Tren “tutup usaha” penerbitan pers masih terus menghantui pekerja media. Tetapi media mainstream wajib tetap (dan bisa) bekerja profesional pada era paket data digital. Walau setiap orang bisa menjadi “jurnalis” pada media sosial, menyampaikan informasi. Bagai tak kalah dengan wartawan koran, dan laporan langsung jurnalis televisi. Bahkan media berbasis elektronika juga tak mampu bersaing menghadapi kemajuan teknologi informasi. Seluruh media mainstream (cetak, dan elektronik) yang ber-biaya besar, dalam masa kritis.
Terancam tutup cetak, berhenti operasional, dan tidak siaran telah menjadi tren sejak lebih satu dekade silam. Walau masih banyak wartawan kukuh bekerja sebagai “jurnalisme perjuangan.” Terus maju menulis walau tanpa garansi kesejahteraan. Usaha media pers mainstream Indonesia saat ini dalam keadaan “tidak baik-baik saja.” Era digital telah mengubah model pemberitaan global, menjadi lebih cepat, lebih luas, dan gratis.
Berdasar sigi PricewaterhouseCoopers (PwC, jaringan jasa konsultan bisnis profesional multinasional) diperkirakan telah terjadi penyusutan pertumbuhan koran. Dalam laporan bertajuk “Perspective from the Global Entertaiment and Media Outlook 2017,” disebut, laju global pertumbuhan koran dalam lima tahun ke depan, adalah minus 8,3%. Laporan yang dimuat KOMPAS.com, menyebut media main stream lainnya (majalah, radio, televisi, dan buku) juga mengalami pertumbuhan minus, antara 3,5% hingga 6%.
Sebaliknya, PwC memprediksi media berbasis internet tumbuh positif antara 0,5% sampai 5%. Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN 2017) di Ambon, dilansir data tren penurunan selang empat tahun, tersisa 850 penerbitan, dengan tiras 17 juta eksemplar. Ditandai dengan berhenti cetak koran dari kalangan holding media besar seperti Koran HAI (kelompok KOMPAS grup). Sebelumnya, koran sore nasional, Sinar Harapan, tutup pada awal 2016. Sedangkan koran Sindo (kelompok televisi paling terkemuka) coba terbit lagi, namun tutup lagi pada April 2023.
Berdasarkan data Serikat Perusahaan Pers (SPS), masih ada 593 media cetak yang terdaftar pada 2021, tetapi tersisa 399 media pada 2022. Selama lima tahun terakhir beberapa penerbitan nasional terkemuka juga tutup. Antara lain harian Republika (sejak akhir 2022 beralih ke digital), koran Tempo (beralih ke digital sejak akhir 2020). Juga koran Indopos (di Jakarta, kelompok Jawa Pos, tutup Desember 2020).
Sebagian media mainstream beralih coba menyesuaikan diri, muncul pada platform digital. Tetapi tidak mudah, karena harus bersaing lebih ketat dengan netizen yang mengirim berita dari berbagai wilayah, dan setiap saat. Serta netizen yang tergolong ahli (professor). “Liputannya” tak kalah seru. Melalui media sosial (medsos) setiap orang bisa menjadi “wartawan,” bebas menulis yang di-ingin-kan. Walau melabrak kaidah jurnalisme. Termasuk berita yang menista, memancing kegaduhan sosial.
Usaha pers yang memiliki fungsi strategis berdasar UU 40 Tahun 1999, namun berkinerja tanpa perlindungan. Samar-samar terdapat klausul perlindungan usaha pers, tercantum dalam pasal 15 ayat ayat (2) huruf b. Dinyatakan, “melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.” Namun belum pernah terdapat seorang presiden RI menggagas perlindungan usaha pers. Termasuk pidato presiden pada HPN tahun 2020, menyatakan, Pers dan kinerja jurnalisme yang baik dan sehat harus diproteksi, dilindungi. Namun tidak disertai aksi nyata.
Memperingatui Hari Pers Nasional tahun 2025, mengangkat tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa.” Seolah menegaskan peran strategis pers dalam mendukung ketahanan pangan sebagai aspek fundamental kesejahteraan nasional. Namun perlindungan usaha pers masih patut diupayakan. Terutama berkait literasi pers sebagai fungsi kontrol sosial (dan pemerintahan).
——— 000 ———