Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Korupsi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Penulis buku : Korupsi, Demokrasi, dan Keadilan (2021)
Meskipun sudah dilakukan upaya-upaya promotif, preventif, kuratif dan represif, kasus-kasus korupsi di Indonesia bukannya semakin menyusut, melainkan justru semakin membengkak. Kerugian negara sudah tidak lagi pada angka ratusan milyar, tetapi ratusan triliun Hampir tiap pekan atau bulan muncul kasus korupsi baru, baik di pusat maupun di daerah. Begitu banyaknya kasus korupsi dengan berbagai modus, menjadikan Indonesia berada dalam kodisi darurat korupsi
Saat ini, negeri yang sudah merdeka 80 tahun ini, belum juga terbebas dari kasus-kasus korupsi. Negeri dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah ini, saat ini masih didera oleh kasus-kasus korupsi akibat keserakahan para elit pemangku kekuasaan. Berbagai kasus korupsi terjadi di negeri ini, baik pada level pusat, maupun daerah, baik melibatkan pejabat pusat, maupun pejabat daerah. Korupsi sudah menggurita mulai Sabang sampai Merauke. Mengguritanya korupsi, Buya Safi’i Ma’arif pernah mengatakan; “korupsi sudah sedemikian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai ke kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet”.
Liga Korupsi Indonesia
Laiknya sebuah kompetisi Sepak Bola Liga 1, Istilah Klasmeen Liga Korupsi Indonesia belakangan ini ramai di media sosial terutama di paltform X dan Instagram. Ini adalah ungkanpan satir yang menohok dari para netizen +62 yang melihat gilanya praktik megakorupsi di Indonesia dengan kerugian keuangan negara ratusan triliun. Istilah ini muncul setelah terbongkarnya kasus megakorupsi di Pertamina Patraniga yang melibatkan para Pejabat Pertamina Patraniaga. Saat ini, pihak Kejagung telah menetapkan setidaknya sembilan orang tersangka.
Saat ini klasmen Liga Korupsi Indonesia berisi peringkat kasus korupsi yang pernah terjadi di Indonesia dengan kerugian negara yang super besar. Dalam sejarah Indonesia, setidaknya ada 11 kasus mega korupsi di Indonesia yang berpotensi masuk Liga Korupsi Indoensia. Sebelas kasus megakorupsi dimaksudnya adalah (1) Korupsi oplosan BBM Pertamina Patra Niaga dengan kerugian keuangan negara sebesar 968,5 triliun, disusul kasus (2) korupsi timah sebesar Rp 300 triliun, (3) kasus BLBI Rp 138 triliun, (4) Duta Palma Rp 78 triliun, (5) PT. TPPI Rp 37 triliun, (6) ASABRI Rp 22 Triliun, (7) Jiwasraya Rp 17 triliun, (8) Sawit CPO Rp 12 triliun, (9) Garuda Indonesia Rp 9 triliun, (10) BTS Kominfo Rp Triliun dan kasus (1) Bank Century Rp 7 triliun. Faktanya, dalam penegakan hukumnya, kasus-kasus megakorupsi ini tidak selesai sampai tuntas. Hanya sebagian kecil pelakunya yang masuk penjara.
Mengapa kasus-kasus mega korupsi tersebut dapat berjalan mulus dalam rentang waktu tahunan? Patut diduga ada kekuatan besar yang mem-backup-nya. Dalam beberapa literatur dan praktik megakorupsi yang terjadi di berbagai negara, kerapkali melibatkan orang-orang besar yang memiliki jejaring kekuasaan.
Hambatan Struktural-Kekuasaan
Kasus-kasus korupsi besar dengan nilai kerugian yang sangat besar tersebut, belum terselesiakan dengan tuntas sampai akar-akarnya?. Selama ini, kasus-kaasus tersebut baru menjerat beberapa orang saja menjadi tersangka. Sementara “jejaring korupsi” yang terkait belum tersentuh. Tak tersentuhnya jejaring korupsi tak lepas dari jejaring kekausaan yang ada. Dalam beberapa kasus korupsi besar, ada dugaan keterlibatan orang-orang besar dan menduduki jabatan penting negeri ini, tapi tak tersentuh (untouchble). Kondisi ini yang selama ini menjadi hambatan psikologis dan politis bagi apaarat penegak hukum untuk membongkar secara tuntas skandal big corruption ini. Berbagai kasus korupsi besar yang muncul memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat struktural, sistemik, dan massif. Kasus-kasus korupsi besar mesti melibatkan tiga aktor utama, yakni penguasa (birokrasi), politisi, dan pengusaha..
