33 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Meneguhkan Politik Kebangsaan DPD RI

Oleh :
Wahyu Kuncoro
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik (FISIP) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.

Penguatan Peran DPD RI ( 1 – bersambung)

Satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat ada proses politik yang menimbulkan kegelisahan dan keresahan berbagai kalangan. Munculnya krisis kepercayaan terhadap DPR dan juga pemerintah terbaca serangkaian aksi unjuk rasa yang diwarnai dengan aksi pembakaran gedung-gedung simbol negara. Lebih menyedihkan lagi aksi tersebut jatuh korban nyawa yang tidak seorangpun menginginkannya.
Bahkan dalam serangkaian aksi unjuk rasa tersebut juga muncul ajakan unjuk rasa menuntut pembubaran DPR yang beredar di media sosial yang membuat segenap elemen masyarakat, tak terkecuali pelajar dan mahasiswa, untuk turun ke jalan. Sentimen protes terhadap DPR itu juga muncul seiring dengan adanya pemberitaan media massa terkait pemberian tunjangan perumahan bagi anggota DPR.
Pemberian tunjangan itu dinilai berlebihan dan tidak mempertimbangkan kondisi masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi. Gaji dan tunjangan fantastis wakil rakyat itulah yang kemudian memunculkan narasi kemarahan. Ironisnya, respons dari sejumlah anggota DPR justru turut memicu kemarahan publik. Memang, terdapat indikasi bahwa isu tersebut tidak murni lahir dari dinamika masyarakat sipil, melainkan ada pengaruh agenda politik dengan pola peredaran isu khas pasukan siber (cyber troops).
Esai ini tentu tidak ingin larut membahas tentang isu Pembubaran DPR, tetapi ingin lebih menggaris bawahi betapa publik bisa marah ketika ada penyimpangan yang berlebihan yang dilakukan oleh pejabat negara ataupun para elit politiknya. Artinya, keresahan masyarakat sungguh beralasan karena kenaikan tunjangan DPR yang tidak mencerminkan realitas masyarakat dengan tantangan ekonomi sangat valid. Tetapi, jangan lupa bahwa kenaikan tunjangan DPR itu disetujui pemerintah. Seharusnya, pemerintah yang lebih layak dikritik.
DPR bersikap lebih merepresentasikan kepentingan diri dan kelompok atau partainya, terputus dari masyarakat sebagai basis suara yang mengantarkan mereka menjadi anggota parlemen para wakil rakyat cenderung mengingat peran mereka sebagai anggota DPR yang merupakan lembaga tinggi negara sehingga menuntut fasilitas setara. Tetapi, mereka lupa bahwa tanpa suara dan partisipasi warga, mereka tidak pernah ada dan menempati posisinya. Sungguh butuh kekuatan kontrol terhadap pemerintahan sekaligus penyeimbang di lembaga legslatif (DPR) agar tidak selalu kepentingan politik yang dikedepankan.

Berita Terkait :  Dukung Ketahanan Pangan, Satpolairud Polres Situbondo Tebar Ratusan Bibit Ikan dan Tanam Sayuran

Apa Kabar dengan DPD RI ?
Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memiliki semangat ideologis untuk mengimbangi dominasi parpol dalam lembaga perwakilan yang bertujuan menguatkan demokrasi Indonesia. DPD RI merupakan lembaga yang mewakili kepentingan daerah dan menjaga keseimbangan antara daerah satu dengan daerah lainnya, serta daerah dengan pusat. Jadi penting untuk meninjau dari berbagai macam aspek serta objektifitas sudut pandang yang kemudian dapat menjadi bahan rujukan yang akan didorong kedalam ruang konstitusional nantinya.
Perspektif kebangsaan harus dibangun oleh semua pihak, khususnya lembaga-lembaga politik yang dijamin oleh Undang-Undang kita. Kita semua harus memulai dari perspektif yang sama tentang bagaimana menguatkan kepentingan nasional kita. Dan hal ini harus menjadi kepentingan bersama. Memang ada beberapa perbedaan sistem dua kamar (bikameral) dalam praktik pemerintahan kita dengan pemerintahan yang ada di Amerika. Khususnya tentang peran dan fungsi senat dalam struktur kenegaraan disana. Jadi disinilah letak tantangannya, bahwa demokrasi tidak akan pernah final dan akan bergerak dinamis sesuai kebutuhan dari nilai-nilai yang dianut sebuah bangsa. (Singka : 2008)
Bahwa DPD RI selama ini belum diberikan porsi yang sesuai sebagai lembaga perwakilan daerah. Selama ini DPD RI hanya menjadi etalase politik. Oleh karena itu fungsi DPD RI harus dioptimalkan ke depannya. Cita-cita besar bangsa Indonesia adalah membangun parlemen yang kuat dan efektif. Karena menurutnya saat ini parlemen yang kuat dan efektif masih jauh panggang dari api.
Banyak negara-negara besar yang juga melaksanakan sistem parlemen dua kamar, tapi mereka benar-benar menjalankan secara konsisten. Kita juga punya dua kamar, tapi faktanya DPD ini belum diberikan porsi yang seharusnya. Jadi hanya menjadi semacam etalase politik semata. Itulah yang perlu dipikirkan bagaimana mengoptimalkan fungsi DPD untuk membangun sistem parlemen yang efektif. Tidak seharusnya kekuatan parlemen hanya didominasi oleh partai politik (parpol) saja. Tapi harus diimbangi dengan kekuatan-kekuatan lain yang menjadi penyeimbang dalam menentukan arah kebijakan negara, misalnya DPD RI yang merupakan perwakilan dari wilayah atau teritorial. Sedangkan DPR sendiri sebagai kumpulan fraksi-fraksi yang notabene adalah mewakili Parpol, karena jika terlalu kuat maka akhirnya yang muncul adalah oligarki.
Saat kita melakukan amandemen ke 3 terhadap UUD 1945 , ketika itu sebenarnya kita sudah memilih sistem bikameral, maka harusnya dijalankan dengan memaksimalkan peran DPD RI untuk mengatasi kesenjangan di daerah. Namun, masih menurut, faktanya, praktik bikameral di Indonesia masih sangat lemah untuk memenuhi hasrat demokrasi. Bahwa Sistem Bikameral di Indonesia mulanya bertujuan memperkuat kedudukan pemerintahan daerah dan/atau rakyat di daerah dalam proses legislasi di tingkat pusat. Sistem ini bertujuan melindungi daerah yang penduduknya sedikit dari dominasi daerah yang berpenduduk banyak (Gaffar, 2004).
Masalahnya dalam praktik, terjadi semacam subordinasi yang dilakukan oleh DPR terhadap DPD, sehingga eksistensi dan kewenangan DPD yang diamanatkan oleh konstitusi seakan-akan tidak dianggap. Implikasi dari minimnya kewenangan DPD tersebut bukan hanya berpengaruh pada tumpulnya power anggota DPD, tapi juga terhadap institusi DPD itu sendiri. Betul apa yang dikatakan pak Mahyudin tadi, akhirnya DPD cuma jadi etalase politik bahwa seakan-akan kita sudah melaksanakan sistem bikameral yang punya mekanisme check and balances, padahal tidak. (bersambung )

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru