Oleh :
Taufik Maulana
Pranata Humas Ahli Muda pada Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur
Informasi Resmi atau Opini Partisan (2 – Habis)
Dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis, fungsi Humas Pemerintah tidak sekadar sebagai penyampai informasi, melainkan juga sebagai penghubung antara negara dan rakyat. Sayangnya, di Indonesia, peran Humas Pemerintah sering kali berada dalam posisi reaktif, sekadar menanggapi kontroversi alih-alih menjadi aktor proaktif dalam mengelola komunikasi publik. Di tengah dominasi opini Buzzer di media sosial, saatnya peran Humas Pemerintah diperkuat, baik dari sisi institusional maupun profesional.
Pertama, penguatan kelembagaan Humas Pemerintah perlu menjadi prioritas. Banyak institusi pemerintah, terutama di tingkat daerah, masih menganggap Humas sebagai pelengkap seremonial. Padahal, dalam konteks demokrasi digital, Humas harus menjadi garda depan dalam menyampaikan narasi kebijakan, menjelaskan data, dan membangun kepercayaan publik. Kebutuhan ini mengharuskan reformasi struktur organisasi, peningkatan anggaran, dan dukungan lintas-sektor agar Humas dapat bekerja secara strategis, bukan sekadar administratif.
Kedua, peningkatan profesionalisme sumber daya manusia dalam Humas harus menjadi agenda serius. Pengelola komunikasi publik tidak bisa lagi hanya mengandalkan keterampilan konvensional seperti menulis siaran pers atau mengatur konferensi pers. Dibutuhkan kemampuan literasi digital, analisis data, strategi komunikasi krisis, dan pemahaman mendalam tentang etika informasi. Untuk itu, pelatihan berkelanjutan, sertifikasi profesi, serta kemitraan dengan akademisi dan praktisi komunikasi perlu diperluas.
Ketiga, pemanfaatan teknologi dan media sosial harus dikelola secara etis dan strategis. Humas Pemerintah dapat memanfaatkan platform digital untuk menjangkau publik secara luas, tetapi tetap dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas. Alih-alih menggunakan Buzzer anonim yang rawan penyalahgunaan, Humas Pemerintah bisa mengembangkan kanal resmi yang dikelola secara profesional, dengan gaya komunikasi yang lebih responsif, humanis, dan berbasis data.
Akhirnya, memperkuat Humas Pemerintah bukan sekadar soal meningkatkan citra Pemerintah. Lebih dari itu, ini adalah soal menjaga ruang publik yang sehat, mencegah disinformasi, dan memastikan bahwa negara hadir sebagai entitas yang dapat dipercaya dan diajak berdialog oleh warganya. Jika Humas diberdayakan, maka Pemerintah tak perlu lagi bergantung pada suara-suara anonim yang tak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Pemerintah harus kembali menempatkan Humas sebagai ujung tombak komunikasi publik. Humas yang profesional, transparan, dan responsif akan lebih dipercaya publik daripada narasi partisan Buzzer. Untuk itu, perlu langkah-langkah konkret:
1.Penguatan SDM dan anggaran Kehumasan; Penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan anggaran kehumasan adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa fungsi komunikasi publik dalam lembaga pemerintahan berjalan secara profesional, efektif, dan etis. Dalam konteks ini, penguatan SDM bukan hanya berarti menambah jumlah personel, tetapi lebih penting lagi: meningkatkan kualitas kompetensi aparatur kehumasan melalui pelatihan yang berkelanjutan, sertifikasi profesi, serta pembekalan keterampilan digital dan literasi media. Di sisi lain, penguatan anggaran kehumasan berarti memberikan alokasi dana yang memadai dan proporsional terhadap peran strategis Humas dalam mengelola persepsi publik, merespons isu, dan menyampaikan kebijakan negara secara transparan. Sayangnya, selama ini anggaran untuk kehumasan sering kali dianggap sebagai biaya tambahan, bukan investasi komunikasi strategis. Hal ini berdampak pada minimnya kualitas konten informasi, rendahnya jangkauan pesan, serta lemahnya kesiapan humas dalam menghadapi gelombang disinformasi di era digital. Dengan memperkuat SDM dan anggaran kehumasan, pemerintah tidak hanya membekali diri dengan instrumen komunikasi yang tangguh, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk hadir secara terbuka di hadapan rakyatnya. Komunikasi publik bukan sekadar pelengkap birokrasi saja, melainkan fondasi kepercayaan dan legitimasi dalam tata kelola negara demokratis.
2.Respons cepat berbasis data; Di era keterbukaan informasi dan kecepatan arus digital, humas pemerintah tidak lagi cukup hanya menjadi penyampai pesan pasif. Mereka dituntut hadir sebagai pengelola isu yang tanggap, responsif, dan berbasis data. Respons cepat berbasis data artinya setiap pernyataan, klarifikasi, dan informasi yang disampaikan kepada publik harus mengacu pada fakta yang valid, statistik yang akurat, dan sumber yang dapat diverifikasi. Ini penting untuk mencegah berkembangnya disinformasi, misinformasi, maupun framing yang menyesatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kunci utama dalam respons cepat adalah kesiapan sistem monitoring isu dan manajemen data yang terintegrasi. Humas yang profesional harus memiliki akses langsung terhadap data primer dan informasi lintas instansi, serta mampu menerjemahkan data tersebut ke dalam narasi publik yang jelas, ringkas, dan mudah dipahami. Misalnya, ketika terjadi bencana alam, polemik kebijakan, atau keluhan publik yang viral, humas pemerintah harus segera merespons dalam hitungan jam bukan hari dengan membawa bukti dan kejelasan, bukan sekadar opini atau janji. Lebih dari sekadar teknis kecepatan, respons cepat berbasis data juga mencerminkan etika komunikasi publik: bahwa pemerintah berbicara berdasarkan kebenaran dan bertanggung jawab atas setiap pernyataannya. Ini adalah fondasi utama dalam membangun kembali kepercayaan publik yang hari ini kerap tergerus oleh narasi-narasi liar dari aktor non-resmi seperti buzzer. Dalam konteks itu, humas bukan hanya corong informasi, tetapi juga benteng kepercayaan dan akal sehat publik.
3.Kolaborasi dengan media arus utama dan komunitas digital; Kolaborasi ini bukan berarti melepas tanggung jawab komunikasi kepada pihak luar, tetapi justru memperluas kanal informasi yang dapat dipercaya. Dengan merangkul media dan komunitas digital sebagai mitra, Humas Pemerintah dapat membangun ekosistem komunikasi publik yang inklusif, partisipatif, dan tahan terhadap disinformasi. Karena di era keterbukaan, komunikasi satu arah tak lagi cukup, yang dibutuhkan adalah dialog yang berbasis data, nilai, dan rasa saling percaya.
4.Penegakan etika komunikasi digital; Penegakan etika ini tidak cukup hanya melalui kesadaran individu, tetapi perlu dibingkai dalam regulasi internal, kode etik kelembagaan, dan evaluasi berkala. Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki pedoman komunikasi digital yang jelas dan tegas, termasuk mekanisme pengawasan terhadap perilaku komunikasi para pejabat dan staf kehumasan di ruang daring. Selain itu, perlu dibangun kapasitas kritis dalam tubuh humas sendiri agar tidak terjebak pada tekanan politis untuk “membela” tanpa berpikir, atau menutupi kegagalan kebijakan dengan narasi positif palsu.
Pilih Jalur Etis dan Transparan
Kepercayaan publik adalah modal utama pemerintahan yang efektif. Mengandalkan Buzzer untuk membentuk persepsi hanya akan menimbulkan keraguan, perpecahan, dan delegitimasi. Pemerintah seharusnya memperkuat humas sebagai sumber informasi yang dapat diverifikasi dan bertanggung jawab. Di era disinformasi ini, transparansi dan etika bukan pilihan melainkan keharusan.
Penutup: Ketika Peran abu-abu antara Buzzer dan Humas Pemerintah
Pertanyaan “Apakah Humas Pemerintah telah menjadi Buzzer, atau Buzzer justru menjelma menjadi Humas Pemerintah?” bukanlah sekadar provokasi retoris. Ia mencerminkan kekacauan etik, peran, dan tanggung jawab dalam lanskap komunikasi publik kita hari ini. Ketika batas antara komunikasi resmi dan propaganda partisan mengabur, publik tidak lagi bisa membedakan: mana informasi negara, mana opini pesanan.
Inilah saatnya kita menegaskan kembali bahwa Humas Pemerintah adalah perpanjangan tangan institusi Negara bukan corong kekuasaan, apalagi operator opini politik. Humas bekerja berdasarkan mandat publik, bukan loyalitas sempit. Sebaliknya, bila negara justru menyerahkan fungsi komunikasi publik kepada Buzzer yang anonim, partisan, dan tak terikat etika, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi Pemerintah, tetapi legitimasi negara di mata rakyatnya.
Di era informasi yang serba cepat dan cair ini, kredibilitas tidak dibangun dengan kehebohan, tetapi dengan konsistensi dan kejujuran. Maka jika Pemerintah ingin dipercaya, Humas Pemerintah harus kembali ke posisinya: sebagai juru bicara yang bertanggung jawab, bukan perpanjangan algoritma yang tak berpijak pada kebenaran.
Karena pada akhirnya, yang bikin Pemerintah kredibel bukan trending topic, tapi cara ia menjawab kritik. Bukan lewat noise, tapi lewat cara dan strategi komunikasi yang masuk akal. (habis)
———— *** —————