Korupsi struktural bagaikan korupsi “Laba-Laba”, melibatkan jejaring yang cukup rumit. Tipe korupsi yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh. Secara teoritis korupsi struktural memiliki hukum kekuasaan sendiri sehingga sulit untuk diurai menggunakan hukum positif konvensional. Menurur Star dan Collier (1985:3), dalam pandangan paradigma hukum kritikal, hukum tidak dipandang sebagai sesuatu yang netral, tetapi merupakan “sesuatu” yang diciptakan oleh suatu badan hukum dengan tujuan memberi keuntungan kepada sekelompok orang di atas kerugian sekelompok orang yang lain. Hukum bagi pendekatan kritik sebagai cara untuk mendefinisikan dan menegakkan tertib yang menguntungkan kelompok tertentu di atas pengorbanan kelompok lain. Sementara dalam pandangan Wallace dan Wolf (1980:99), hukum tidak dipandang sebagai norma yang berasal dari konsensus sosial, tetapi ditentukan dan dijalankan oleh kekuasaan, dan substansi hukum dijelaskan dari kacamata kepentingan mereka yang berkuasa.
Sementara dalam perspektif teori Marx, bahwa negara pada hakekatnya merupakan negara kelas, artinya negara dikuasai secara langsung atau tidak langsung oleh kelas-kelas yang menguasai bidang ekonomi dan politik. Karena itu menurut Marx, negara bukanlah lembaga tanpa pamrih, melainkan merupakan alat dalam tangan kelas-kelas atas berkuasa untuk mengamankan kekuasaan mereka. Wajah negara seperti itu sangat kapitalis, ia berusaha menjamin dan melindungi kepentingan dan kebutuhan politik dan ekonomi elit kekuasaan, pada saat yang sama negara menindas kepentingan masyarakat kecil atau lemah. Negara dalam pandangannya Marx selalu berpihak dan mengangkat pada kelas berkuasa, dan menekan kelas bawah atau masyarakat. Negara dianggap institusi yang memiliki keabsahan secara moral dan hukum untuk berbuat apa saja, demi untuk menjamin dan melindungi kebutuhan dan kepentingan kekuasaannya (Suseno, 2003:120).
Ujian Aparat Penegak Hukum
Bagi negara kekuasaan, penyimpangan dan pelanggaran oleh kelas elit kekuasaan dianggap sesuatu yang biasa karena menilai dirinya yang memiliki otoritas kekuasaan. Hukum adakah kekuasaan dan kekuasaan adalah hukum itu sendiri. Ini yang menurut Marx sebagai wajah original kekuasaan negara yang sangat kapitalistik. Hukum merupakan pencerminan kepentingan kelas yang berkuasa (Sunarto, 1993:82). Hukum dimanfaatkan sebagai instrument bagi kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaannya (Wignjosoebroto, 2002: 23). Hukum adalah representasi dari kepentingan elit yang berkuasa. berdasarkan fakta-fakta di persidangan, ada indikasi mengarah pada keterlibatan orang-raong di lingkungan istana kekuasaan.
Karena itu, dalam konteks kasus korupsi struktural ini (baca: mega korupsi), ini akan menjadi ujian dan pertaruhan bagi aparat penegak hukum, baik Kejaksaan Agung, KPK, dan kepolisian, terutama dalam kasus Pertamina Patraniaga adalah Kejaksaan Agung. Apakah Kejaksaan Agung berani dan profesional dalam menegakkan hukum tanpa tebang pilih atau terjebak dan menjebakkan diri dalam pertarungan kepentingan politik?
————- *** —————–


