Seluruh politisi menyatakan kekecewaan, karena partisipasi masyarakat pada Pilkada serentak tahun 2024, sangat rendah. Secara nasional, angka kehadiran di TPS (Tempat Pemungutan Suara) tidak sampai 71%. Di kota-kota besar, partisipasi masyarakat makin kecil. Di seantero propinsi Jakarta, hanya 58%. Serta di Surabaya 56,18%. Ke-enggan-an masyarakat ke TPS bisa jadi sebagai pertanda ke-tidak percaya-an terhadap penyelenggaraan Pilkada 2024. Juga ke-jenuh-an politik pasca Pileg dan Pilpres.
KPU propinsi di seluruh Indonesia telah menyelesaikan rekapitulasi hasil coblosan 27 November 2024. Hasilnya, juga sudah diumumkan. Niscaya di seluruh dunia, setiap pemilu niscaya selalu terdapat pemenang. Juga masih ditambah dengan prosedur penyelesaian sengketa hasil pemilu. Sesuai amanat UUD pasal 24 ayat (1), sengketa pemilu diselesaikan melalui gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Sekaligus sebagai pengadil pemilu paling akhir.
Maka benar, MK telah menerima pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Tahun 2024. Permohonan yang masuk mempermasalahkan hasil pemilihan Gubernur, dan pemilihan bupati dan wali kota. Partisipasi politik yang rendah, bagai cuaca ekstrem pancaroba (tidak menentu). Sudah dikeluarkan ongkos politik yang sangat mahal, tetapi hasilnya tidak sesuai keinginan. Ironis, sangat banyak “amplop tidak menjadi suara.”
Pada musim pilkada (serentak), banyak bermunculan “agen suara” dengan membawa daftar suara pemilih. Personel “agen suara” biasanya memiliki kedudukan sosial cukup memadai dalam struktur masyarakat di perkampungan (desa). Misalnya, Ketua RW (Rukun Warga), Kepala Dusun, sampai Kepala Desa. Seluruhnya memiliki kapasitas sebagai “calo” dukungan masyarakat. Ironisnya, daftar nama masyarakat yang akan “dijual” memiliki validitas 90% benar.
Jumlah dukungan yang diklaim, biasanya sebanyak (paling sedikit) seratus nama penduduk. Pada tingkat “calo” agen besar bisa mencapai sepuluh ribu nama, lengkap dengan alamat. Harga setiap nama (one vote), berkisar antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Tetapi pada saat genting, mendekati coblosan pilkada, bisa seharga Rp 100 ribu per-orang. Konon pada tiap pilkada, “calo” money politics telah menjadi kelaziman.
Ke-enggan-an datang ke TPS, bisa jadi, disebabkan ke-tidak percaya-an masyarakat. Seolah-olah hasilnya sudah diketahui. Paslon yang didukung koalisi gemuk, pasti akan memenangkan Pilkada. Padahal realitanya, banyak “kejutan.” Misalnya, Pilkada Jakarta, serta Pilkada Banten. Yang semula di-unggulkan, ternyata kalah telak. Angka partisipasi pemilih Pilkada Jakarta, hanya 58%. Sedangkan Pilgub Banten memiliki angka partisipasi 66,05%.
Partisipasi Pilkada rendah di seantero Jawa Timur, ditunjukkan pada daerah dengan paslon lawan “kotak kosong.” Yakni, Kota Surabaya 56,18%, Trenggalek 62,55% pemilih, serta Kota Pasuruan 67,59% pemilih. Begitu pula Gresik 66,93% pemilih, dan Ngawi 66,96% pemilih. Partisipasi terbesar Pilkada Jawa Timur tercatat di Pamekasan, dan Sampang (Madura), serta kabupaten Mojokerto. Tim penggerak partisipasi, patut diapresiasi.
Namun Pilkada di Jawa Timur, masih menunggu penetapan MK. Saat ini sudah terdapat 15 paslon yang mengajukan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHP) Pilkada. Termasuk PHP Kada Gubernur. Uniknya, juga terdapat gugatan yang diajukan bukan oleh paslon. Yakni PHP Kada Gresik yang diajukan oleh Pemantau Pilkada. Serta PHP Kada Kota Probolinggo, yang diajukan personel Perhimpunan Pemilih Indonesia.
Berdasar data situs MK, pada lingkup nasional, terdapat permohonan PHP Kada sebanyak 257 gugatan. Meliputi 7 PHP Gubernur, serta 204 PHP Bupati, dan 46 PHP Walikota. MK, diharapkan bukan sekadar mengadili berdasar perolehan suara, bagai “Mahkamah Kalkulator.” Melainkan berwenang dan bisa menjadi pengadil mewujudkan Pemlu jurdil (jujur dan adil).
——— 000 ———