Membicarakan makanan tradisional bukan sekadar mengenang rasa dan budaya, tetapi juga membuka ruang untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satu contohnya adalah tape, makanan fermentasi dari singkong yang telah lama menjadi bagian dari kekayaan kuliner Nusantara.
Tape bukan hanya makanan yang diwariskan secara turun-temurun, namun kini memiliki potensi ekonomi yang besar jika dikelola secara kreatif dan produktif. Pelatihan pembuatan tape skala rumah tangga menjadi bentuk konkret dalam menjawab tantangan tersebut. Di tengah arus modernisasi dan gempuran makanan cepat saji, kegiatan ini hadir sebagai ruang refleksi sekaligus aksi nyata untuk mempertahankan budaya lokal. Tidak hanya melatih keterampilan teknis, pelatihan ini juga mendorong masyarakat untuk melihat potensi bisnis dari dapur rumah sendiri.
Keunggulan dari skala rumah tangga adalah fleksibilitas produksi dan efisiensi biaya. Tape bisa dibuat dengan peralatan sederhana, tetapi mampu memberikan nilai tambah ekonomi jika dikemas secara menarik dan dipasarkan dengan strategi yang tepat.
Kreativitas menjadi kunci: dari tape biasa bisa berkembang menjadi tape goreng, bolu tape, es krim tape, bahkan produk oleh-oleh khas daerah. Artinya, pelatihan ini tidak hanya mengajarkan cara membuat tape, tetapi juga membangkitkan semangat wirausaha lokal. Namun, persoalan klasik sering kali muncul, yaitu kurangnya dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak.
Banyak pelatihan berhenti sebatas kegiatan seremonial tanpa tindak lanjut berupa pendampingan, akses modal, atau jaringan pasar. Padahal, dampak dari pelatihan semacam ini bisa signifikan jika ada kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan pelaku usaha lokal.
Penguatan kelembagaan UMKM juga sangat penting agar hasil pelatihan tidak berhenti di tataran teori. Penting juga dipahami bahwa pelatihan ini memberi peluang besar bagi perempuan rumah tangga untuk berdaya secara ekonomi. Di banyak desa, ibu-ibu memiliki waktu luang yang dapat dimanfaatkan untuk produksi makanan tradisional ini.
Ketika mereka diberi keterampilan, pengetahuan, dan akses pasar, maka pelatihan tape menjadi pintu masuk menuju kemandirian ekonomi keluarga. Pemberdayaan melalui makanan tradisional seperti ini sekaligus menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtif dan ketergantungan terhadap produk impor.
Pelatihan pembuatan tape bukanlah sekadar pelestarian kuliner, tetapi juga upaya menciptakan ekosistem ekonomi lokal yang mandiri dan berkelanjutan. Inilah bentuk kecil dari kedaulatan pangan yang bisa dimulai dari rumah.
Sudah saatnya kita melihat makanan tradisional bukan hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai peluang masa depan. Pelatihan pembuatan tape skala rumah tangga merupakan wujud dari upaya memadukan budaya, ekonomi, dan kreativitas dalam satu piring sederhana. Sebuah langkah kecil yang bisa membawa dampak besar bagi masyarakat Indonesia. [why]


