Oleh :
Wahyu Kuncoro
Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya
Membaca Pesan dari Gejolak Politik Akibat Kenaikan Pajak
Pajak dalam pergulatan sejarah tanah air, acap menjadi pemicu munculnya gejolak dan perlawanan rakyat. Pada masa VOC dan Hindia Belanda misalnya, pajak tanah dan hasil bumi memicu telah memantik terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah itu, yakni tahun 1888 di Banten, dipicu pajak kepala dan kerja paksa menyalakan pemberontakan petani. Di Aceh, pajak upeti menjadi bara yang memantik perang panjang melawan Belanda.
Sejarah perpajakan memang menyimpan kisah panjang yang mudah menyulut perlawanan. Artinya, butuh kehati-hatian ketika membuat keputusan pajak karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Hari ini, akibat dipicu oleh kebijakan tentang perpajakan terjadi gejolak politik di Kabupaten Pati yang imbasnya bukan saja merembet ke daerah-daerah lain, namun juga mencemaskan stabilitas politik nasional. Dengan demikian, kalau gejolak ini tidak diselesaikan secara tepat bukan saja akan menimbulkan kegaduhan politik yang panjang tetapi juga membawa dampak bagi masa depan kebijakan negara utamanya dalam sektor pajak dan penerimaan negara lainnya.
Komunikasi Publik
Bahwa gejolak politik di Kabupaten Pati ini ini bermula dari keputusan bupati yang tiba-tiba menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Sebenarnya, kebijakan menaikkan pajak PBB ini juga dilakukan di daerah-daerah lain. Hanya barangkali komunikasi publik Bupati Sudewa ini yang kurang tepat sehingga menimbulkan perlawanan.
Bupati Sudewa tidak merespon kritik dan penolakan dengan bijak, malahan cenderung arogan. Bahkan Bupati menantang warga agar protes lebih besar. Alih-alih, protes rakyat mereda justru sikap Bupati bak menyiram bensin di atas bara, membuat masyarakat Pati pun terbakar amarahnya. Sikap Bupati Sudewa yang kemudian meminta maaf dan membatalkan kebijakan tidak mampu meredakan amarah warga yang terus mendesak Bupati Sudewa agar mengundurkan diri.
Kebijakan apa pun, terlebih yang berdampak langsung pada rakyat, mesti melibatkan partisipasi publik. Ketika muncul penolakan atau kritik, pejabat harus mau mendengar dan mempertimbangkannya. Ketidakmampuan dalam melakukan komunikasi publik membuat kebijakan yang diambil menjadi tidak efektif dan bahkan menjadi kontraproduktif dengan kebijakan yang diambilnya.
Ironisnya, di negeri ini, kerap kali kita saksikan bagaimana kata-kata pejabat publik meluncur tanpa rem, seolah lidah tidak terhubung pada nalar dan hati. Konten konten yang mempertontonkan betapa gagapnya pejabat kita dalam melakukan komunikasi publik terlihat dari berseliwerannya potongan berita, hingga video yang viral di media sosial.
Masa Depan Penerimaan Negara
Realitas hari ini menunjukkan masalah keterbatasan anggaran yang dihadapi pemerintah baik pusat dan daerah. Dengan alasan penghematan, pemerintah pusat memangkas anggaran transfer ke daerah (TKD). Daerah-daerah, terutama dengan pendapatan asli daerah (PAD) minim, terdesak untuk menggenjot tambahan pendapatan agar bisa menjalankan program pembangunan.
Di tengah kondisi fiskal yang lemah, sebagian kepala daerah lantas ambil jalan pintas dengan nekat menaikkan pajak, misalnya dari PBB. Tak hanya Pati, beberapa daerah lain tercatat menempuh langkah serupa, seperti Cirebon (Jawa Barat), Jombang (Jawa Timur), dan Bone (Sulawesi Selatan) dan beberapa daerah lain. Kebijakan sektor fiskal tentu akan menjadi kebijakan yang sangat sensitif sehingga perlu kehatia-hatian dalam memutuskannya.
