33 C
Sidoarjo
Friday, December 5, 2025
spot_img

Ketika Gaya Jalanan Tak Lagi Membebaskan dan Kebebasan Berpakaian Menjadi Tekanan Baru

Oleh :
Shelly Novitasari
Penulis Adalah Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya

Apa yang terjadi ketika gaya yang lahir dari jalanan justru berubah menjadi simbol konsumsi digital di media sosial? Streetwear, yang dulu menjadi identitas anak muda yang menolak trend atau gaya berpakaian yang dianggap umum, justru gaya streetwear kini ramai ditampilkan di TikTok sebagai tren yang harus diikuti dan bentuk ekspresi diri sekaligus ajang pembuktian gaya. Dari hoodie, jaket varsity, hingga sneakers mahal, semuanya hadir bukan lagi sebagai simbol kebebasan, tetapi sebagai bagian dari citra diri yang sengaja disusun agar terlihat sempurna di setiap fit check. Namun, mengapa sesuatu yang dulunya anti-mainstream kini menjadi tanda status sosial baru di dunia digital?
Fenomena streetwear dan Outfit of The Day (OOTD) di TikTok kini menjadi bagian dari keseharian anak muda.

Tagar seperti #streetwearstyle dan #fitcheck dipenuhi video yang menampilkan gaya berpakaian kekinian dengan nuansa urban. Pada akun TikTok seperti @dezzyfinds dan @kitsue__, kerap menampilkan gaya berpakaian urban dengan tone visual aesthetic dengan pakaian branded, pose percaya diri, dan latar kota atau jalanan yang modern. Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi di balik tampilan yang terlihat bebas, tersimpan pertanyaan penting, apakah ini masih tentang ekspresi diri, atau justru bentuk baru dari tekanan sosial yang halus?

Berita Terkait :  Kapolres Madiun Silaturahmi ke Ketua Umum PSHT dan IKSPI Kera Sakti

Streetwear bukan hanya sekadar kaos grafis dan hoodie melainkan gerakan budaya dan fashion yang berakar dari komunitas subkultur seperti skateboarding, hip-hop, punk, dan grafiti. Menurut Haq (2023) dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi Communique, streetwear mencerminkan semangat kebebasan anak muda dalam mengekspresikan diri di tengah dominasi budaya global.

Gaya ini bersifat kasual, ekspresif, dan menjadi bentuk identitas yang menolak batasan mode formal. Sementara itu, Sumpena (2024) dalam Jurnal Ilmiah Multidisiplin Terpadu menjelaskan bahwa streetwear berkembang pada akhir tahun 1970-an di Amerika Serikat, terpengaruh budaya hip-hop di New York dan budaya selancar di California. Dulu, streetwear dianggap sebagai komunitas kecil yang erat dan menyimpang dari arus utama, brand seperti Fuct, Freshjive, dan X-Large menjadi awal dasar gerakan ini.

Namun, seiring globalisasi dan kekuatan media digital, streetwear kini menjadi budaya populer global yang ditampilkan ulang di media sosial seperti TikTok.

Dalam kajian Cultural Studies, Antonio Gramsci (1971) menjelaskan bahwa hegemoni bekerja ketika ideologi dominan diterima masyarakat secara sukarela.
TikTok menjadi salah satu ruang paling efektif untuk itu.

Melalui konten-konten gaya OOTD, kapitalisme bekerja bukan lewat iklan langsung, tetapi lewat keinginan kolektif untuk “terlihat keren”. Anak muda membeli pakaian baru bukan karena butuh, tapi karena takut ketinggalan tren. Di titik ini, gaya berpakaian bukan lagi sekadar pilihan, tapi bentuk kepatuhan pada standar sosial digital. Streetwear yang dulu menolak sistem mode mewah kini justru jadi bagian dari rantai kapitalisme global. Brand besar memanfaatkan citra “bebas” untuk menjual produk yang seragam.

Berita Terkait :  Prof Tuti Budirahayu: Efisiensi Anggaran Tak Boleh Menyentuh Aspek Strategis

Seperti disinggung dalam artikel Ahlal Kamal (2023) tentang Konsumerisme Sebagai Bentuk Identitas Sosial Remaja, media sosial memperkuat logika konsumsi dengan menanamkan gagasan bahwa identitas bisa dibeli selama kita memakai produk yang “benar”.
Dalam buku Subculture : The Meaning of Style, Dick Hebdige (1979) menulis bahwa gaya berpakaian dalam subkultur anak muda adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap budaya dominan.

Streetwear lahir dari semangat tersebut, dan itu adalah cara anak muda menolak dominasi kelas dan nilai-nilai elit. Namun, Hebdige juga mengingatkan bahwa subkultur bisa kehilangan maknanya ketika diserap oleh industri. Ketika style menjadi komoditas, perlawanan berubah menjadi tren.

Fenomena streetwear di TikTok membuktikan ekspresi personal berubah menjadi tontonan massal. Gaya yang dulu menolak sistem kini justru menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Ironisnya, yang dulu dianggap “liar” dan “alternatif” kini dijadikan standar baru yang harus diikuti.

Dalam ruang digital, kebebasan berekspresi sering kali hanya sebuah ilusi, karena di balik kebebasan itu, ada algoritma yang menentukan apa yang pantas disebut keren.
Stuart Hall (1997) menyebutkan bahwa media tidak sekadar merepresentasikan realitas, tetapi membentuknya. Citra anak muda di TikTok kini dibangun melalui visual yang seragam seperti, jaket varsity, sepatu putih, kamera depan gedung, dan caption “fit check today”.
Semakin banyak orang tampil dengan gaya yang sama, semakin kuat pula tekanan untuk meniru. Menurut Kajian Subkultur Streetwear pada Representasi (Digilib ITB, 2023), platform digital telah mengubah streetwear dari ekspresi individual menjadi citra sosial.

Berita Terkait :  Ngaku Dibegal, Pria di Bondowoso Ditangkap Polisi

Streetwear tidak lagi menjadi simbol pemberontakan, melainkan simbol pengakuan sosial yang diukur lewat tampilan dan jumlah likes.
Fenomena ini seharusnya membuat kita bertanya ulang, apakah streetwear di era TikTok masih tentang kebebasan, atau hanya tentang keterikatan baru pada citra digital? Budaya jalanan yang dulu menolak aturan kini justru tunduk pada aturan likes, algoritma, dan estetika global.

Seperti banyak aspek budaya populer lain, kebebasan di media sosial sering kali hanya sebagai topeng bagi struktur kekuasaan baru yang tidak lagi memaksa, tapi membujuk. Namun, kritik saja tidak cukup, sudah saatnya anak muda merebut kembali makna streetwear sebagai simbol autentisitas, bukan konsumsi. Karena sejatinya, gaya yang lahir dari jalanan bukan tentang harga atau merek, tapi tentang keberanian untuk tampil apa adanya di luar algoritma, di luar tren, dan di luar penilaian orang lain.

—————– *** ——————

Berita Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Follow Harian Bhirawa

0FansLike
0FollowersFollow
0FollowersFollow

Berita Terbaru