Refleksi Hari Koperasi 12 Juli 2024
Oleh :
Prof Sutawi
Kepala LPPM Universitas Muhammadiyah Malang
Pada 12 Juli 2024 Koperasi Indonesia memperingati hari jadi ke-77. Padaperingatan tahunini, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) meliris tema, “Koperasi Maju Indonesia Emas”, dengan subtema, “Memasuki Era Industrialisasi Koperasi, Menyongsong 100 Tahun Indonesia Emas”.Serupa dengan peringatan tahun-tahun sebelumnya, tema yang indah dan gagah ternyata tidak lebih dari sekedar deklarasi tanpa aksi, sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap kemajuan koperasi dan kesejahteraananggotanya. Peringatan hari koperasi hanya sebuah seremoni tahunan tanpa gerakan kemajuan.
Selama 77 tahun posisi koperasi dalam perekonomian nasional hampirtidak bergerak, bahkan cenderungmengalami kemunduran. Koperasi tetapmenjadi soko guru ekonomi paling lemahdan semakin melemah. Koperasi terus terdesak oleh kemajuan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), maupun Badan Usaha Milik Asing (BUMA). Kontribusi koperasi terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sebesar 6 persen jauh lebih rendah dibandingkan kontribusi BUMN 22persen, dan BUMS 72 persen. Kondisi ini jauh berbeda dibandingkan koperasi di beberapa negara maju, di mana kontribusi koperasi terhadap PDB sudah lebih dari 10 persen, seperti Finlandia 16,1 persen, Selandia Baru 13,9 persen, Swiss 11 persen, dan Belanda 10,2 persen.
Dari sisi ekonomi, koperasi tidak bisa diharapkan sebagai penopang kesejahteraan anggota. Pada tahun 2021, sebanyak 127.846unit koperasi hanya membukukan Sisa Hasil Usaha (SHU) sebanyak Rp7,179 triliun atau Rp56,155 juta per unit koperasi. Jika dibagi volume usaha sebesar Rp182,352 triliun, SHU tersebut hanya sebesar 3,94 persen setahun, lebih rendah di bawah bunga deposito sebesar 6 persen setahun. Jika dibagi jumlah anggota sebanyak 27,100 juta orang, maka SHU yang diterima anggota hanya Rp265.896 setahun, jauh di bawah hasil yang diterima dari deposito Rp10 juta setahun.
Dari sisi kuantitas, jumlah koperasi aktif semakin menurun. Kemenkop (2022) mencatat jumlah koperasi aktif menurun sebanyak 24.328 unit selama lima tahun atau 4.866 unit per tahun dari 152.174 unit (2017) menjadi 127.846 unit (2021). Hebatnya, jumlah anggota koperasi justru bertambah 8.871.690 orang dari 18.228.682 orang (2017) menjadi 27.100.372 orang (2021). Jumlah anggota koperasi menunjukkan sekitar 9,9 persendari 273 juta penduduk Indonesia adalah anggota koperasi.Jumlah dan anggota koperasi di Indonesia ini merupakan yang terbanyak di dunia. Jika ditelusuri di internet dengan kata kunci “koperasi mati” akan ditemukan puluhan sampai ratusan koperasi di berbagai daerah dalam kondisi mati suri, bangkrut, tutup, atau mati setiap tahun. Jika penurunan sebesar ini berlanjut, maka koperasi akan habis 26 tahun mendatang, atau empat tahun setelah perayaan Indonesia Emas tahun 2045.
Kematian koperasi disebabkan “penyakit dalam” dan “penyakit luar” yang diderita koperasi semakin parah.Pertama, koperasi tidak memiliki sumberdaya manusia berkualitas yang mampu menghimpun dan memobilisasi pelbagai sumberdaya yang diperlukan untuk mengembangkan usaha koperasi. Pengurus koperasi harus orang yang berjiwa entrepreneur yaitu memahami tujuan berusaha, mampu mengorganisasi sumberdaya, mampu memupuk modal, merekrut tenaga kerja, melakukan hubungan fungsional dengan pihak lain. Dalam kehidupan ekonomi Indonesia, manusia-manusia seperti itu hanya dimiliki BUMN, BUMS dan BUMA.
