31 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Konstelasi Pertumbuhan dan Ketimpangan

Oleh :
Ahmad Fizal Fakhri
Founder The Indonesian Foresight Research Institute, LP Ma’arif Jatim Book Writing Team

Keadilan sosial masih menjadi pekerjaan rumah terbesar bangsa Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang digadang-gadang stabil ternyata belum cukup menjamin kesejahteraan merata bagi seluruh masyarakat. Salah satu indikator utama yang mencerminkan ketidakmerataan tersebut adalah rasio Gini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2025 rasio Gini Indonesia berada di angka 0,375, sedikit turun dari 0,381 pada September 2024, namun masih menunjukkan tingkat ketimpangan yang cukup tinggi (BPS, 2025).

Rasio Gini yang cenderung “sticky” atau sulit turun secara signifikan memperlihatkan bahwa persoalan kesenjangan bukanlah isu jangka pendek. Ada faktor struktural dari sisi ekonomi, kesempatan kerja, hingga kualitas pendidikan yang membuat ketimpangan sosial terus bertahan. Tulisan ini akan mengulas faktor penyebab tingginya kesenjangan sosial, mulai dari ekonomi yang belum stabil, sulitnya lapangan pekerjaan, hingga angka pengangguran yang masih tinggi, serta strategi apa yang seharusnya ditempuh agar masalah ini tidak berlarut-larut.

Sticky Rasio Gini
Rasio Gini yang berada di kisaran 0,37-0,38 menandakan ketimpangan pendapatan di level sedang. Namun, yang menjadi persoalan utama adalah kecenderungannya yang “melekat” alias sulit bergerak jauh ke bawah. Meskipun ada penurunan tipis dari 0,381 (September 2024) ke 0,375 (Maret 2025), perubahan ini tidak cukup signifikan untuk menandakan pemerataan distribusi ekonomi yang nyata.

Faktor geografis juga memperkuat ketimpangan ini. Di perkotaan, rasio Gini tercatat 0,395, lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yaitu 0,299 (BPS, 2025). Artinya, meski kota menjadi pusat pertumbuhan, justru ketidakmerataan distribusi ekonomi semakin mencolok. Sementara itu, kelompok 40% terbawah masyarakat hanya menguasai 18,65% dari total pengeluaran nasional, jauh di bawah kelompok 20% teratas yang mendominasi (GoodStats, 2025).

Berita Terkait :  Pendekatan Multi-Polar dan Evolusi Non-Blok

Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia masih terjebak dalam lingkaran ketimpangan yang sulit diputus, di mana kelompok kaya terus memperbesar akumulasi kekayaan, sementara kelompok bawah tetap berkutat dalam keterbatasan.

Ekonomi yang Belum Stabil
Stabilitas ekonomi merupakan kunci utama dalam menurunkan ketimpangan. Namun, dalam kenyataannya, perekonomian Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran 5,1% pada kuartal I 2025 ([BPS, 2025]), pertumbuhan tersebut belum sepenuhnya inklusif.

Sektor-sektor padat modal seperti industri teknologi, keuangan, dan pertambangan menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan. Namun, sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti pertanian, perikanan, dan usaha kecil menengah, tumbuh lebih lambat. Ketidakseimbangan ini membuat manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh sebagian kelompok.

Inflasi juga menjadi faktor yang memperberat masyarakat kelas bawah. Kenaikan harga bahan pokok dan transportasi memukul daya beli masyarakat miskin karena proporsi pengeluaran mereka sebagian besar digunakan untuk kebutuhan dasar. Walaupun pendapatan nominal bisa meningkat, jika kenaikan tersebut tidak mengimbangi laju inflasi, maka kesejahteraan riil masyarakat tidak bertambah. Hal inilah yang membuat kesenjangan sosial tetap melebar.

Sulitnya Lapangan Pekerjaan
Masalah utama lain yang memperkuat kesenjangan sosial adalah sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Data BPS Februari 2025 menunjukkan jumlah penduduk bekerja memang meningkat menjadi 145,77 juta orang, namun banyak di antaranya terserap dalam sektor informal dengan upah rendah dan minim perlindungan sosial (BPS, 2025).

Rata-rata upah buruh tercatat Rp 3,09 juta per bulan. Di perkotaan dengan biaya hidup tinggi, angka ini jelas tidak mencukupi kebutuhan dasar keluarga. Masalah lainnya, banyak lulusan perguruan tinggi justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya, sehingga menambah beban frustrasi sosial.

