Oleh :
Akhmad Faishal
Penulis adalah pengelola perpustakaan di SMAN 15 Surabaya.
Berdasarkan informasi dari The Economist Intelligence Unit (EIU) nilai indeks demokrasi negara kita melorot drastis pada tahun 2024. Poinnya sebesar 6,44. Dan itu membuat posisi kita sekarang berada di ranking 59 secara global.
Status demokrasi kita pun tidak berubah. Tetap berada di demokrasi yang cacat atau terbatas (flawed democracy).
Ternyata, di lapangan kekuasaan tidak dikembalikan kepada rakyat sepenuhnya. Padahal, sebagaimana konsep dasar yang disampaikan oleh Abraham Lincoln (presiden ke-16 Amerika Serikat) bahwa demokrasi itu untuk rakyat, oleh rakyat dan dari rakyat.
Ada lima indikator yang ditetapkan oleh EIU untuk penilaiannya. Yakni, proses pemilihan umum dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik dan kebebasan sipil. Nah, dari kelima indikator itu yang mengalami penurunan drastis dan memberikan pengaruh besar atas turunnya ranking, yaitu di kebebasan sipil (5,29 poin) dan budaya politik (5 poin).
Sebagai penyebab mengapa poin budaya politik anjlok jelas datang kebijakan dinasti politik yang melibatkan Joko Widodo dan Anwar Usman. Keduanya diduga kuat saling bekerja sama untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon Wapres RI mendampingi capres Prabowo Subianto. Kejadian pada tahun 2023 itu mempengaruhi jalannya takdir pemilu tahun 2024. Memang, secara aktual kompetisi capres-cawapres yang diselenggarakan berjalan cukup fair. Namun, realitanya dibalik semua yang terjadi pada masa itu tidaklah terlepas dari ‘tangan-tangan’ tak terlihat yang bermain.
Sedangkan, untuk penyebab mengapa nilai kebebasan sipil cukup rendah hal ini lebih dikarenakan masih terdapat kemampuan literasi kedua belah pihak yang minim. Baik itu dari pihak yang menyuarakan maupun dari pihak yang menerima suara itu. Suara yang disampaikan itu seringkali dalam bentuk kritik, tetapi kritik tersebut sebagian besar tidak didasari oleh bacaan buku yang cukup. Alhasil, kritik yang disampaikan itu masih mentah dan itu pun dilawan balik dengan cara yang mentah juga, seperti dalam bentuk tindakan represif oleh pihak yang merasa dirugikan.
Kita mesti memahami bahwa kritik merupakan bagian dari bentuk kebebasan sipil. Dan dalam hal ini sebagai bentuk menyuarakan pendapat. Upaya menyuarakan kritik bukanlah tindakan yang mudah dan sederhana. Kritik berbeda dengan mencemooh. Beda pula dengan mencibir atau bahkan caci-maki. Apalagi, melibatkan unsur-unsur yang merendahkan martabat sebagai manusia.
Kritik itu sebagai upaya melawan balik kebijakan bukan melalui adu pukul. Melainkan, adu pemikiran. Adu fakta. Adu teori. Dan itu hanya akan terjadi, kalau pihak-pihak yang bersangkutan banyak membaca buku. Kita seharusnya tidak seenaknya saja membicarakan atau menanggapi mengenai suatu hal tanpa ada dasar fakta atau teori yang kuat. Kita harus membaca sekaligus menganalisis apa yang terjadi berdasarkan bacaan itu. Itulah literasi.
Literasi bukanlah sekadar membaca buku. Banyak pakar yang menyampaikan perihal itu. UNESCO sendiri memberikan pengertian tentang arti literasi, yakni seperangkat ketrampilan nyata, terutama ketrampilan dalam membaca dan menulis yang terlepas dari konteks yang mana ketrampilan itu diperoleh serta siapa yang memperolehnya.