Ketika seorang pejabat berbicara, sejatinya ia tidak hanya sedang berbicara sebagai pribadi, tetapi sebagai negara. Dan di titik ini, komunikasi publik bukan sekadar seni berbicara, melainkan seni menjaga kepercayaan. Di hadapan publik, setiap kata adalah anak panah: sekali dilepaskan, ia tidak bisa kembali. Komunikasi publik bukan hanya soal menyampaikan informasi, tapi juga mengikat rasa antara pemimpin dan rakyatnya. Seorang pejabat yang piawai berkomunikasi mampu membuat kebijakan yang keras terasa bisa diterima, karena ia tahu cara menjelaskan alasan dan tujuan di baliknya.
Seorang pejabat tentu harus paham bahwa rakyat bukan sekadar objek kebijakan, tapi subjek yang berhak dihormati. Sayangnya, di negeri ini, pelatihan komunikasi publik bagi pejabat seringkali dianggap pelengkap, bukan kebutuhan. Padahal, kerusakan reputasi dan merosotnya kepercayaan publik seringkali bukan karena kebijakan yang diambil, tetapi karena cara kebijakan itu dikomunikasikan.
Ucapan pejabat publik yang sembrono dapat menimbulkan dampak berlapis. Pertama, ia merusak citra pribadi pejabat itu sendiri. Kedua, ia mencederai lembaga yang diwakilinya. Ketiga, ia mengikis legitimasi kebijakan. Dan yang paling berbahaya, ia bisa menyalakan api ketidakpercayaan yang sulit dipadamkan termasuk tidak akan percaya dengan kebijakan yang diambilnya.
Bahwa ketika kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah sudah kehilangan legitimasinya maka dapat dibayangkan bagaimana nasib pembangunan yang akan dilakukannya. Hari ini pemerintah baik pusat mapun daerah sedang pusing dengan minimnya anggaran yang dimilikinya. Implikasinya mereka akan mengambil langkah-lngkah untuk mendongkrak penerimaan negara atau daerah melalui berbagai kebijakan untuk menyedot dana yang ada di masyarakat. Instrumen yang paling banyak digunakan adalah terkait pajak. Nah, ketika kebijakan pajak dilakukan secara serampangan ditambah lagi dengan buruknya komunikasi publik pejabatnya, maka sungguh sulit rasanya berharap penerimaan negara akan maksimal diraihnya
Komunikai Publik di Era Digital
Di era digital, risiko apapun bisa menjadi berlipat ganda dampaknya. Sebuah ucapan dan kata yang terucap apalagi itu keluar dari pejabat publik akan dengan mudah viral dalam hitungan menit, terlepas dari niat awal si pembicara. Sebaliknya juga, praktik baik yang ditunjukkan daerah dalam melahirkan kebijakan, mengkomunikasikan serta mengekesekusinya juga akan mudah menular dan menginspirasi daerah lain karena dukungan digitalisasi. Sehingga betapa pentingnya seorang pejabat mampu mengendalikan dan mengelola komunikasi publiknya.
Kepemimpinan bukan hanya soal bekerja, tapi juga soal meyakinkan soal kemampuan komunikasi. Dan meyakinkan adalah urusan kata-kata. Rakyat bisa memaafkan kebijakan yang sulit, asalkan percaya pada niat baik pemimpinnya. Ketika pemerintah melalui pejabatnya-pejabatnya mampu berkomunikasi yang baik dengan warganya, maka akan mudah pula rakyat untuk memberikan dukungan kepada pemerintah termasuk misalnya akan membayar pajak dengan suka cita akan pemerintah lihai berkomunikasi dan bisa dipercaya dalam menjalankan kebijakannya.
Singkatnya, di era digital ini menyediakan peluang dan tantangan yang sama-sama besar untuk memanfaatkannya. Termasuk dalam hal bagaimana kita bisa mengkomunikasikan secara baik kebijakan-kebijakan pemerintah, termasuk juga didalamnya kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan negara.
Wallahu’alam Bhis-shawwab
———– *** —————