Berita Terkait :  Pj Wali Kota Mojokerto Canangkan Kelurahan Cinta Statistik

Selain itu, distribusi kesempatan kerja juga timpang antarwilayah. Wilayah Jawa masih menjadi magnet utama lapangan kerja, sementara kawasan timur Indonesia sering tertinggal. Keterbatasan infrastruktur, rendahnya investasi, dan minimnya akses pasar membuat daerah-daerah di luar pusat pertumbuhan tidak mampu menyerap angkatan kerja secara optimal.

Tingginya Angka Pengangguran
Walaupun tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2025 turun menjadi 4,76%, jumlah absolutnya masih besar, sekitar 7,28 juta orang yang menganggur (Trading Economics, 2025). Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi realitas jutaan keluarga yang kehilangan sumber pendapatan utama.

Pengangguran yang tinggi tidak hanya berdampak pada kesenjangan pendapatan, tetapi juga menimbulkan masalah sosial lain: meningkatnya kemiskinan, kerentanan kriminalitas, hingga degradasi kesehatan mental masyarakat. Bagi generasi muda, sulitnya mendapat pekerjaan bisa menimbulkan “lost generation” yang kehilangan harapan masa depan.

Lebih jauh lagi, pengangguran yang tinggi membuat daya tawar buruh semakin lemah. Banyak pekerja terpaksa menerima pekerjaan dengan kondisi buruk dan upah rendah demi bertahan hidup. Situasi ini memperkuat jurang antara kelompok kaya yang memiliki akses terhadap pekerjaan dan sumber daya berkualitas, dengan kelompok miskin yang terjebak dalam pekerjaan informal atau bahkan tanpa pekerjaan sama sekali.

Faktor Struktural yang Memperlebar Kesenjangan
Mengapa rasio Gini di Indonesia sulit turun secara signifikan? Setidaknya ada beberapa faktor struktural yang menjelaskan:

  1. Rendahnya produktivitas tenaga kerja. Sebagian besar pekerja berada di sektor informal dengan keterampilan terbatas.
  2. Ketimpangan akses pendidikan. Pendidikan berkualitas masih terkonsentrasi di kota besar, sementara di daerah terpencil banyak anak putus sekolah.
  3. Disparitas antarwilayah. Jawa mendominasi ekonomi nasional, sedangkan kawasan timur Indonesia tertinggal dalam hal infrastruktur dan investasi.
  4. Kebijakan redistribusi yang belum efektif. Bantuan sosial sering tidak tepat sasaran, dan sistem pajak masih kurang progresif dalam mengurangi jurang kekayaan.
Berita Terkait :  LaporSampah.id, Aplikasi Pelaporan Sampah Liat Tanpa Takut Identitas Terbuka

Selama faktor-faktor struktural ini tidak diperbaiki, rasio Gini akan tetap sticky, dan kesenjangan sosial akan sulit diatasi.

Strategi Mengurangi Sticky Rasio Gini
Menghadapi persoalan kesenjangan sosial, pemerintah perlu mengambil langkah strategis jangka panjang, di antaranya:

  1. Meningkatkan akses pendidikan dan pelatihan vokasi. Pendidikan yang berkualitas dan terjangkau adalah kunci meningkatkan mobilitas sosial.
  2. Memperkuat usaha kecil dan menengah (UKM). Dukungan modal, teknologi, dan pasar akan membuat UKM lebih produktif dan berdaya saing.
  3. Memperluas jaminan sosial. Program perlindungan sosial yang inklusif dapat menjadi penyangga saat kelompok miskin menghadapi guncangan ekonomi.
  4. Kebijakan fiskal progresif. Sistem pajak yang lebih adil dapat mendorong redistribusi kekayaan.
  5. Pemerataan pembangunan antarwilayah. Infrastruktur, investasi, dan layanan publik perlu lebih merata agar pertumbuhan tidak hanya terpusat di kota besar.
  6. Dengan strategi tersebut, Indonesia dapat memperbaiki distribusi pendapatan dan membuka jalan bagi pembangunan yang lebih inklusif.

Penutup
Sticky rasio Gini di Indonesia bukan sekadar angka statistik, melainkan potret nyata jurang yang memisahkan kelompok kaya dan miskin. Ekonomi yang belum stabil, sulitnya lapangan pekerjaan, dan tingginya angka pengangguran menjadi faktor yang saling terkait memperlebar kesenjangan sosial.

Meski ada sedikit penurunan rasio Gini dalam satu tahun terakhir, itu belum cukup untuk memastikan pemerataan yang nyata. Tanpa reformasi struktural, kesenjangan akan terus bertahan dan menjadi bom waktu sosial.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menciptakan sistem ekonomi yang lebih inklusif, memperkuat akses pendidikan, menciptakan lapangan kerja berkualitas, serta memastikan kebijakan redistribusi berjalan efektif. Hanya dengan demikian, cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat diwujudkan

———— *** ————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru