Oleh :
Muhammad Ali Murtadlo
Dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo
Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden, Prabowo Subianto menekankan komitmen yang kuat untuk memberantas korupsi di Indonesia. Figur Prabowo, yang dikenal dengan keberanian dan tekadnya, mengangkat semangat pemberantasan korupsi yang baru, tetapi dengan simbol yang tidak biasa. Beredarnya gambar dan kisah kucing peliharaannya, Bobby Kertanegara, membawa simbolisme yang dalam: seekor kucing yang tidak hanya dicintai pemiliknya, tetapi kini berperan sebagai perlambang harapan Presiden untuk “membasmi tikus berdasi” di pemerintahan. Dengan kucing sebagai simbol pembasmi tikus-dan tikus berdasi sebagai simbol koruptor-Prabowo mengisyaratkan keinginan untuk memerangi korupsi secara tak kenal ampun.
Seperti kucing yang gesit, penuh kewaspadaan, dan mampu mengintai mangsanya dengan cermat, Presiden Prabowo ingin membawa semangat yang sama dalam upaya penegakan hukum terhadap korupsi. Kucing bukan hanya binatang yang suka menangkap tikus; dalam filsafat banyak kebudayaan, kucing adalah simbol ketenangan sekaligus kekuatan tersembunyi. Di sisi lain, tikus sering kali melambangkan kerusakan, perusakan, dan kerakusan. Dalam konteks ini, “tikus berdasi” mewakili para pelaku korupsi yang menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, menggerogoti anggaran negara layaknya tikus yang memakan padi di lumbung rakyat.
Dalam sistem hukum, pemberantasan korupsi memerlukan strategi yang mirip dengan pendekatan seekor kucing yang hendak menangkap tikus. Ketika tikus-tikus tersebut bersembunyi di tempat-tempat gelap atau celah-celah yang sulit dijangkau, kucing harus penuh strategi dan bersabar dalam pengintaiannya. Presiden Prabowo, dengan semangat ini, tampaknya mengusung strategi serupa, mendorong aparat penegak hukum untuk lebih waspada, cepat, dan gesit dalam mengidentifikasi koruptor. Hal ini tentu membutuhkan kekuatan hukum yang lebih tegas dan kebijakan yang tidak berkompromi dengan “tikus berdasi,” serta dukungan yang kuat dari masyarakat.
Filosofi Kucing
Semangat Prabowo ini dapat dilihat sebagai refleksi dari filsafat yang dalam tentang sifat alami kucing dalam menghadapi tikus. Kucing mengandalkan instingnya, tetapi juga taktik dan kesabarannya, serta keberanian untuk menghadapi mangsanya tanpa ragu. Filosofi ini cocok dengan pendekatan yang diperlukan dalam sistem hukum untuk memberantas korupsi. Penegak hukum harus memiliki pengetahuan mendalam, strategi yang tepat, ketelitian, dan ketegasan. Dalam pemberantasan korupsi, pendekatan ini juga membutuhkan reformasi dalam kerangka hukum agar lembaga penegak hukum, seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian, dapat lebih efektif mengejar dan menjerat para pelaku korupsi.
Namun, dalam konteks hukum dan sistem birokrasi, pemberantasan korupsi tidak hanya berbicara soal kecepatan atau taktik, tetapi juga kebersihan dan integritas lembaga hukum itu sendiri. Sistem yang sarat kepentingan dan korupsi sistemik adalah sarang bagi “tikus-tikus berdasi” yang merasa nyaman karena berada dalam struktur yang bisa mereka kendalikan atau manipulasi. Oleh karena itu, Presiden Prabowo menekankan pentingnya pembersihan internal, tidak hanya menyoroti koruptor eksternal tetapi juga siapapun yang bersekongkol di dalam lembaga pemerintahan. Kucing, sebagai simbol pembasmi tikus, juga melambangkan pentingnya kebersihan dan ketertiban di lingkungan rumah, sebagaimana penegak hukum harus memastikan tidak ada tempat aman bagi koruptor di dalam sistem.
Presiden Prabowo tampaknya juga memahami bahwa, seperti kucing yang harus menjaga lingkungannya dari tikus yang terus beranak-pinak, penegakan hukum harus selalu dinamis dan tidak boleh lengah. Koruptor akan selalu mencari celah baru, beradaptasi dengan kebijakan yang ada, dan berusaha memanfaatkan kelemahan sistem untuk keuntungan pribadi. Artinya, selain meningkatkan ketegasan hukum, perlu ada sinergi antar lembaga dan transparansi yang lebih baik, agar “tikus berdasi” tidak dapat menemukan ruang bersembunyi di birokrasi yang berlapis.
Simbol Pemberantasan Korupsi
Dalam upaya pemberantasan korupsi, simbolisme ini sekaligus menjadi sebuah peringatan kepada para penegak hukum bahwa tantangan yang mereka hadapi bukan hanya soal teknis, tetapi juga etika dan keberanian. Korupsi bukan sekadar tindak pidana yang merugikan keuangan negara; ia merusak moralitas, meruntuhkan kepercayaan masyarakat, dan mengganggu stabilitas negara. Dengan menjadikan Bobby sebagai simbol, Presiden Prabowo seakan ingin mengingatkan bahwa pembasmian korupsi harus dimulai dari hal-hal yang tampaknya sederhana, tetapi memiliki arti besar dalam pembangunan budaya kejujuran dan keadilan.
Selain itu, kucing juga dikenal memiliki ketenangan dan keheningan saat mengejar tikus, yang menggambarkan pentingnya strategi dan pendekatan cerdas dalam mengungkap kasus korupsi. Serangan yang tergesa-gesa dan tanpa strategi yang baik sering kali justru memperparah masalah, seperti operasi penangkapan yang bocor atau pengusutan kasus yang kurang bukti. Penegakan hukum yang cermat, terencana, dan berkelanjutan adalah kunci utama dalam menciptakan efek jera, dan ini menjadi aspek penting dalam janji Presiden Prabowo untuk membersihkan sistem dari korupsi.
Sebagai penutup, semangat yang diusung Presiden Prabowo dalam memerangi korupsi melalui simbol kucing kesayangannya, Bobby Kertanegara, mengandung makna filosofis yang mendalam. Kucing sebagai pembasmi tikus melambangkan ketegasan, kewaspadaan, dan keberanian dalam memberantas koruptor. Sementara itu, “tikus berdasi” adalah pengingat akan bahaya yang harus dihadapi, bukan dengan sekadar slogan atau retorika, melainkan dengan komitmen dan upaya nyata. Dalam hal ini, Presiden Prabowo tidak hanya menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda nasional, tetapi sebagai panggilan moral untuk semua elemen bangsa, demi Indonesia yang lebih bersih, adil, dan berintegritas. Semoga terwujud!
————- *** ——————