Oleh:
Dr Elinda Rizkasari
Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta
Setiap kali bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Pancasila, linimasa media sosial dipenuhi unggahan bendera, kutipan Bung Karno, hingga tagar #KebangkitanPancasila yang viral. Tahun ini pun demikian. Namun setelah sorak sorai digital mereda, pertanyaan klasik kembali mengemuka: apakah nilai Pancasila hanya berhenti di seremoni tahunan, atau sungguh-sungguh menjadi panduan hidup sehari – hari?
Sekolah dimana merupakan tempat generasi muda ditempa seharusnya menjadi ladang subur bagi nilai luhur tersebut. Namun di banyak ruang kelas, Pancasila kerap dipahami sebatas hafalan lima sila di papan tulis. Di luar jam pelajaran, perilaku sehari-hari tidak selalu mencerminkan semangat gotong royong, toleransi, maupun keadilan sosial. Di sinilah kita patut bertanya: apa yang luput dari pendidikan kita?
Dari Ritual ke Realitas Pendidikan Karakter
Kementerian Pendidikan telah memasukkan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dalam kurikulum Merdeka Belajar. Namun di lapangan, pengajaran kerap bersifat kognitif menekankan hafalan konsep, bukan pengalaman yang menginternalisasi nilai. Akibatnya, siswa memahami Pancasila sebagai materi ujian, bukan laku hidup.
Riset Pusat Penelitian BRIN tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 60% pelajar SMA mengaku belajar Pancasila sebatas hafalan dan sulit menghubungkan nilai itu dengan isu aktual di lingkungannya. Fenomena perundungan, ujaran kebencian di media sosial, dan rendahnya partisipasi sosial menjadi bukti jarak antara teori dan praktik nilai.
Hari Kebangkitan Pancasila tahun ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan: sudah saatnya menggeser pendekatan dari seremonial menjadi kontekstual. Pendidikan karakter tidak boleh hanya hadir di jam mata pelajaran khusus, tetapi melekat pada setiap interaksi guru-murid dan aktivitas sekolah sehari – hari.
Tantangan Baru: Polarisasi di Era Digital
Generasi Z dan Alpha tumbuh di era internet yang sarat arus informasi tanpa saringan. Polarisasi politik, ujaran kebencian berbasis SARA, dan konten ekstrem yang kerap menyusup di media sosial menjadi ancaman nyata bagi internalisasi nilai Pancasila.
Survei Katadata Insight Center (2024) menemukan bahwa sebanyak 41% remaja pernah terpapar hoaks politik atau isu intoleransi di media sosial. Ironisnya, tidak semua mampu membedakan fakta dan opini, apalagi mengkritisinya dari sudut pandang nilai Pancasila.
Sekolah tidak bisa lagi berdiam diri. Guru perlu dibekali literasi digital dan strategi pendidikan karakter berbasis konteks dunia maya. Proyek kolaboratif, diskusi lintas budaya, hingga praktik etika bermedia sosial harus diintegrasikan ke kegiatan belajar agar Pancasila terasa relevan di keseharian anak muda.
Sekolah sebagai Laboratorium Kebhinekaan
Ada secercah harapan. Di sejumlah daerah, beberapa sekolah mulai “membumikan” Pancasila dengan cara kreatif. Sebuah SMP di Yogyakarta, misalnya, menginisiasi proyek aksi sosial lintas iman yang melibatkan siswa membersihkan tempat ibadah secara bergantian. Di Surabaya, program “Teman Sebangku Berbeda” membiasakan siswa duduk berpasangan dengan teman dari latar belakang yang berbeda tiap minggu agar mereka belajar mengenal keberagaman secara alami. Sekolah lain menghidupkan kantin kejujuran dan kotak gotong royong untuk membantu siswa yang membutuhkan.
Inisiatif semacam ini terbukti lebih membekas di benak anak daripada ceramah di kelas. Mereka belajar bahwa Pancasila bukan slogan di dinding aula, melainkan perilaku yang bisa mereka praktikkan. Hari Kebangkitan Pancasila semestinya menjadi panggung berbagi praktik baik ini. Kementerian dan pemerintah daerah perlu mengapresiasi, memperluas, serta mendokumentasikan inovasi sekolah dalam menanamkan nilai Pancasila agar dapat ditiru di tempat lain.
Guru dan Orang Tua sebagai Garda Depan
Sebagus apa pun kurikulum, tanpa guru yang berperan sebagai teladan, nilai tidak akan mengakar. Guru menjadi agen yang menyalakan api Pancasila dalam hati murid melalui sikap sehari – hari yang adil, ramah perbedaan, dan menolak kekerasan verbal maupun fisik di kelas.
Begitu pula orang tua di rumah. Pendidikan karakter gagal jika pesan sekolah tidak selaras dengan pola asuh keluarga. Saat orang tua sendiri gemar menyebar ujaran kebencian di media sosial atau bersikap intoleran, sulit mengharapkan anak memegang teguh nilai Pancasila. Karena itu, penguatan peran orang tua harus menjadi bagian integral program pendidikan karakter di sekolah.
Reformasi Kurikulum yang Lebih Hidup
Pendidikan Pancasila tidak cukup berhenti sebagai mata pelajaran wajib. Ia perlu menjiwai seluruh kebijakan sekolah, mulai dari cara mengelola OSIS, sistem penilaian sikap, hingga tata kelola ekstrakurikuler.
Pemerintah dapat mendorong pembelajaran berbasis proyek yang menggabungkan isu sosial nyata dengan capaian pembelajaran. Misalnya, proyek pengelolaan sampah sekolah yang menumbuhkan rasa gotong royong sebagai wujud sila kelima; forum mediasi konflik antarkelompok siswa untuk menghidupkan sila kedua dan ketiga; atau diskusi kelas tentang hoaks politik dengan pendekatan etika Pancasila sebagai implementasi sila keempat.
Kurikulum yang hidup membuat siswa merasakan langsung bahwa setiap sila punya makna praktis dan relevan dengan kehidupan mereka.
Pancasila sebagai Kompas Moral Generasi Digital
Tantangan ke depan tidak ringan. Revolusi teknologi, kecerdasan buatan, dan ledakan informasi akan menguji fondasi moral bangsa. Tanpa kompas nilai, generasi muda mudah terseret arus konten yang menormalisasi kekerasan, ujaran kebencian, hingga diskriminasi.
Membumikan Pancasila berarti menjadikannya kompas moral di tengah badai informasi. Pendidikan kita perlu menyiapkan anak didik tidak hanya pintar berhitung dan berlogika, tetapi juga memiliki karakter yang memuliakan keberagaman, menegakkan keadilan, dan menghargai martabat manusia.
Momentum Hari Kebangkitan Pancasila harus dimanfaatkan untuk memperkuat kebijakan, menginspirasi sekolah, dan menyadarkan publik bahwa pendidikan karakter adalah benteng utama keutuhan bangsa.
Dari Kata ke Aksi Nyata
Bangsa Indonesia tidak kekurangan pidato tentang pentingnya Pancasila. Yang kita perlukan adalah konsistensi mewujudkannya dalam praktik pendidikan. Sekolah tidak boleh berhenti menjadi menara gading pengetahuan akademik, melainkan harus menjelma menjadi taman kebajikan yang menumbuhkan gotong royong, toleransi, dan cinta tanah air.
Jika setiap guru, orang tua, dan pemimpin sekolah mengambil bagian, maka peringatan Hari Kebangkitan Pancasila tidak lagi sekadar ritual tahunan yang viral sehari, melainkan menjadi titik balik kebangkitan karakter bangsa.
–———- *** ————


