Presiden Prabowo subianto, meng-gebrak podium, saat meng-ingatkan pengusaha serakah, yang melakukan manipulasi, dan penimbunan bahan pangan. Pemerintah tidak akan ragu menindak tegas pelaku pelanggar aturan, dan mempersulit kehidupan rakyat. Seluruh kecurangan, termasuk menahan distribusi bahan pangan pasti ditindak. Tak terkecuali perusahaan besar. Karena pemerintah wajib melindungi rakyat konsumen, terutama ketersediaan bahan pangan.
Serakah-nomics, masih sering terjadi. Antara lain disebabkan aparat pemerintah jarang melakukan inspeksi. Selama beberapa tahun jaringan mafia pangan telah memalsukan kualitas beras dalam kemasan (premium dan medium). Juga mengurangi takaran. Sebanyak 212 merek beras oplosan beredar di 10 propinsi. Termasuk di Jawa Barat, dan Jawa Tengah, sebagai salahsatu penghasil beras kedua di bawah Jawa Timur. Kerugian rakyat (konsumen) ditanksir mencapai Rp 99,35 trilyun.
Ironisnya, beras oplosan yang disigi Satgas Pangan, melibatkan perusahaan besar beras dalam kemasan, yang selama ini menguasai tata niaga beras. Sebanyak 212 merek dari 268 (79%) memalsukan mutu, takaran, dan harga yang tidak sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi). Tidak terkecuali yang diproduksi BUMD milik Pemprop DKI Jakarta, turut meng-oplos beras. Selama bertahun-tahun pemerintah tidak pernah melaksanakan pengawasan mutu dalam tata niaga beras.
Maret (tahun 2025) lalu pasar kebutuhan dapur dikejutkan dengan “razia” minyak goreng (migor). Hampir seluruh migor kemasan tidak sesuai timbangan berat. Termasuk yang diproduksi oleh perusahaan besar. Kemasan 1 liter, tetapi berisi 850 mili-liter (ml). HET (Harga Eceran Tertinggi) juga dinaikkan. Mutu beras memiliki dasar peraturan yang wajib dipatuhi produsen beras, dan produsen migor.
Termasuk mengikuti aturan SNI (Standar Nasional Indonesia) beras seri 6128:2015. Juga masih terdapat Peraturan Badan Pangan Nasional Tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Serta terdapat Peraturan Menteri Pertanian Tentang Kelas Mutu Beras. Serta BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), rutin melakukan pengawasan. Tetapi kecurangan takaran, dan mutu selalu lolos dari razia. Karena tugas dan fungsi BPOM bekerja di “hilir,” tidak me-razia takaran, dan ke-asli-an produk.
Realitanya, seluruh peraturan diterabas produsen beras. Begitu pula mutu migor sawit wajib sesuai SNI 7709:2019. Di dalamnya terdapat batas kadar air, bilangan asam, dan bilangan per-oksida. Serta kandungan, asam lemak bebas, cemaran logam, arsen, dan vitamin A. Tetapi tidak pernah disidik aparat pengawasan perdagangan. Maka Presiden Prabowo, juga wajib memastikan setiap pejabat pengawasan telah berbuat sesuai tugas dan fungsi.
Pemberantasan kecurangan mutu dan takaran bahan pangan pokok, tidak bisa hanya sebagai “omon-omon,” bagai orasi janji manis. Karena menjadi mandatory (kewajiban undang-undang). Tercantum UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Terutama amanat pasal 25 ayat (1), menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.”
Terdapat frasa kata “mutu yang baik dan harga yang terjangkau” yang wajib direalisasi pemerintah. Masih terdapat pula mandatory UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Pada pasal 13, dinyatakan, “Pemerintah berkewajiban mengelola stabilitas pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat.”
Di dalam kemasan beras, dan migor, selalu dituliskan takaran, dan mutu, sebagai “janji” kepada konsumen. Sehingga unsur “men-janji-kan” bisa diarahkan pada Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan hukuman pidana lebih berat.
——— 000 ———