Itulah sebabnya dalam usaha membentuk budaya kritik yang baik, terutama bagi siswa-siswi, sebagai calon yang nanti akan melontarkan dan menerima kritik, perpustakaan sekolah harus terlibat lebih dalam lagi. Caranya, tentu memperkaya koleksi-koleksi yang ada di dalamnya, terutama dari unsur sastra. Mengapa?
Banyak pihak yang menyampaikan bahwasanya keuntungan membaca sastra akan membangkitkan imajinasi atas realita untuk membuat tulisan yang lebih kreatif dari sebelumnya. Sastra juga mampu merangsang kepekaan individu terhadap situasi dan kondisi yang ada. Ditambah dengan banyak membaca sastra kemampuan untuk kritis terhadap kondisi di lingkungan sekitar akan lebih tajam lagi. Termasuk, penambahan kosa kata untuk menyampaikan informasi atau dalam berkomunikasi.
Hal itu akan menjadi modal bagus untuk mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pendapat akan diadu oleh pendapat. Teori versus teori. Pihak yang menerima kritik atau suara itu juga berhak melawan dengan pendapat yang didasari oleh fakta dan analisis plus teori. Bacaan versus bacaan. Jadi, seluruh pernyataan maupun kebijakan dapat masuk akal dan dipertanggung jawabkan semuanya.
Keuntungan yang berdampak bagi perpustakaan sekolah, yakni menjadikan tempat tersebut lebih vital daripada sebelumnya. Sebagai poros utama penguatan literasi, terutama bagi mereka yang menggandrungi ilmu-ilmu sosial.
Perpustakaan sekolah juga sebagai benteng untuk meminimalisir segala bentuk represif akibat kritik-kritik yang menghantam seringkali membuat mental diri menjadi goyah. Itulah sebabnya, untuk memperkuat mental dan pemikiran, perpustakaan sekolah wajib menyediakan bacaan yang berguna sebagai rujukan referensi untuk masa depan siswa-siswi.
Apakah tidak membahagiakan mendengar suara kritis dari siswa-siswi yang menyampaikan sesuatu dengan pemikiran ilmiah serta beragam teori yang dikuasainya? Bukan sekadar menyampaikan fakta, tetapi menyampaikan sesuatu yang lebih matang daripada sekadar fakta yang ada.
Dengan demikian setidaknya perpustakaan sekolah telah menyiapkan calon pengkritik dan penerima kritik pada masa depan. Dengan mempersiapkan pada masa kini, setidaknya ada peluang demokrasi yang terbatas dan poin sebesar 6,44 persen dapat meningkat lagi. Kita tentu tidak ingin ada persekusi atau intimidasi dari pihak-pihak yang kita kritik. Kita ingin pihak yang dikritik legawa dan berbesar hati dan tetap percaya diri, karena sebagaimana umumnya kritik merupakan obat pahit yang membuat badan menjadi sehat.
Telah banyak contoh kritik yang mendapatkan intimidasi. Seperti grup band Sukatani, kasus Bima Yudho (Lampung Timur), M. Sabil Fadhilah (Jawa Barat), dan baru-baru ini kasus jurnalis CNN yang dicabut kartu pers oleh protokol istana. Semua perkara itu memang sudah selesai atau sudah lewat, tetapi tetap saja memberikan catatan noda kelam bagi demokrasi, khususnya dalam hal mencoreng kebebasan sipil dalam bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat. Lebih-lebih, mengkritik sebuah lembaga tidaklah sama dengan mengkritik pribadi terkait permasalahan pencemaran nama baik.
Demokrasi memang cenderung erat kaitannya dengan kebebasan, tetapi tetap berada dalam koridor yang diatur bersama. Dan, sekali lagi, untuk membangun budaya kritik yang baik, sekali lagi, didasarkan pada upaya mengolah fakta lantas dibalut dengan teori dari bacaan lalu disampaikan. Dengan demikian, kritik sepenuhnya terlepas dari semua bentuk cibiran, caci maki atau cemoohan. Pertanyaannya, sudahkah perpustakaan sekolah memenuhi hal-hal yang demikian itu untuk perbaikan demokrasi melalui media literasi?*
—————- *** ———————


