-mainkan kedaulatan rakyat bisa merobohkan demokrasi. Jangan coba-coba berdusta dan berkhianat atas jerih payah hingga tetesan air mata dan darah rakyat saat memperjuangkan demokrasi.Sebagai wakil rakyat, tidak semestinya mereka melawan kehendak rakyat demi mementingkan kelompok atau golongan tertentu. Unjuk rasa yang dilakukan berbagai elemen masyarakat di berbagai kota selama beberapa hari hanyalah percikan kecil kemarahan mereka yang selama ini terpendam. Terlalu banyak yang dipertaruhkan jika amarah publik berubah menjadi anarki.
Putusan MK kali ini seperti vitamin bagi demokrasi yang sedang kepayahan. Mereka yang berakal sehat rasanya mustahil untuk tak menyambut baik putusan itu. Akan tetapi, realitasnya, tak semua satu frekuensi dengan MK. Padahal, sebagai penjaga konstitusi, putusan MK adalah konstitusi juga.
Sebuah negara hanya bisa tertib jika semua orang menaati aturan. Aturannya, MK adalah lembaga tinggi yang oleh negara diberi hak dan kewenangan untuk menafsirkan undang-undang terhadap UUD 1945. Aturannya, setiap putusan MK bersifat final dan mengikat. Final berarti tidak ada lagi upaya hukum untuk mengujinya. Mengikat berarti semua anak bangsa wajib mematuhinya. Siapa dia, apa pun jabatannya, setinggi apa pun kedudukannya. Suka tidak suka, mau tidak mau, menguntungkan atau merugikan, tidak ada urusan.Aturannya, putusan MK adalah untuk dilaksanakan, bukan ditafsirkan sesuai kepentingan. Maka, aneh, sangat aneh, jika ada lembaga negara lebih memilih menafsirkan, lalu menolak mematuhi, bahkan berlawanan dengan putusan MK.
Sikap seperti itu jelas merupakan preseden buruk, sangat buruk, dalam kepatuhan terhadap hukum. Apa jadinya negeri ini jika mereka yang semestinya menjadi pelopor dalam memuliakan hukum malah menistakannya? Bagaimana nasib bangsa ini jika lembaga pilar demokrasi justru unjuk kekuasaan menghalangi upaya penguatan demokrasi? Kita berharap semoga kekacauan tidak terjadi.
Membaca Pesan
Bahwa berpijak pada kondisi yang tengah terjadi hari ini, sesungguhnya mengirimkan pesan kepada para pemimpin negeri ini bahwa rakyat tidak diam. Bahwa pemimpin dan politisi sungguh tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Ada aturan main yang bernama konstitusi yang harus dipatuhi dan dipedomani. Bila tidak maha hancurlah negeri ini.
Berdemokrasi adalah mekanisme bernegara yang harus dijalankan dengan menjunjung tinggi nilai nilai dan etika demokrasi. Maka tidak boleh atas nama apapun untuk mengkhianati konstitusi.
Dalam wilayah lain, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya juga mengirimkan pesan kepada semua pihak untuk menghormati aturan dan regulasi yang sudah diciptakan. Bukan saja aturan terkait Pemilu, tetapi juga aturan dan regulasi dalam bidang lain. Bukan hanya di pemerintah pusat, tetapi juga berlaku di pemerintah Daerah.
Pastilah pemerintah daerah baik itu Pemerintah Kabupaten/kota ataupun Pemerintah Provinsi telah banyak menerbitkan aturan dan regulasi berupa Peraturan Daerah. Maka tugasnya tentu tidak cukup hanya menerbitkan peraturan, tetapi juga harus melaksanakannya. Jangan sampai regulasi dilaksanakan kalau menguntungkan penguasa saja, karena sesungguhnya regulasi itu diciptakan karena untuk menjaga kepentingan bersama. Inilah momentum bagi semuanya untuk menegakkan kembali regulasi dan aturan yang sudah dirancang kita buat dan sahkan bersama.
Bahwa apapun peraturannya, ketika diubah di tengah jalan, dilakukan sembunyi-bunyi, berarti melanggar sumpah konstitusi. Ini juga menjadi pembelajaran bagi pemerintah daerah, untuk benar-benar konsisten dan komitmen menjalankan peraturan yang sudah dibuat, disahkan dan dipertanggungjawabkan untuk masyarakat. Jangan ada cawe-cawe”
Wallahu’alam Bhis-shawwab
———— *** —————