Kedua, lemah permodalan. Total modal yang dimiliki koperasi tahun 2021 sebanyak Rp 197,966 triliun, terdiri modal sendiri Rp 91,66 triliun (46,3 persen) dan modal luar Rp 106,36 triliun (53,6 persen). Jika modal sendiri dibagi jumlah anggota, maka setiap anggota hanyaberkontribusi Rp 3,38 juta di koperasi.Koperasi masih dipahami sebagai kumpulan orang-orang, bukan kumpulan modal. Jika koperasi ingin berhasil sebagaimana sektor swasta, seharusnya koperasi merupakan kumpulan orang-orang yang bermodal. Anggota koperasi pada umumnya adalah orang yang berekonomi lemah, sehingga akumulasi modal dari anggota tidak besar. Dengan modal terbatas, sangat sulit bagi koperasi untuk mengembangkan usaha mulai sektor produksi, pengolahan, pemasaran, maupun jasa.
Ketiga, dalam era digital saat ini jaringan bisnis sangat dominan dalam menentukan perkembangan usaha. Koperasi umumnya tidak memiliki jaringan bisnis dengan koperasi lain, maupun dengan BUMN, BUMS, dan BUMA. Jangkauannya pun masih wilayah lokal (kecamatan atau kabupaten/kota), belum sampai wilayah regional, nasional, apalagi internasional. Bandingkan dengan BUMN, BUMS, dan BUMAyang sudah mampu go internasional.
Keempat, keberpihakan pemerintah semakin lemah. Koperasi tidak lagi memperoleh fasilitas seperti halnya sektor swasta. Koperasi hanya dipandang sebagai penyalur bantuan-bantuan pemerintah untuk golongan ekonomi lemah. Kondisi demikian tidak dapat disalahkan mengingat adanya anggapan masyarakat bahwa koperasi sebagai suatu lembaga sosial. Jika koperasi ingin dikembangkan, maka keberpihakan pemerintah memang sangat diperlukan, mengingat masih banyak koperasi yang belum mampu mandiri mengembangkan usahanya, baik karena miskin dana maupun rendahnya kemampuan manajerial.
Selain empat “penyakit” tersebut, Dalimunte (2006) mengungkapkan tujuh masalah mendasar koperasi: koperasi tidak dipahami sebagai gerakan bersama (society movement) untuk menciptakan kehidupan yang lebih berpengharapan dan bermartabat, tujuan koperasi hanya ditentukan para elite organisasi tanpa melibatkan anggota, koperasi tidak mengedepankan kolektivitas pemberdayaan (empowering) segenap unsur organisasi, distribusi hasil koperasi tidak berkeadilan, kepemimpinan yang lemah, jiwa kewirausahaan yang lemah, dan management skill yang rendah.
Akhir-akhir ini, sejumlahkoperasi bahkan menjadi sarangperampok. Ada delapan kasus koperasi simpan pinjam (KSP) yang uangnya dirampok pengurusnya dengan total kerugian Rp26 triliun. Kedelapan koperasi bermasalah itu adalah KSP SB, KSP IS, KSP PIS, KSP PIU, KSP ID, Koperasi JWBS, KSP LG, dan KSP TPI (https://www.cnbcindonesia.com/, 21/02/2023). Koperasi-koperasi tersebut bukanlah KSP yang sebenarnya, melainkan investasi bodong yang berkedok koperasi. Para korban bukanlah orang-orang yang ingin berkoperasi, melainkan berinvestasi karena iming-iming bunga tinggi. Uang nasabah yang sudah menumpuk triliunan rupiah itu diduga digunakan untuk kepentingan pribadi dan diinvestasikan di perusahaan pengurusnya.Fenomena ini semakin membuktikan kepada publik bahwa koperasi bukanlah organisasi ekonomi yang menyejahteraan, melainkan menyengsarakan masyarakat.
———– *** —————