Mas Kiai Surosentono atau Mbah Suro.
Bung Karno dan Jombang (bagian 1)
Jombang, Bhirawa
Jika menelisik tentang sejarah hubungan antara Presiden pertama Republik Indonesia (RI), Ir Soekarno dengan Kabupaten Jombang, tentu tak lepas dengan kecamatan yang dinamakan Ploso di Kabupaten Jombang. Kecamatan ini terletak di utara Sungai Brantas, di jalur Jombang – Babat.
Nama Ploso memang menjadi bagian dari kehidupan Sang Proklamator. Soekarno dengan nama kecil Raden Koesno Sosrodihardjo dilahirkan di Rejoagung (dulu Ngelo), Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang. Ini setelah ditemukan dua dokumen penting yakni dokumen beselit kepindahan ayah Soekarno, Raden Soekeni Sosrodihardjo pada tanggal 28 Desember 1901 ke Ploso yang kala itu menjadi bagian dari Karesidenan Surabaia (Surabaya). Dokumen kedua yakni, dokumen tulisan tangan Raden Soekeni Sosrodihardjo yang menyatakan Raden Soekarno/Ir Soekarno lahir pada 6 Juni 1902.
Maka dapat disimpulkan dari dua dokumen di atas, Bung Karno dilahirkan di Ploso pada tanggal 6 Juni 1902. Kedua dokumen itu dicantumkan pada buku berjudul Ida Ayu Nyoman Rai Ibu Bangsa yang ditulis oleh Doktor Nurinwa Ki. S Hendrowinoto dan 7 profesor yang terbit pada tahun 2012.
Selain itu, juga diperkuat dengan dokumen pendaftaran sekolah Bung Karno di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang pada masa kolonial Belanda bernama de Techniche Hoogeschool te Bandung. Pada dokumen di sekolah itu dituliskan jika Bung Karno lahir 6 Juni 1902.
Kembali kepada sosok Mbah Suro. Pemilik nama Mas Kiai Surosentono ini adalah orang yang memiliki ‘linuwih’ (kesaktian). Dia berasal dari Soca yang pada tahun 40-an bagian dari Onderdistrik Kabuh dan Distrik Ploso. Saat ini, wilayah itu masuk pada Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang.
Dari cerita tutur keluarga Situs Persada Soekarno nDalem Pojok Wates Kediri bahkan disebutkan, Mbah Suro atau Kek Suro inilah yang memegang bayi Soekarno saat dilahirkan.
“Jadi cerita yang beredar di keluarga, yang memegang bayi Koesno saat lahir adalah Mbah Suro. Dan yang mengubur ari-arinya adalah Sumo Jani,” kata Pembina Situs Persada Soekarno Wates Kediri sekaligus kerabat Bung Karno, Kuswartono, Minggu (23/06).
Perihal ari-ari ini, salah seorang warga Rejoagung yang menerima cerita dari bapaknya juga menuturkan jika ari-ari Bung Karno ditaman di depan kanan sebuah rumah di Gang Buntu di desa setempat.
Selain Mbah Suro atau Kek Suro, nama sejawat Bung Karno yang juga disebut di kalangan keluarga yakni nama Raden Djamilun. Sosok ini kemudian diketahui adalah saudara tiri Bupati Jombang pertama, R. A. A Soeroadiningrat atau Kanjeng Sepuh.
Kanjeng Sepuh menjabat sebagai Bupati Jombang mulai tahun 1910 setelah pelantikan dirinya sering berdirinya Kabupaten Jombang. Mbah Suro juga merupakan sahabat dari Raden Djamilun.
Singkat cerita, setelah kemerdekaan, Bung Karno kemudian menjadi Presiden Indonesia. Melihat situasi yang masih terjadi agresi Belanda, Bung Karno pun merasa membutuhkan jasa seorang yang bisa memberikan informasi secara ‘up date’ melalui kesaktiannya.
Nama Mbah Suro akhirnya direkomendasikan oleh keluarga untuk menjadi penasehat spiritual Bung Karno. Diriwayatkan, Mbah Suro mau dibawa ke istana Yogyakarta jika dijemput langsung oleh Bung Karno ke Jombang.
Bung Karno pun menjemput Mbah Suro di salah satu rumahnya yang berada di Jalan Juanda di Kota Jombang. Mbah Suro lantas resmi menjadi penasehat spiritual Presiden Soekarno dan tinggal di dalam istana presiden di Yogyakarta.
Salah satu kesaktian Mbah Suro yang berguna bagi Bung Karno yakni ketika terjadi perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda. Saat itu Bung Karno tidak ikut dalam perundingan. Lewat kesaktian Mbah Suro, Bung Karno dapat mengetahui pembicaraan dalam forum perundingan secara ‘live’ lewat telapak tangan Mbah Suro yang ditempelkan ke telinganya.
“Dengan satu telapak tangan ke udara dan telapak tangan yang satunya ditempelkan ke telinga Bung Karno, isi pembicaraan perundingan bisa diketahui langsung,” ucap Kuswartono menirukan cerita tutur di keluarganya.
Informasi bahwa Mbah Suro merupakan orang Kabuh Jombang juga dikuatkan oleh Budayawan Jombang, Sulisyono Imam Jayaharja.
Sulisyono yang juga warga Kabuh itu bahkan mengatakan bahwa antara Mbah Suro, Raden Djamilun maupun para tokoh lainnya merupakan orang-orang yang tergabung dalam komunitas para tokoh Ploso – Kabuh.
“Kalau Mbah Suro dulu (tinggal) di Soca. Sekarang (desa) Pengampon. Kakeknya dimakamkan di situ, Kiai Mas Ngalimin. Orang sana menyebutnya Den Bagus Sentono yang merupakan anak dari Mbah Ngalimin. Den Bagus Sentono punya anak, Mbah Suro,” tutur Sulisyono. [rif.iib]