Oleh :
Arief Azizy
Kuli Literasi di GusDURian Kediri dan Pengkaji Psikologi Sosial di Kediri
Di banyak ruang kelas hari ini, guru bekerja dalam situasi yang tak lagi sama. Jika dulu ancaman terbesar proses belajar adalah kebisingan atau rasa malas murid, kini ada sesuatu yang lebih sunyi namun jauh lebih kuat: kecerdasan buatan (AI). Teknologi yang menjanjikan efisiensi itu justru sering menghadirkan kecemasan baru-baik bagi murid maupun guru. Kita seperti memasuki zaman ketika pengetahuan “berhamburan” begitu cepat, tetapi kemampuan untuk mengolah dan memahami justru tertinggal di belakang.
Dalam sebuah laporan harian Kompas pada 2023, sejumlah sekolah mengaku kewalahan menghadapi gelombang tugas-tugas yang dikerjakan siswa menggunakan generator AI tanpa proses berpikir mandiri. Di saat bersamaan, beberapa guru merasa profesinya “terancam” karena kemampuan AI yang bisa menjelaskan rumus, merangkum buku, bahkan menilai esai. Fenomena ini bukan sekadar soal teknologi, tetapi menyangkut panggilan paling mendasar dalam pendidikan: menuntun manusia menjadi lebih manusiawi.
Filsuf Martin Heidegger pernah mengingatkan, “Teknologi bukan hanya alat; ia adalah cara manusia memahami dunia.” Dalam konteks sekolah, teknologi-termasuk AI-bukan lagi sekadar media bantu pembelajaran, melainkan kekuatan yang dapat membentuk ulang hubungan antara guru, murid, dan pengetahuan. Namun, apakah guru harus takut pada perubahan ini?
Kita melihat gejala paradoks: AI dikhawatirkan akan mengambil alih tugas guru, tetapi disisi lain ia justru mempertegas peran guru sebagai pendamping emosional dan moral yang tak tergantikan. Mesin dapat merangkum sebuah buku dalam hitungan detik, namun tak akan pernah benar-benar memahami keresahan seorang siswa yang gagal memahami dirinya sendiri.
Mesin dapat menilai struktur argumentasi, tetapi tidak dapat menenangkan hati remaja yang takut menghadapi masa depan.
Dengan kata lain, teknologi menunjukkan batas dirinya justru ketika ia menjadi semakin canggih. Di titik itu, manusia-termasuk guru-barangkali menemukan kembali dirinya.
Di Persimpangan Antara Efisiensi dan Kemanusiaan
Yang sering luput dari pembahasan publik adalah bahwa pendidikan bukan hanya proses mentransfer pengetahuan, tetapi proses membangun karakter. AI mungkin mampu memberikan jawaban paling benar, tapi ia tidak pernah mengenal apa itu kegagalan, kerja keras, atau kemauan untuk bangkit. Padahal, itulah inti dari proses belajar.
Dalam sebuah laporan harian Jawa Pos yang pernah menyoroti maraknya penggunaan chatbot AI di kalangan pelajar, disebutkan bahwa beberapa sekolah mengalami penurunan kualitas orisinalitas tugas secara signifikan. Tugas-tugas yang dikumpulkan seragam, datar, dan tak menunjukkan identitas pemikiran siswa. Seolah-olah seluruh murid meminjam satu kepala yang sama. Ini bukan hanya masalah kecurangan akademik, tetapi ancaman terhadap kemampuan berpikir kritis.
Di ruang kelas, guru kini berada di persimpangan antara memanfaatkan AI sebagai alat belajar atau menjadikannya bagian dari literasi baru. Tidak cukup hanya melarang penggunaan AI; guru perlu mengajarkan “cara berpikir bersama teknologi”. Bukan bersaing dengan mesin, tetapi merangkulnya sebagai mitra. Dalam konteks ini, literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan aplikasi, melainkan kemampuan memahami batasan dan risiko teknologi.
Yang menarik, justru dari keterdesakan inilah lahir kreativitas baru di kalangan guru. Beberapa guru bahasa di Surabaya, sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar, mulai meminta siswa menjelaskan proses berpikir ketika mengerjakan tugas. Bukan hasil akhirnya, tetapi bagaimana mereka sampai pada kesimpulan itu. Cara ini efektif membongkar tugas yang sepenuhnya dikerjakan AI, namun lebih dari itu: ia mengembalikan proses berpikir sebagai inti pembelajaran.
Masalahnya, tidak semua guru siap menghadapi perubahan drastis ini. Banyak guru yang masih gagap teknologi, sementara tuntutan kurikulum dan administrasi terus meningkat. Di titik inilah peran negara dan institusi pendidikan menjadi krusial: apakah mereka menyediakan pelatihan yang memadai? Apakah sekolah menyiapkan pedoman etis penggunaan AI? Apakah pemerintah memberi ruang bagi inovasi guru, atau justru membebani mereka dengan regulasi yang kaku?
Superioritas AI dalam kecepatan dan ketepatan sering membuat guru merasa ditinggalkan. Namun sebenarnya, guru memiliki sesuatu yang tidak dimiliki mesin: intuisi, empati, dan pengalaman hidup. Dalam dunia pendidikan yang perlahan menjadi serba otomatis, kekuatan ini justru semakin relevan.
Kita tidak sedang memasuki zaman ketika guru digantikan oleh teknologi. Kita sedang memasuki zaman ketika guru ditantang untuk menemukan peran barunya-bukan sebagai penjaga informasi, tetapi sebagai penuntun kebijaksanaan. Guru bukan lagi sumber jawaban, melainkan sumber pertanyaan yang membuat murid ingin belajar lebih jauh daripada apa yang diberikan mesin.
Pendidikan, pada akhirnya, selalu bersifat relasional. Murid belajar bukan hanya dari materi, tetapi dari keteladanan dan kehadiran seorang guru. Kehadiran yang meyakinkan mereka bahwa belajar bukan sekadar menumpuk pengetahuan, tetapi menjadi manusia yang utuh.
Dalam bayang-bayang kecerdasan buatan, guru mungkin tampak kecil. Tetapi justru di bawah bayang-bayang itulah cahaya kemanusiaan menjadi lebih jelas terlihat. Dan selama sekolah masih menjadi tempat manusia bertemu manusia, guru tidak akan pernah tergantikan. Mereka adalah jembatan antara generasi yang gelisah dan masa depan yang terus berubah-sebuah masa depan yang tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada algoritma.
–———– *** —————


